Bagian IV

448 76 10
                                    


Villa itu nyaris terisolasi. Sekelilingnya adalah kebun sayur. Di depan terdapat taman yang sangat luas. Sementara di bagian belakang berupa cafe. Jarak menuju tempat parkir dan villa cukup jauh, mencapai 1 KM.

Cinta merebahkan badannya di atas kasur. Berguling-guling bosan menunggu Prima selesai mandi. Ia tahu bahwa calon kakak iparnya itu memakan waktu hingga 30 menit jika mandi, dan Prima baru saja masuk kamar mandi.

Kamar Prima dan Cinta terpisah dari Win. Cinta tidak ingin menghampiri Win, sudah cukup melihat kakaknya yang mirip dengan burung beo itu setiap hari.

Ia bangkit dari tidurnya. Tiba-tiba ia ingin jalan-jalan sendiri. Meskipun tadi ia telah meniti jalan sejauh 1 KM, tetapi ia tidak tahan jika harus menunggu Prima selama 30 menit tanpa melakukan apapun.

Ia bangkit dari tidurnya, mengetuk pintu kamar mandi. "Kak Prim."

Prima tidak mendengar, Cinta mengetuk pintu lagi. "Kak."

Prima masih tidak mendengar maka Cinta putuskan untu tidak usah pamit dengan Prima. Mungkin Win yang akan khawatir, tapi kakaknya memang selalu begitu. Urusan Win panik dan ngomel-ngomel urusan nanti, yang penting ia menikmati waktunya sendiri.

***

Pansa suka sendiri. Saat sendiri ia bebas mengambil foto objek apapun yang menurutnya menarik. Sudah dua puluh menit ia berjalan-jalan dan memotret pemandangan di sekitar Villa.

Pukul tujuh malam, sekeliling mulai gelap. Perkebunan itu memiliki pencahayaan, tetapi temaram, tidak seterang villa. Mungkin perlu ditambah, pikirnya. Mungkin akan ada pengunjung villa lain yang sama sepertinya: ingin jalan-jalan malam di perkebunan.

Dari kejauhan ia melihat seseorang mendekat. Iseng, ia memotret orang tersebut, sekalian menguji kualitas kamera DSLR-nya di malam hari.

"Kak Pansa?"

Pansa mengalihkan perhatiannya dari layar DSLR.

"Lho, Cinta?"

Keduanya tersenyum. Yang lebih muda tersenyum tulus, sementara Pansa hanya mengangkat ujung bibir sebelah kiri.

"What a destiny. Sepertinya saya ditakdirkan terus untuk bertemu kamu."

Takdir. Pansa selalu mempertanyakan takdir yang telah diukir oleh-Nya. Ada kalanya ia merasa bahwa Dia begitu kejam, tetapi ada kalanya Pansa merasa bahwa Dia sangat baik dan Maha Pemaaf.

Pansa tidak tahu takdir apa yang sedang direncanakan oleh-Nya. Namun, jika sampai tiga kali ia bertemu gadis ini, pasti ada sesuatu yang akan terjadi. Sejujurnya Pansa sedikit terganggu dengan seluruh kebetulan ini. Namun, ia pernah mendengar entah dari mana: Dia memenuhi firasat hamba-Nya. Jika itu buruk maka suatu yang buruk itu terjadi karena prasangkanya, pun sebaliknya. Pansa barangkali terlalu mencurigai-Nya. Ia memiliki hubungan yang rumit dengan zat yang sejujurnya eksistensi-Nya antara ia percayai dan ia pertanyakan.

Cinta tersenyum tersipu. Mengalihkan pandangannya dari Pansa seraya memainkan jemarinya.

Gerimis tiba-tiba turun. Keduanya mengangkat wajah mereka, menatap langit.

"Sepertinya akan deras." Pansa melemparkan opini.

Benar saja, gerimis itu perlahan menjadi hujan.

"Di dekat sini ada gazebo. Kalau ke villa lebih jauh. Ayo berteduh dulu di sana." Tanpa meminta izin dari Cinta, Pansa bergegas menggandeng tangan perempuan yang lebih pendek darinya itu, keduanya berlari menuju gazebo.

***

Di villa, sepasang kekasih sedang bertengkar. Panik mencari adik mereka.

"Aduh, malah hujan lagi. Kamu yakin tadi di cafe nggak ada, Yang?" Kepanikan Win semakin menjadi-jadi. Sudah setengah delapan malam dan kini hujan lebat. Adiknya belum juga kembali. Panggilan telepon dari Win dan Prima sama sekali tidak diangkat.

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang