Bagian XXIV

446 96 12
                                    

Di tempat wisata pembuatan tembikar, keluarga kecil itu menghabiskan waktu bersama. Belajar membuat gerabah. Di tempat ini juga tersedia pelatihan peracikan teh. Selain, membuka pelatihan, tempat ini juga menjual produk-produk gerabah dan teh.

Cinta enggan membuat gerabah, ia lebih tertarik untuk meracik teh. Sejak pindah ke Jogja, ia sudah lama tidak melatih kemampuan meracik tehnya.

"Mama baru ingat, Mama belum pernah coba racikan tehmu sama sekali, sejak kamu kembali ke Indonesia." Ucap Natalia, siap menyesap teh oolong racikan putrinya.

Cinta tersenyum. Menatap ibunya harap-harap cemas.

"Enak, lho, nggak terlalu pahit. Takarannya pas."

Cinta tersenyum bangga dan malu-malu.

"It's supposed to be good. Tapi, kayanya aku memang nggak bisa minum teh pahit, deh." Win berkomentar pasca menyeruput teh buatan Cinta.

"Kakak, nih, kurang-kurangilah konsumsi gula. Jangan kebanyakan." Cinta menasihati penuh kekhawatiran. Ia tidak mau kaki kakaknya membusuk suatu hari nanti.

"Aku jarang minum teh dan kopi, Cinta. Aku selalu minum air putih. Cuma memang nggak bisa minum yang pahit-pahit." Win membela diri. "Heran, Pansa, kok, doyan banget kopi nggak pakai gula."

Mendengar nama Pansa, telinga Cinta bergerak seperti kuping kucing yang mendengar langkah kaki. "Kak.."

"Ya?"

"Kak Pansa sesering itu, ya, minum kopi?"

"Waktu di Jepang sih, kalau meeting sama dia pasti dia bawa kopi. Pernah juga meeting di kantornya disuguhnya kopi, mana nggak dikasih gula. Kejam banget."

"Kamu tuh, apa dikit dibilang kejam."

Cinta tiba-tiba terpikirkan kebiasaan Pansa merokok. Ia lebih sering memergoki wanita itu merokok ketimbang minum kopi. "Kak Pansa sering merokok nggak sih? Aku dulu beberapa kali kalau ketemu dia pasti sedang merokok. Tapi, aku jarang lihat dia merokok di rumah."

Win berusaha untuk menghabiskan teh buatan Cinta, merasa pahit, wajah Win mirip seperti ikan pari dikeringkan. "Sering. Dia merokoknya parah, tapi lebih parah minum kopinya."

Ada perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba menghampiri Natalia. "Dia macho banget, ya?"

"Nggak se-macho itu, kok. Cuma pola hidupnya nggak sehat. Tapi, anehnya rajin olahraga. Dulu waktu di Jepang, aku beberapa kali ikut main badminton sama dia dan teman-temannya."

"Tapi, bukan yang pergaulannya aneh-aneh gitu, kan, Win?"

Cinta merasa kurang suka dengan pertanyaan ibunya. Ada ketidakterimaan yang dirasakannya. Sedikit marah. Ia ingin membela Pansa mati-matian. "Ma, jangan suka negative thinking ke orang lain, deh."

"Mama cuma khawatir sama kamu, Cinta."

"Kak Pansa orangnya baik, kok. Dia nggak aneh-aneh." Mencoba menahan emosinya, ia membela kekasihnya.

Win memandang Cinta dalam-dalam. Ia menangkap ketidaksenangan di raut wajah Cinta. "Dia orangnya sebenarnya introvert. Kalau ketemu, nggak begitu banyak omong, kok. Kalau dipancing soal kerjaan baru mau ngobrol. Tapi, networking-nya luas, lho. Makanya sekarang bisa bikin perusahaan sendiri."

"Oh, dia punya perusahaan sendiri? Hebat, dong."

Win mengangguk setuju. "Orangnya keras. Kalau ngomong agak ketus. Tapi, perlu diakui kalau dia hebat."

"Kamu nggak pernah dimarahi, kan, Cinta?" Natalia mulai takut kalau-kalau Pansa memarahi Cinta.

Cinta menggeleng. "Nggak, kok. Mama jangan khawatir." Bohong, dia pernah bertengkar dengan Pansa ketika ia sakit hingga masuk IGD.

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang