Bagian XXXIII

486 95 21
                                    


Pansa sudah pulang, kembali ke rumahnya. Namun, bagi Cinta fakta ini bagaikan dua mata pisau. Ia semestinya gembira mendengarnya, tetapi itu artinya masa-masa Pansa menghilang selama dua pekan segera dimulai.

Pansa membiarkan Cinta duduk di tempat tidur, sementara ia berjongkok sambil menggenggam kedua tangan Cinta. Ditatapnya mata bak kelereng di hadapannya. Tersenyum, ia coba menghilangkan keresahan yang tergambar di wajah kekasihnya.

"Dua minggu waktu yang sebentar." Pansa mencoba meyakinkan Cinta.

"Nggak kalau tanpa kabar dari kamu sama sekali."

Pansa mengecup salah satu tangan Cinta. Kemudian meletakkannya pada salah satu pipinya. "Aku, kan, sudah baik-baik saja. Kamu nggak perlu cemas, Ta." Ia usap punggung tangan Cinta yang masih menempel di pipinya dengan ibu jari tangannya.

"Jangan merokok, kamu baru saja sembuh." Cinta menggeleng, "no, jangan merokok selamanya."

"Iya, aku nggak akan merokok." Pansa berdiri, merengkuh Cinta. Mengusap-usap punggung Cinta.

Cinta tidak tenang, meski berulang kali Pansa menenangkannya. Firasatnya buruk, ia takut Pansa akan menghilang selamanya. Lari, meninggalkannya. Cinta sangat takut bila ditinggalkan.

***

Sepuluh hari bergulir begitu saja. Pansa belum siap untuk kembali. Selama sepuluh hari ini ia menonaktifkan seluruh gawainya. Ia yakin, Cinta dan teman-temannya terus menanyakan kabarnya. Namun, ia enggan untuk mendapat pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Ia tidak melakukan apapun. Selalu di kamar, hanya akan keluar jika Mbak Dewi berteriak menyuruhnya untuk makan.

Kadang kala ia bercermin sambil memegang jantungnya. Kenapa ia rela menjadi sehat? Oh rupanya jatuh cinta seperti ini. Rela melakukan apapun untuk orang yang dicintai. Padahal, dalam benaknya masih ada secercah keinginan untuk mati. Ia menyesali keputusannya untuk operasi.

Ketika ia bercermin, terkadang ia menertawakan dirinya sendiri. Pathetic, pikirnya. Kini ia terjebak selamanya untuk tidak bunuh diri. Ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan di kala merasa lelah.

***

Lima belas hari berselang, pesan-pesan yang Cinta kirim untuk Pansa baru terkirim. Centang satu itu kini semuanya berubah menjadi centang dua. Mengetahui hal itu ia bergegas menelepon Pansa.

Lima belas detik, tidak ada jawaban. Ia mengulangi panggilan itu. Dua puluh detik berlalu, masih tidak ada jawaban. Cinta mulai gelisah. Digigitnya kuku ibu jarinya. Ia kembali mencoba menelepon lagi.

"Halo." Suara di seberang sana terdengar serak.

Jawaban itu membuat dadanya terasa hangat. Jantungnya kini berdegup kencang. "Kak Pansa?"

"Kak, Pansa."

"Hai, it's been a while."

"Aku kangen."

Ada jeda di seberang sana. "I miss too. Maaf, baru kembali sekarang. Terlambat satu hari. Kamu pasti khawatir, ya."

Cinta menyeka air matanya. "Nggak papa, kok. Aku senang karena sekarang kamu sudah kembali."

"Mau ketemu?"

Cinta mengangguk, kemudian sadar bahwa Pansa tidak dapat melihatnya. "Tentu."

"Nanti aku jadwalkan, ya. Aku harus ngecek urusan kantor terlebih dahulu."

Ada kekecewaan yang ia rasakan. Ia bukan prioritas, pikirnya. Stop childish Cinta, kalian sama-sama orang dewasa yang sudah bekerja.

"Cinta, masih di sana?"

"Hai, iya, aku masih di sini."

"Maaf, ya karena harus cek urusan kantor lebih dulu. Aku janji waktu kita ketemu aku akan ajak kamu jalan-jalan ke banyak tempat."

"Mmm, it's okay, aku paham. Kayak nggak harus ngajak aku ke banyak tempat."

"Marah, ya?"

"Nggak, aku cuma..." Cinta mengunyah kukunya. "Aku cuma pengin ketemu kakak. Aku cuma ingin lihat kamu. Itu semua sudah cukup."

"Ta, aku minta maaf sekali lagi."

"You did nothing wrong."

"I love you."

"I love you too."

"Boleh aku tutup teleponnya."

Lagi-lagi Cinta merasa kecewa. Ia ingin obrolan ini lebih lama. Ia ingin mendengar suara Pansa lebih lama.

"Iya, boleh."

"Bye bye. See you later."

Panggilan itu berakhir. Ditutup dengan tangisan Cinta.

***

Urusan kantor itu adalah bertemu Natalia. Ini adalah pertemuan kedua mereka. Suasananya terasa lebih menenangkan dibandingkan pertemuan pertama mereka.

"Tante senang karena kamu baik-baik saja."

Pansa tidak tahu harus membalas apa. "Terima kasih." Ucapan itu hanya formalitas sebagaimana Natalia yang sebatas berbasa-basi.

"Soal janji kamu.."

"Tante. Saya boleh ajak Cinta jalan-jalan dulu, nggak? Saya ingin ajak Cinta ke banyak tempat terlebih dahulu."

Natalia menarik napas panjang. "Tante tidak membenci kamu, Sa. Tante senang karena akhirnya Cinta memiliki teman akrab. Tapi, bagaimana, ya? Sekali lagi ini Indonesia. Bertahan dan tidak bertahan, kalian berdua akan tersakiti."

Natalia menyambung ucapannya, "kalau kalian ke luar negeri, Cinta harus melepas pekerjaannya sebagai dokter. Ia telah melalui banyak hal untuk mencapai titik ini, Pansa. Saya rasa kamu paling paham tentang itu."

"Saya janji hubungan ini akan berakhir. Tetapi saya mohon beri saya waktu. Sampai saya benar-benar siap. Sampai saya yakin Cinta akan baik-baik saja."

Cinta tidak akan baik-baik saja. Bagaimanapun juga Cinta tidak akan baik-baik saja. Kedua wanita itu tahu betul.

Natalia mengangguk, ia mengusap air matanya yang nyaris jatuh. "Tante minta maaf. Tante benar-benar minta maaf."

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang