Bagian XXVI

561 92 15
                                    


Kontraknya tersisa dua bulan lagi. Pihak humas rumah sakit telah menanyakan tentang keputusannya. Tetapi, ia masih belum dapat memutuskan: tetap bekerja di rumah sakit yang sama atau pindah ke Jakarta karena Cinta belum juga menemukan lowongan di rumah sakit lain yang ada di Jogja. Ia tidak tahu bagaimana cara memberitahu Pansa soal hal ini.

Membayangkan untuk memberitahu Pansa membuatnya panik. Berulang kali ia mengambil napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Depressive episode-nya sudah lumayan membaik, tetapi pada momen-momen seperti ini rasa gelisah kerap muncul dan membuatnya kesulitan untuk mengendalikannya.

Pukul sembilan malam, Cinta mendengar suara mesin mobil Pansa memasuki halaman. Ia mengatur napas dan rasa gugupnya. Begitu ia mendengar langkah kaki di lorong rumah, Cinta bergegas membuka pintu kamarnya, membuat Pansa terperanjat.

"Kak Pansa."

"Hai, kamu belum tidur?"

Cinta menggeleng, mulai memainkan jemarinya. "Kakak banyak urusan, nggak? Aku ingin ngobrolin sesuatu."

"Oh, nggak, kok. Ngobrolin apa? Sekarang bisa, kok. Mau ngobrol di mana?"

"Di ruang tamu saja."

"Oke."

Ruang tamu yang sangat luas ini rasanya senyap, membuat Cinta tercekik. Ia tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Dua menit. Dua menit berlalu, tetapi Cinta belum dapat memulai pembicaraan. Masih ada rasa canggung di antaranya dan Pansa. Ia masih merasa ada jarak di antara keduanya.

Pansa mulai tidak sabar, tetapi ia ingat: gadis di hadapannya adalah kekasihnya. Ia harus mengontrol amarahnya. Terlebih Win telah menggadang agar Pansa tidak membentak Cinta.

"Cinta?" Pansa menggenggam tangan Cinta. "Is everything okay?"

Cinta menggeleng. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana."

"Kalau kamu belum siap, kamu bisa cerita lain waktu, kok."

Tidak, Cinta telah lama memendam kegelisahannya. Ia butuh tempat untuk meluapkannya. Semakin lama ia menahan kegundahannya, semakin lama ia merasa tidak tenang.

"Kontrak kerjaku habis dua bulan lagi." Cinta memberi jarak ucapannya, "ada tawaran kerja di rumah sakit di Jakarta."

Pansa seketika memahami ke mana arah pembicaraan ini. "Kamu mau pindah?"

Cinta menatap kedua mata Pansa lekat-lekat. Mata sipit itu tampak sayu. Saat ini mungkin gadis itu sedang sangat lelah. Cinta tiba-tiba menyesal telah menyita waktu istirahat Pansa.

"Aku masih mempertimbangkannya."

"Kalau kesempatannya lebih bagus di Jakarta, diterima saja."

Ini adalah hal yang tidak Cinta inginkan. Ia tidak mau jauh dari Pansa. Ia pikir Pansa juga demikian. Rupanya hanya dirinya sendiri yang tidak bisa saling berjauhan, barangkali ia terlalu kekanak-kanakan.

Pansa memandang Cinta penuh tanya. "Jangan pikirin aku. Aku akan baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja. Jangan lepaskan karirmu hanya demi sekota dengan aku." Seolah memahami isi pikiran Cinta, Pansa mencoba meyakinkan gadis itu.

Cinta menggeleng, rasanya ingin menangis. "Tapi aku nggak bisa. Aku nggak baik-baik saja." Akhirnya ia dapat berkata jujur.

Pansa menghela napas. Melepas genggaman tanganya. "You will be okay. Sebelumnya, kamu juga baik-baik saja, kan, sebelum ketemu aku."

" I wasn't." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Cinta. Tatapannya tajam, tetapi penuh dengan permohonan.

Pansa terperanjat. Cinta benar, gadis itu memang tidak baik-baik saja jauh sebelum bertemu dengan dirinya. Sebagai kekasih, hingga saat ini ia tidak tahu apa saja yang telah Cinta lalui pada masa-masa depressive episode-nya.

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang