Bagian XII

432 79 8
                                    

Magangnya telah usai. Pihak rumah sakit memintanya menjadi dokter kontrak. Ibunya ingin ia kembali ke Jakarta, mencari lowongan di rumah sakit yang dekat-dekat saja atawa di Bandung agar Win dapat mengawasinya. Namun, hatinya sudah tertambat di Jogja.

Rumah sakit tempatnya magang–yang kini menjadi tempat kerjanya–tidak besar-besar amat jika dibandingkan dengan rumah sakit swasta lain di Jogja, sebut saja rumah sakit swasta milik ormas terbesar di Jogja atau rumah sakit katolik di dekat UGM maupun UKDW. Gajinya tidak seberapa. Di atas UMP DIY, tetapi masih di bawah UMP DKI.

Bila ia tertambat pada Jogja, mestinya ia bisa mencari lowongan di rumah sakit-rumah sakit kelas B itu. Namun, menerima tawaran kerja di rumah sakit ini membuatnya memiliki alasan untuk pindah kost. Alasan untuk sering bertemu dengan satu orang tertentu yang setahun belakangan telah bermukim di hatinya.

Di ruang tamu yang lebar dan sepanjang lapangan badminton Cinta duduk pada sofa dengan desain yang modern, sangat kontras dengan desain indis rumah ini. Rumah ini lantainya masih tegel berwarna hitam keabu-abuan. Plafonnya tinggi, lebih tinggi dari rumah-rumah masa kini, mencapai 3 meter. Jendela-jendelanya terbuat dari kaca: kaca mati dan kaca louvered.

Sekitar 3 meter di hadapannya terbentang rak buku sepanjang dan setinggi dinding. Sebagian panel rak itu digunakan untuk menaruh foto-foto berbingkai.

Terdengar suara mobil memasuki halaman. Dari jendela kaca Cinta melihat mobil Jeep yang ia kenali diarahkan ke halaman samping. Pansa keluar dari mobil tersebut, tergopoh-gopoh memasuki rumah.

"Hai, nunggu lama, ya? Sorry sorry, biasa Jakal macet parah."

Cinta berdiri dari duduknya dengan gugup. "Nggak, kok, Kak. Baru datang sepuluh menit yang lalu."

"Ke sini naik apa? Saya nggak lihat motor maupun mobil."

"Jalan kaki. Aku dari rumah sakit. Mobilku kutinggal di sana."

"Oh gitu. Jadi, gimana merasa dekat atau jauh?"

"Kalau jalan kaki lumayan dekat. Mungkin kalau naik mobil akan terasa lebih dekat lagi."

"Dengan kost kamu yang sekarang?"

"Ah, lebih dekat ini. Kostku sekitar lima kilo dari rumah sakit."

"Waduh, kalau jalan kaki dari kostmu yang sekarang ke rumah sakit lumayan capek tuh. Ya sudah ambil kost di sini saja biar bisa jalan kaki." Pansa mengambil napas, "mau langsung lihat kamarnya?"

"Boleh."

Keduanya meninggalkan ruang tamu, Pansa memimpin jalan.

"Kamar ini dan ini yang saya sewakan." Pansa membuka pintu kedua kamar yang dimaksud secara bergantian. "Ukurannya sama, isinya juga sama: dipan ada kasurnya, lemari pakaian, dan meja dan kursi belajar." Pansa menarik napas, "bedanya, kamar yang ini jendelanya menghadap halaman depan, kalau yang ini menghadap ke halaman belakang."

"Kamar mandi luar semua ya, kak?"

"Ya, benar. Itu kamar mandinya." Pansa membuka pintu yang tak jauh dari kedua kamar tersebut.

Kamar mandi itu telah dikeramik. Terdapat bathtub, shower, keran, dan toilet duduk.

"Kalau yang tengah ini kamar saya."

"Sudah ada orang lain yang mau ngekost di sini?" Cinta bertanya.

"Belum. Udah saya iklankan, cuma mungkin karena agak jauh dari kampus, jadi belum ada yang kepincut."

"Harga sewanya?"

"Tujuh ratus ribu saja. Sudah include listrik. Kalau ada barang tambahan seperti printer dan rice cooker, seterika masih aman. Tapi kalau bawa kaya hair dryer, atau mau pasang AC, nanti ada biaya listrik tambahan."

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang