Ia tidak merasa perlu memiliki status apapun dengan Cinta. Baginya, ciuman itu cukup menjelaskan apapun nama hubungan mereka. Selama keduanya tidak menikah: pacaran, HTS, apapun sebutannya bagi Pansa sama saja. Mereka telah mengetahui perasaan masing-masing bukan? Tidak perlu ada deklarasi tentang hubungan mereka, tidak perlu pula tradisi klise untuk meminta Cinta menjadi kekasihnya. Barangkali Pansa terlalu berlogika.
Atau justru ia terlalu berperasaan. Perasaan ingin mati itu datang dan pergi. Ia bisa saja mengakhiri hidupnya sewaktu-waktu. Ia tidak mau membuat Cinta merasa kehilangan, ia tahu rasanya kehilangan, dan ia tidak mau Cinta merasakannya.
Jiwa dan perhatiannya telah Cinta miliki. Cinta tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Cinta berhak merasa memilikinya. Namun, Pansa tidak mau berperasaan demikian. Merasa memiliki akan membuatnya merasa kehilangan. Ia mau Cinta tidak terikat olehnya agar kapanpun gadis itu ingin pergi maka Pansa siap melepasnya tanpa perlu merasa kehilangan.
"Ta, aku akan ke Amsterdam selama tiga hari. Menghadiri wisuda teman SMA."
Seminggu lalu Irkham mengirim pesan bahwa ia akan wisuda. Secara khusus ia meminta Pansa untuk datang, jika tidak sibuk dan keberatan.
"Kamu masih ingat Irkham? Aku pernah sebut dia waktu kita lihat konser orkestra."
Perasaan Cinta tiba-tiba tidak ingat. Dadanya terasa panas begitu Pansa menyebut nama itu. Memori saat ia melihat Pansa di cafe terputar dengan sendirinya.
"Berangkat kapan?"
"Dua hari lagi. Kamu nggak papa, kan, aku tinggal sendirian? Kalau takut, nanti aku suruh Mbak Dewi buat nginap."
"It's okay. Mbak Dewi nggak perlu menginap."
Pansa menatap Cinta khawatir. "Nggak papa, aku sudah bilang Mbak Dewi, sih, sebenarnya. Dia nggak keberatan." Pansa membelai rambut Cinta, meletakkan beberapa helai ke belakang telinga gadis itu.
Cinta tidak berkata apapun. Ia hanya menurut.
"Mau oleh-oleh apa?"
Meminta buah tangan tidak terpikirkan sama sekali oleh Cinta. Ia sibuk bergelut dengan perasaan resahnya sendiri.
Jangan punya perasaan ke orang itu. "Pulang dengan selamat." Cinta tidak mencoba untuk menggombal. Ia benar-benar berharap Pansa dapat kembali dengan selamat.
"Aku boleh peluk Kak Pansa?"
Pansa mengangguk. Keduanya berpelukan dengan perasaan yang berbanding terbalik.
***
Pansa tidak sendirian, ia pergi ke acara wisuda itu bersama Gio. Ia tidak mau merasa canggung. Toh, lagi pula Gio cukup dekat dengan Irkham semasa SMA.
"Congratulation, Pak Ustadz." Gio menjabat tangan Irkham seraya bercanda.
Irkham tersenyum lebar. "Terima kasih, Yo."
Pansa tersenyum lebar. Sedikit salah tingkah. "Selamat untuk gelar magisternya."
Irkham balas tersenyum, tidak kalah malu-malu. "Terima kasih, banyak Vee."
Pansa lantas memberikan sebuah buket bunga pada Irkham.
"Jadi, apa rencana kamu setelah ini?"
"Aku akan pulang, Vee. Mungkin aku akan mulai membuka sekolah alam yang sempat aku ceritakan ke kamu."
Mata Pansa bekaca-kaca, terpana dengan rencana Irkham. "Semoga lancar dan diberkati."
"Aamiin, terima kasih banyak."
Tanpa keduanya sadari, diam-diam Gio memotret mereka dari berbagai angle.
"Eh, kita foto bareng, yuk." Ucap Gio setelah melancarkan kejahilannya. Ketiga sahabat itu lantas berfoto bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta Lagi
FanfictionMilk x Love Indonesia AU Pada kehidupan lain, mari jatuh cinta lagi. Jika kita reinkarnasi berkali-kali, berkali-kali pula aku ingin jatuh cinta lagi denganmu. Entah berakhir bersama, atau berakhir yang sama. Aku akan selalu jatuh cinta denganmu.