Aroma Rouge dan Strawberi

88 13 1
                                    

Bak

Buk

Bak

Buk

               Suara pukulan demi pukulan di atas ring. Tanpa pengaman kepala, Clay melakukan sparing dengan pelatihnya. Ia benar-benar menikmati rasa sakit dari setiap pukulan itu. Wajah, perut, rusuknya terkena pukulan yang bertubi-tubi. Telah lama ia tidak merasakan sensasi ini.

                Namun, di balik itu semua, ia juga melakukan serangan yang setimpal. Hanya saja sang pelatih menggunakan pengaman kepala karena ya memang biar aman saja. Pelatihnya sudah menyarankan Clay berkali-kali. Namun, Clay yang sangat batu itu sulit untuk ditegur. Alhasil, sparinglah mereka dengan seperti itu.

"Sudah, sudah," Coach Tu menghentikan pertarungan.

"Hidungmu sudah berdarah. Dan itu yang kau harapkan dari tadi, 'kan?" tambahnya lagi.

"Hahaha, sudah lama aku tidak merasakan hal ini, aku merindukannya," Jawab Clay sambil menyeka darah yang mengalir dari lubang hidungnya.

"Permainanmu mulai membaik, jika kau ingin menekuni ini, tekunilah. Karena kemampuanmu sudah di atas dari orang yang hanya sekadar olah raga," Coach Tu menimpali.

"Ah tidak, aku hanya ingin meluapkan sesuatu dalam hatiku," jelas Clay.

             Ya, Clay menggunakan olah raga tinju ini untuk meluapkan emosinya. Selalu terbayang wajah mantan dan selingkuhannya saat Clay melakukan tinju. Itulah yang membuat terkadang permainannya penuh dengan emosi sehingga tidak memberikan gerakan yang mantap.

"Baiklah, namun tetap perhatikan langkahmu. Jika kau terus dikuasai oleh emosi, aku khawatir tulang rusukmu akan patah atau pelipismu akan robek," Coach Tu menjelaskan dengan khawatir.

"Baiklah. Terima kasih sudah setia melatihku, hahaha" jawab Clay dengan bercanda.

"Hhh, sudah. Ganti bajumu. Aku sudah lelah. Dan jangan lupa bersihkan luka di bibir dan biru di pipimu itu," Coach Tu berbicara sambil melepaskan sarung tinju dan pergi meninggalkan Clay. Clay membalas dengan anggukan dan ikut berjalan ke ruang ganti.

              Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 malam. Clay bercermin melalui spion dalam di mobilnya. Ia melihat lebam di pipi dan luka robek di ujung kanan bibirnya. Ia menyentuh, meringis namun tersenyum merasakan hal itu. Ia pun menyalakan mobil dan bergegas menuju sebuah coffee shop yang tidak jauh dari sana.

              Frappuccino latte double shoot dan sepotong brownies cokelat telah ada di hadapannya. Setelah menyeruput minumannya, Clay mengeluarkan sekotak P3K yang selalu sedia di dalam tasnya. Ia menyeka luka di ujung bibirnya dan membersihkan sisa darah di hidungnya. Sesekali ia meringis karena perih yang ditimbulkan dari alkohol yang digunakan untuk membersihkan.

"Biar kubantu," suara seorang perempuan di sebelahnya.

               Clay menoleh dan sedikit canggung, "Oh, kau. Tidak apa-apa, aku bisa melakukannya sendiri," jawab Clay.

"Apa kakak bisa melihat di mana letak luka itu?" tanya perempuan itu lagi sambil menunjuk bibirnya sendiri.

"Mmm," Clay mengangguk sambil menunjukkan kamera di handphonenya.

                Perempuan itu pun mendengus dan duduk di sebelah Clay. Ia membalikkan tubuh Clay dan merebut kapas yang yang digunakan Clay.

"Sudahlah, sesekali menerima bantuan orang tidak ada salahnya," sambut si perempuan itu.

Chapter Kehidupan: My TherapyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang