Bagian XIII

515 93 25
                                    


Waktu berjalan seperkedipan mata. Satu bulan bergulir begitu saja, tiba-tiba ia telah selama itu tinggal bersama Pansa–meskipun tidak benar-benar bersama.

Tidak pernah ada obrolan panjang sejak malam itu. Jadwal keduanya tidak pernah merestui obrolan intens itu terulang kembali. Pukul setengah delapan Cinta harus sudah berangkat kerja, sementara Pansa baru akan bangun pukul depalan dan baru akan berangkat ba'da zuhur. Selepas kerja Cinta akan tiba di rumah sekitar setengah enam sore, sementara Pansa baru akan tiba pukul delapan hingga sembilan malam.

Mereka hanya akan saling sapa atau berbasa-basi saat bertemu di dapur atau tidak sengaja bertemu di ruang tamu. Tidak ada lagi obrolan panjang. Pansa tidak lagi menginterupsi malamnya. Cinta tidak memiliki keberanian serta alasan untuk membuat momen itu terjadi.

Namun, hal ini menegaskan pada Cinta bahwa seramah apapun Pansa, sepandai apapun wanita itu membangun obrolan, Pansa adala Pansa yang ia kenal saat di Jepang, ia bukan kakaknya yang berisik yang tiba-tiba akan meneriakkan namanya atau tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya atau akan terus bertanya tiap kali laki-laki itu merasa Cinta tidak baik-baik saja.

"Mbak Cinta itu sibuk banget, ya, Mbak. Sampai rumah jarang keluar kamar." Mbak Dewi berbicara kepada Pansa yang sibuk menikmati soto ayamny. Menghidangkan secangkir kopi di atas meja makan.

"Dokter, ya sibuk, Mbak." Pansa berkomentar

"Mbak Cinta itu sakit po, Mbak? Kok, saya lihat tiap hari minum obat kalau pagi habis sarapan."

Pansa baru mengetahui informasi ini. "Vitamin mungkin. Vitamin B biar nggak ngantuk." Pansa menjawab sekenanya.

"Oh, kalau vitamin B itu bikin melek to?"

Pansa mengangguk. "Bikin badan jadi segar." Ia lantas berpikir untuk bertanya pada Win. Pansa bukan tipe orang yang peduli dengan urusan orang lain, tetapi sebagai induk semang, ia merasa perlu mengetahuinya.

Orang yang tengah di pikirkan tiba di dapur. Cinta tampak diburu oleh waktu. "Pagi Kak Pansa, pagi Mbak Dewi." Tanpa melihat kedua orang yang disapa, bergegas ia mengambil gelas lalu mengisinya dengan air putih. Dibukanya kotak berisi obat yang tadi dibawanya.

"Pagi Cinta."

"Pagi Mbak Cinta."

Cinta meminum satu tablet obat dengan tergesa-gesa. Ia lantas meletakkan gelas kosong di wastafel. "Maaf ya, aku keburu-buru, udah telat. Mbak Dewi maaf, ya, gelasnya nggak sempat saya cuci." Cinta lantas bergegas pergi meninggalkan keduanya.

"Oh, iya, Mbak, nggak papa." Mbak Dewi setengah berteriak.

"Hati-hati, Ta." Pansa ikut berteriak.

Mbak Dewi melirik jam dinding. "Padahal masih sepuluh menit lagi, kok, telat, ya. Kan, dekat, ya, Mbak."

"Lima belas menit kurang lebih. Tetap telat lima menit."

"Lima menit doang."

"Tetap dihukum, Mbak, kalau perusahaan yang tegas. Malah ada yang semenit dihukum."

"Oalah, medeni, ya, Mbak. Untung Mbak Pansa nggak pernah marah kalau saya telat datang."

"Hu, kebiasaan."

Yang disoraki cengengesan. Mbak Dewi lantas menuju wastafel, mencuci gelas bekas milik Cinta. "Eh, Mbak. Obatnya Mbak Cinta ketinggalan, nih."

"Waduh. Udah berangkat, deh, kayanya orangnya. Barusan banget suara mobilnya udah nggak ada. Nanti, deh, aku bawakan. Tak mampir rumah sakit."

***

Pagi ini terasa berat. Cinta mendapat keluhan dari perawat karena datang terlambat. Hampir setiap pasien yang datang melayangkan omelan juga karena "dokternya datang lama banget." Cinta merasa bersalah. Tidak ada yang membentaknya, tetapi kalimat-kalimat itu teprikirkan olehnya.

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang