Juli Asshira berlari dengan cepat, napasnya terengah-engah saat ia mengangkat tubuh Faisal yang lemah. Faisal, yang menjadi korban pengeroyokan oleh Dewa dan teman-temannya, terbaring tak berdaya dengan tubuhnya penuh memar berwarna biru. Wajahnya pucat, dan Juli merasa hatinya teriris melihat keadaan Faisal yang begitu menyedihkan. Dengan penuh tekad, ia membawanya menuju UKS, tempat di mana Faisal bisa mendapatkan pertolongan.
Di sepanjang perjalanan, banyak siswa dan siswi yang menyaksikan pemandangan tersebut, tertegun dan terkejut melihat Juli mengangkat tubuh Faisal seperti membawa sebuah galon.
Ia menelusuri koridor kelas yang ramai, akhirnya tiba di sebuah ruangan UKS yang terletak di ujung koridor.
Dengan kegelisahan yang melanda, Juli mendobrak pintu UKS menggunakan kakinya, karena kedua tangannya sudah tidak bisa bergerak. Suara dorongan pintu itu menarik perhatian dokter dan anggota PMR yang berada di dalam, yang segera mengarahkan Juli untuk meletakkan Faisal di atas bangkar.
Setelah meletakkan Faisal dengan hati-hati, Juli berdiri di samping bangkar, menatap dokter yang mulai menangani sahabatnya. Dengan tatapan penuh harap dan rasa cemas, Juli hanya bisa berdoa agar Faisal segera pulih.
***
Tak lama setelah itu, Juli keluar dari UKS, ponselnya tiba-tiba bergetar dengan notifikasi panggilan masuk. Itu adalah Starla. Tanpa ragu, Juli mengangkat telepon itu, dan suara berat Starla segera terdengar.
"JUL, LO DIMANAA??"
"Gua di UKS," jawab Juli singkat.
"Ngapain lu di sana? Sakit?" tanya Starla, khawatir.
"Jagain orang sakit," balas Juli, tetap tenang meski hatinya berdebar.
Terdengar suara hembusan nafas dari balik telepon. "Jagain siapa sih, Jul? Tumben amat lo mau repotin orang," kata Starla, penasaran.
"Faisal. Gua udah kenalan sama dia," ucap Juli, menegaskan.
"Oh, iya? Faisal yang katanya gay terus pacarnya si Inces itu, bukan?!" tanya Starla, alisnya terangkat penuh tanda tanya.
"Dia nggak beneran gay atau pacarnya si Inces. Itu semua cuma settingan si Dewa," jelas Juli, berusaha memperjelas.
"Settingan gimana?" tanya Starla, semakin bingung.
"Nanti gua hubungi lagi, deh, Star." Juli mendongak, melihat Faisal sudah mulai tersadar dari pingsannya. "Tolong absenin dulu gua, ya. Bilang aja gua lagi sakit." Tanpa menunggu balasan, Juli menutup telepon, kembali fokus pada Faisal yang perlahan membuka matanya.
"Eh, Sal," suara Juli bergetar, kedua bola matanya melebar saat melihat Faisal yang baru saja membuka matanya.
"Lo nggak papa kan?" tanya Juli dengan cemas.
Faisal mengangguk, menoleh ke kanan dan kiri, menyadari bahwa dirinya benar-benar berada di UKS. Ini adalah pertama kalinya ia dibawa ke sini setelah dihajar habis-habisan oleh Dewa. Tahun lalu, tak ada seorang pun yang peduli. Kini, ada Juli yang tampak siap menjadi penolongnya.
"Aku nggak papa," jawab Faisal lemas. "Makasih ya, udah bawa aku ke sini."
Juli mengangguk, meresapi ungkapan Faisal. Bagi Juli, ini bukan hal yang besar; ia memiliki rasa empati yang mendalam. Ia pun pernah merasakan pahitnya dipermalukan, saat ia sendiri terlibat dalam keributan.
"Nggak usah bilang makasih. Lain kali, kalau dia kayak gitu lagi sama kamu, lawan aja," ujar Juli, berusaha memberikan semangat.
Faisal menundukkan kepala, hatinya tertekan. Ia tahu Juli benar, tapi keberanian untuk melawan selalu menjauh darinya.
"Aku nggak berani..." ungkap Faisal, suaranya penuh kesedihan.
"Kalau lo nggak berani, dia malah semakin berani sama lo, Sal," Juli berkata tegas, memberi jeda untuk menekankan maksudnya. "Apa lo nggak capek sama apa yang udah dia perbuat?"
Juli menatap Faisal yang masih menunduk, jemarinya bermain-main dengan bahan seragam. Dengan lembut, Juli mengangkat dagu Faisal, ingin membuatnya menatapnya.
"Kebiasaan! Kalau gue ngomong, lihat muka gue! Jangan nunduk mulu," cercanya.
Faisal mengangguk perlahan, matanya kini terfokus pada Juli. Tak berani lagi mengalihkan pandangannya. Mereka saling menatap, keheningan sejenak menyelimuti. Juli terpesona pada bibir merah Faisal yang bersinar. Ia menelan ludah, mendongakkan kepalanya, merasakan ketegangan di antara mereka, sebuah momen yang tak akan terlupakan.
Faisal, merasakan kedekatan Juli, perlahan menjauhkan wajahnya, mundur hingga kepalanya hampir menyentuh dinding. Namun, tangan kanan Juli segera menghalangi, melindungi kepala Faisal dari benturan dengan dinding yang kotor.
"Jul... k-kamu... m-mau... ngapain?" Faisal membulatkan matanya, terkejut melihat wajah Juli yang hanya beberapa jengkal di depannya. Juli tersenyum lebar, aura percaya diri terpancar dari dirinya.
"Gua nggak bakalan ngapa-ngapain," jawab Juli, dengan nada lembut. Ia menjeda sejenak, kemudian mengelus pipi lembut Faisal, menambah kehangatan di antara mereka. "Gua cuma mau buktiin kalau kata-kata orang itu salah."
Tanpa ragu, Juli mendekatkan bibirnya ke Faisal. Saat hendak melumat bibir Faisal, ia menutup mulutnya rapat-rapat. Juli menyipitkan mata, menggoda, "Kalau lo nolak, itu berarti lo beneran gay."
Faisal menggeleng, lalu membuka mulutnya, membiarkan Juli mencium dengan lembut. Saat bibir mereka bersentuhan, ada kehangatan yang mengalir, membuatnya merasa seolah dunia di sekitar mereka menghilang. Ciuman itu, meski singkat, membawa kedalaman emosi yang tak terduga, memecah batasan yang selama ini ada.
Perempuan itu sedikit menekan tubuh Faisal, ia melumat bibir Faisal hingga basah dan hingga Faisal terbawa dalam kenikmatan.
"Ahhhhk"
Namun, kenikmatan itu terasa berbeda dari pengalaman melumat bibir yang pernah dialami Faisal dengan Aldian atau Dewa. Apakah perbedaan ini disebabkan oleh faktor gender, ataukah Faisal benar-benar telah kehilangan akal? Pertanyaan-pertanyaan ini berputar dalam pikirannya, menciptakan kebingungan yang mendalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's falling in love with me (gxb)
FanfictionMendengar rumor yang mengatakan jika Faisal Khavian adalah cowok yang tidak normal, tidak suka perempuan membuat seorang Juliaz Asshira penasaran dengan rumor yang ia dengar. Untuk menghilangkan rasa penasaran nya, Juliaz Asshira yang merupakan seor...