Bagian XII Part 2

709 112 11
                                    


Bonus, update singkat  :)

***

Pukul delapan malam, Pansa mengetuk pintu kamar Cinta yang sejak maghrib tertutup rapat. Tidak lama kemudian pintu itu terbuka.

"Hai, sibuk nggak atau sudah mau tidur belum?"

Cinta menggeleng.

"Saya beli martabak. Mau nggak? Kalau mau ada di ruang tamu."

Cinta diam, tampak berpikir.

"Kamu, bukanya sejak datang ke sini belum makan apa-apa, ya?"

Cinta menatap Pansa lekat. Tidak disangkanya bahwa ibu kostnya ini memerhatikannya.

"Makan, yuk, sekalian ngobrol-ngobrol. Anggap aja saya menyambut kamu, gimana pun kan saya induk semangmu."

Cinta tampak berpikir. Pansa yang berdiri di hadapannya saat ini sedikit berbeda dengan Pansa yang ia jumpai saat di Jepang. Kini wanita yang lebih tua darinya itu tampak lebih ramah dan hangat.

"Aku ambil HP dulu."

"Oke, saya tunggu di ruang tamu."

Pansa menuju ruang tamu terlebih dahulu. Tak lama kemudian Cinta menyusul. Ketika Cinta tiba di ruang tamu, dilihatnya terdapat martabak dan terang bulan di atas meja. Porsinya cukup banyak, sepertinya Pansa memang berniat membelinya untuk berdua.

"Duduk, dong, Ta. Sungkan amat." Pansa tersenyum lebar, mencoba memecah kecanggungan di antara keduanya.

Begitu Cinta duduk pada sofa di hadapan Pansa, wanita itu mendekatkan kardus martabak dan terang bulan pada Cinta, memberi kode agar gadis itu mengambilnya.

"Dimakan, Ta. Suka yang mana? Martabak atau terang bulan?"

Dengan ragu, Cinta mengambil satu potong martabak. Memakannya dengan sungkan dan penuh jaga image.

"Oh, ya, karena sekarang kita serumah. Sepertinya kita perlu perkenalan ulang yang lebih proper deh." Pansa mengusap telapak tangannya dengan tissu.

"Pansa Vosbein, panggil saja Pansa. Umur 30 tahun. Anak tunggal dan sobat yatim piatu."

Cinta tersedak. Terbatuk-batuk dibuat pernyataan terakhir Pansa.

Pansa tertawa renyah. "Kenapa? Kaget banget kayanya. Minum-minum." Pansa menuangkan air putih pada cangkir kosong di hadapan mereka. Menyerahkannya pada Cinta.

Cinta meminumnya dengan tergesa, kali ini tidak tersedak.

"I'm sorry to hear that." Cinta tidak merasa bahwa persoalan yatim piatu dapat dibuat gurauan.

"Kenapa minta maaf? It's not like you're the one that made me become yatim piatu. Gantian, dong, perkenalannya."

"Benedicta Cinta Aurelia. Dua puluh enam tahun. Anak kedua dari dua bersaudara."

"Kenapa nggak dipanggil Aurel?"

Cinta menatap Pansa bingung dengan pertanyaan spontan tersebut. "Karena, memang Mamam dan Papa manggil aku Cinta."

"Kirain karena takut disangka anaknya Mas Anang."

Cinta mengejapkan matanya satu kali, terpana dengan pernyataan Pansa. Lantas ia tertawa. "Mungkin juga demikian."

Melihat Cinta tertawa, Pansa ikut tertawa lebih menggelegar. "Baru kali ini aku lihat kamu tertawa beneran."

Lagi-lagi Cinta dibuat terpana oleh Pansa. Ia tidak pernah bertemu dengan orang sejujur dan to the point Pansa. Otaknya berusaha keras mencari kalimat yang tepat unutk menanggapi manusia seajaib Pansa. "Karena memang tidak ada yang tertawa."

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang