Aku menatap mata bundar ya mementik sendu menatapku, ketika aku berkedip ternyata aku tidak sedang bermimpi. aku justru dapat melihatnya dari jarak satu jengkal saja, aku dapat memperhatikan hidung runcing dan rahang tajam yang sekarang ada dihadapanku.
Hatiku bergetar, melihat wajah itu yang terlihat lelah dengan kulit wajah yang kemerahan, aku mencoba menyentuhnya, mengusapnya dan mendiamkan jemariku di permukaan kulitnya, dan semuanya sama saat deru nafas hangat itu menyapu permukaan kulit tanganku, disitulah aku terasadar kalau aku sedang tidak bermimpi.
Aku seperti bodoh, mematung menatapnya sambil menyadari kalau aku sedang tidak bermimpi, ini nyata dan aku tidak sedang melihat hal semu.
Wajahnya dan tubuhnya nampak tidak bergerak, aku fikir aku bermimpi dan pergi ke suatu tempat untuk melihat sebuah lukisan, namun nyatanya aku tersadar lagi, kalau ternyata yang aku pegang itu bukanlah lukisan melainkan, dia.
Tangisku tak terbendung, sungguh aku sangat merindukannya. aku mengingkari janji pada diriku sendiri, bahkan aku ingkar pada sang maha pencipta.
Ini bukan tentang janji lagi, namun ini tentang kelemahan hatiku yang kurasa tidak adil ketika aku menghukumnya terus menerus, pada akhirnya aku memang tidak bisa menahan diriku, aku terlalu munafik pada sebuah janji dan sumpah.
Setiap malam, aku duduk seorang diri, merenung, berfikir dengan hati yang gundah. sesakali kedua telapak tanganku mengadah dan mataku terpejam.
Beberapa detik aku terdiam, tangisku mulai pecah. sekali lagi aku merayu tuhan dalam ucapku, agar engkau bisa mengatur semua hal yang terbaik untukku.
Nyatanya selama itu aku duduk tanpa lelah, berdoa dengan khusu, melangitkan semua hal yang aku minta, namun ternyata semua tidak berubah.
Aku masih bertengkar dengan diriku sendiri, aku berjanji untuk tidak lagi memikirkan sesuatu yang membuat setiap malamku gundah.
Nyatanya sekarang aku masih sanggup untuk menatapnya, menyentuhnya bahkan menangisinya. sungguh, aku sangat merindukannya.
Aku berbohong pada diriku, aku menarik ucapanku kemarin yang berulang-ulang aku ucapkan, aku mengatakan aku tidak akan lagi merindukannya, namun ternyata aku bohong.
.
"Windy?"
Aku menatap ibu yang datang setelah aku menunggunya untuk waktu yang cukup lama, namun aku tidak menemukan Chandra bersama ibu, dimana dia?
Ibu datang seorang diri, dan aku menarik diriku untuk bangun dari ranjang.
"Ibu, dimana Chandra?"
Sambil menurunkan kedua kakiku, ibu nampak menahan geraku.
"Kamu mau kemana?"
Aku saling menatap dengan ibu.
"Chandra mana bu?"
Ibu menghelakan nafasnya dan menatapku.
"Chandra diluar"
Langsung saja, aku melihat pintu kamar yang terbuka sedikit namun tidak melihat adanya Chandra disana.
"Ibu meminta Chandra menunggu ayah, kalau mau menemani kamu"
"Kenapa?"
"Nak, ibu tau semua yang sudah terjadi meski kamu atau Chandra nggak bilang apa-apa tapi ibu tau apa yang terjadi sama kamu sekarang itu karena Chandra"
Aku menatap ibu yang menatapku juga.
"Bu, aku hanya kelelahan .. nggak ada sangkut pautnya sama Chandra"