Bagian XXI

517 100 33
                                    

"I'm sorry. Aku cuma merasa..." Suaranya kian lirih.

Pansa menunggu Cinta melanjutkan ucapannya. "Merasa?"

"Cemburu." Suaranya lirih sekali, nyaris tidak terdengar. Namun, tidak ada siapapun di rumah ini selain mereka berdua. Mbak Dewi belum datang. Cukup bagi Pansa untuk mendengar suara Cinta.

Pansa tercengang. "Huh, pardon?"

Cinta buru-buru menghapus air mata yang nyaris tumpah. "I'm sorry, I should go now."

"Sebentar." Pansa menahan pergelangan tangan Cinta. "Nanti malam kita bahas lagi. Dalam keadaan yang lebih proper. Saya harap kamu nggak mangkir." Nada bicaranya tegas, seperti sedang memarahi stafnya.

Pansa melepaskan genggaman tangannya. Membiarkan Cinta untuk pergi. Tidak ada drama berlebihan pagi ini.

***

"Kowe ki ket mau udad-udud udad-udud  kenapa sih? Tak laporin ke Tania, lho, kalau kamu merokok satu bungkus sendiri dalam sehari." Samuel memandang Pansa kesal.

"Orang baru habis setengah bungkus." Pansa tiduran di lantai rooftop beralaskan rumput sintetis.

"Wong edan. Kubilangin ke Tania beneran."

"Bilangin aja, emang dia mau langsung mabur ke sini? Kan, nggak." Pansa menjulurkan lidahnya.

"Aku kelihatan lagi dekat sama siapa, sih, Sam?"

"Hah? Maksudnya?"

"Ya, menurutmu aku kelihatan lagi dekat sama seseorang nggak?"

"Ya, Irkham lah. Siapa lagi. Gimana sih maksud pertanyaannya?"

"Kelihatan kalau sedekat itu?"

"Nggak. Tapi, caption-mu kemarin kelihatan bucin."

Pansa mengembuskan napas panjang. Padahal ia telah berhat-hati untuk membuat takarir agar tidak ada yang menuduhnya macam-macam.

"Orang yang nggak tahu kalau kalian cuma berteman akan mikir kalau kalian pacaran, Sa." 

Sekarang ia paham siapa yang dicemburui oleh Cinta. Jelas sekarang kenapa perempuan itu menghindarinya. Ia harus menjelaskan semua kesalahpahaman ini. Tiba-tiba ia merasa sesak sedikit napas. Ia menarik napas dalam-dalam.

Samuel menyadari hal ini. "Sesak, kan. Goblok, og."

"Sesak biasa. Udah sering."

"Udah sering berarti nggak biasa, pekok."

Pansa mengisap rokok terakhirnya hingga tersisa nyaris filternya saja. Kemudian menginjak rokok itu untuk mematikannya. "Udah nggak ngerokok ni, lho. Jangan bawel."

"Idih nggik mirikik ni, jingin biwil." Samuel yang merasa kesal meledek Pansa.

Tanpa Pansa ketahui, diam-diam Samuel memotretnya, lalu mengirimkannya kepada Tania.

***

Suasana kamar Cinta malam ini terasa mencekam. Keduanya duduk berhadapan, Cinta di pinggir tempat tidur, Pansa di kursi menghadap gadis yang lebih muda. Sudah sepuluh menit keduanya hanya diam. Pansa menatap Cinta lekat, sementara Cinta hanya berani menatap ujung kakinya.

"Saya ulang lagi pertanyaan tadi pagi. Kamu menghindari saya?" Pansa memecah keheningan. Langsung ke intinya. Nada bicaranya terdengar kesal.

Cinta masih tidak berani menatap Pansa, ia mengangguk sambil memainkan jemarinya.

"Karena cemburu?"

Cinta mengangguk lagi. Ia mencoba untuk tidak menangis karena nada bicara Pansa terdengar garang.

"Cemburu dengan Irkham?" Pansa membidik begitu saja. Tidak ada basa-basi sama sekali.

Cinta tercekat. Ia berhenti memainkan jemarinya. Dengan penuh keterpaksaan ia memberanikan diri untuk menatap Pansa. Pansa menyilangkan kakinya, melipat kedua tangannya di depan dada, posenya garang, tetapi wajahnya tidak menampakkan kekesalan ataupun amarah.

"Aku berhak cemburu nggak sih, Kak?" Suaranya lirih. "You said we're friend. Tapi, teman tidak berciuman" Cinta mulai terisak, "aku merasa nggak berhak sama sekali untuk cemburu dengan siapapun yang dekat dengan kamu karena kita hanya teman." Nada suaranya makin lama makin meninggi, "but which friend that kissed each other?" Air matanya tumpah dengan derasnya.

Cinta membuang wajahnya dari Pansa. Menatap dinding yang tidak menarik sama sekali. "Kita ini apa?" Suara itu lirih. Cinta sibuk mengusap air matanya sendiri.

Raut wajah Pansa menampakkan kecemasan. Ia berjalan mendekati Cinta. Berlutut di hadapan Cinta. Diraihnya kedua tangan Cinta, ia usap punggung tangan berkulit putih pucat itu dengan ibu jarinya.

"Ta, aku minta maaf." Suara Pansa terdengar lembut. "Aku dan Irkham nggak ada hubungan apapun. I was like him. But it was."

Cinta menangis masih tanpa menatap Pansa. "Aku berhak nggak sih merasa seperti ini? Aku merasa sangat egois karena bahkan kita jadian pun nggak!" Dadanya terasa sesak karena ia menahan diri untuk tidak berteriak. Urat lehernya menegang membuat kepalanya terasa pusing.

"Kamu berhak untuk merasa cemburu, Ta. Kamu berhak untuk merasa memiliki aku, apapun status kita." Pansa berucap dengan lembut, ia tatap Cinta lekat-lekat meski gadis itu tidak melakukan hal yang sama. Ada jeda sebelum Pansa melanjutkan ucapannya. "Sekarang, kamu maunya kita jadi apa?" Dengan sangat berhati-hati Pansa mengajukan pertanyaan tersebut.

Kalimat itu membuat Cinta menangis. Ia tidak tahu bagaimana cara memberitahu Pansa bahwa ia ingin menjadi satu-satunya orang yang Pansa cintai, menjadi satu-satunya orang yang mendapat perhatian dari Pansa, dan menjadi seseorang yang berhak untuk marah ketika Pansa dekat dengan orang lain. Namun, rasa-rasanya, perasaan itu terdengar sangat egois membuat Cinta tidak dapat mengatakannya.

Cinta mengigit bibir bawahnya. "Jangan jatuh cinta dengan orang lain. Aku hanya ingin kamu nggak jatuh cinta dengan orang lain." Suara itu lirih, kalah dengan suara isakannya.

Pansa meraih pipi Cinta, mengusapnya. Lantas didekapnya gadis itu dengan begitu berhati-hati. "I'm all yours. I'm all yours."

Tangis Cinta pecah begitu saja. "Kamu tu jahat tahu, nggak? Kamu tu jahat banget!" Isakannya semakin kencang. Ia berusaha untuk melepas pelukan Pansa dan memukul gadis itu, tetapi tidak ada kekuatan yang tersisa pada dirinya. Ia membiarkan Pansa terus memeluknya, mengusap punggungnya dengan lembut, dan mengecupi puncak kepalanya berulang kali.

Catatan kaki:

Kowe ki ket mau udad-udud : kamu itu sejak tadi merokok terus

Pekok: bodoh

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang