Bagian XXIX

828 108 15
                                    



Natalia tergopoh-gopoh menyusuri koridor rumah sakit. Ia mendapatkan telepon dari Cinta beberapa menit yang lalu. Cinta hanya menangis dan terus memanggil nama Pansa. Natalia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ia yakin bahwa putrinya sedang tidak baik-baik saja.

Di ujung koridor Natalia melihat Cinta duduk seorang diri pada kursi metal. Gadis itu menundukkan wajahnya sambil memainkan jemarinya. Natalia mendekati Cinta dengan hati-hati.

"Cinta."

Cinta mengangkat wajahnya, menatap Natalia dengan tatapan kosong. Matanya sembab, hindungnya tampah kemerahan. Gadis itu tidak berkata apapun.

Natalia segera mendekap putrinya. Mengusap-usap kepala dan punggung gadis itu. "Semuanya akan baik-baik saja, ya. Percaya sama Mama, Kak Pansa pasti akan segera membaik."

"Dia serangan jantung." Cinta akhirnya mengangkat suara.

Natalia menelan ludah. Ini bukan hal yang baik-baik saja. Ia tidak tahu apakah Pansa akan baik-baik saja.

"Aku nggak seharusnya mengajak dia nonton konser. Padahal aku tahu dia habis dari proyek. Dia pasti kelelahan karena aku." Cinta mulai terisak.

Natalia tercekat. Ia tidak menyangka bahwa anaknya akan menyalahkan dirinya sendiri. Seberarti itukah Pansa untuknya? Seberapa dekat sebenarnya keduanya? Natalia hanya bisa menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu.

"Cinta, ini bukan salahmu. Kamu, kan, nggak tahu kalau Kak Pansa akan mengalami serangan jantung."

Tangis Cinta justru semakin keras. Ibunya tidak tahu jika Pansa telah mengalami hal serupa saat di Jogja. Mestinya Cinta sebagai seorang dokter menyadari kesakitan-kesakitan Pansa selama ini sebagai serangan jantung, ia menyalahkan dirinya sendiri.

"Dia di ICU." Cinta tidak dapat menjelaskan semua yang terjadi kepada ibunya. Setidaknya dengan tiga kata itu, ibunya akan mengetahui betapa khawatir dirinya.

"Dia akan membaik, Cinta. Kita berdoa, ya, supaya Kak Pansa segera baik-baik saja."

Pada pelukan ibunya, Cinta menangis sejadi-jadinya tanpa berkata apapun.

***

Pansa terbangun. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Kemudian ia menyadari bahwa ada selang di hidugnya. Ia menengok ke kanan, terdapat elektrokardiogram.

Tangan kirinya terasa berat. Ia menengok ke kiri. Cinta tengah tertidur sambil menggenggam tangannya. Dengan tangan kanannya, ia usap kepala Cinta dengan lembut, membuat gadis itu terbangun dan terperanjat.

"Hai." Suara Pansa terdengar serak.

"Kamu sudah bangun."

Pansa tersenyum dan mengangguk. "Aku membangunkan kamu, ya?"

Cinta menggeleng. "Aku nggak bisa tidur."

Pansa berusaha untuk duduk, Cinta bergegas membantunya.

"Mau minum? Ke kamar mandi? "

Pansa menggeleng, lalu tersenyum simpul. Wajahnya tampak sangat pucat. Diraihnya salah satu pipi Cinta lantas mengusapnya. Cinta memegang tangan Pansa yang mengusap pipinya.

"Aku minta maaf. Kamu pasti khawatir."

Cinta menggeleng. "Ini bukan kesalahan kamu. Harusnya sejak awal aku lebih peka tentang keadaanmu."

"Kamu dokter, bukan cenayang. Bukan salah kamu kalau nggak tahu tentang penyakitku."

Setetes air mata mengalir dari mata Cinta. Ia bergegas mengusapnya.

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang