Faisal menyimpan tasnya di kelas dengan hati yang lebih tenang. Hari ini, tak ada kata-kata buruk yang menghantuinya, dan tidak ada kekerasan yang harus ia hadapi. Selama sehari ini, ia bisa merasakan kedamaian, berkat kehadiran Juli yang telah membebaskannya dari kesengsaraan.
Setelah menaruh tas, Faisal berencana menghampiri Juli. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat Juni duduk sendiri, sesuatu yang jarang terjadi. Ia ingin menghampiri Juni, tetapi rasa takut menghalanginya-takut dianggap sokap atau difitnah oleh orang-orang yang tidak menyukainya.
Meski begitu, niatnya untuk menanyakan keberadaan Juli membuat Faisal memberanikan diri.
"H-hai," sapa Faisal ragu. Juni menundukkan buku yang dibacanya dan menatap Faisal, sosok yang dikenalnya dari basecamp kemarin.
Juni tidak menjawab, hanya menatap Faisal dengan tatapan datar yang membuatnya kebingungan. Faisal menggaruk kepala yang tidak gatal, mencari cara untuk memulai percakapan.
"T-tumben sendiri?" tanyanya, terkejut bisa berbasa-basi. Juni menghela napas, lalu menegakkan tubuhnya dan tetap menatap datar.
"Juli lagi ada urusan sama geng motornya yang ga berguna itu," jawab Juni, memberikan informasi yang Faisal cari.
Faisal mengangkat kedua alisnya, merasa terkejut. "Urusan? Geng motor ga tidak berguna?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Dia lagi nyerang geng motor sebelah," jelas Juni, matanya kembali tertuju pada buku di tangannya.
Faisal terdiam, jantungnya berdebar kencang. Mendengar bahwa Juli terlibat dalam penyerangan geng motor yang sama sekali tak ia kenali geng motor siapa, membuatnya khawatir akan keselamatan Juli.
"Kok bisa?" tanyanya, kedua bola matanya membulat penuh pertanyaan kepada Juni, yang tampak enggan membalas.
"Bisa saja," jawab Juni dengan nada malas. "Selain sudah menjadi tradisi, dia juga membalas dendam."
"Dendam apa?" Faisal bertanya lagi, senyumnya yang cerah terlihat kontras dengan ekspresi Juni yang semakin kesal karena pertanyaannya yang tak ada habisnya.
"Kemarin malam dia diserempet sama dua orang dari geng motor sebelah-"
"TERUS?" Faisal memotong ucapan Juni, panik. "Dia baik-baik aja, kan? Keadaannya sekarang gimana?"
Juni memutar kedua bola matanya, menatap tajam Faisal yang tampak gelisah. "Tenang saja. Kalau dia kenapa-kenapa, dia ga mungkin ikut serta dalam penyerangan nya."
Faisal menghela napas lega, merasakan beban yang menghilang saat mengetahui Juli tidak apa-apa. Namun, rasa bersalah melanda dirinya, menyadari bahwa insiden itu mungkin terjadi karena ia diantar pulang oleh Juli.
Faisal menatap Juni dengan wajah lugu. "Dia hari ini sekolah?" tanyanya pelan, penuh harap.
Wajah polos Faisal mungkin menggemaskan bagi Juli, tetapi bagi Juni, itu membuatnya ingin melemparkan buku. Meski begitu, karena Faisal adalah gebetan Juli, ia menahan diri.
"Sekolah. Tapi datang terlambat," jawab Juni singkat. Faisal hanya mengangguk, lalu berdiri untuk merapikan kursinya.
"Ya sudah, terima kasih sudah memberitahuku," ucapnya. "Nanti aku kesini lagi kalau Kak Juli sudah datang." Ia meninggalkan Juni, yang segera kembali fokus pada buku-bukunya.
Faisal menghela napas panjang, rasa khawatir menghimpit hatinya. Ia berharap Juli tidak semakin terluka setelah penyerangan itu. Saat berjalan sendirian di lobi, ia menunduk, menghindari tatapan orang-orang yang sering menyakitinya, termasuk Dewa. Langkahnya terhenti saat ia berpapasan dengan Dewa, Cakra, dan Arash.
Dewa tersenyum sinis melihat Faisal sendirian. "Sendirian aja. Bodyguard-nya mana?" ejeknya, diiringi tawa Cakra dan Arash.
"Bodyguard-nya lagi nyari masalah," Cakra menambahkan, menyadari bahwa Juli terlibat dalam penyerangan itu.
"Problematik banget," balas Dewa, menatap tajam Faisal yang langsung tertunduk. "Tolong bilangin sama bodyguard lo itu. Kalau dia nggak jagoan, jangan sok jagoan!"
Faisal terdiam, tak bisa membalas ejekan Dewa. Keinginannya untuk melawan terhalang rasa takut yang mendalam. Dewa, Cakra, dan Arash tertawa sejenak sebelum mendorong tubuh Faisal dan melewatinya. Mungkin mereka benar-benar menaati perjanjian dengan Juli untuk tidak mengganggu Faisal selama seminggu.
Setelah mereka menjauh, Faisal menghela napas lega. "Orang problematik, bilang problematik," ujarnya sambil memandang dari kejauhan.
Ia membalikkan badan dan melanjutkan langkahnya, pikirannya tak henti memikirkan Juli. Hatinya terasa tidak tenang sampai ia melihatnya.
Selama di kelas, meskipun matanya fokus pada papan tulis, pikirannya terus bertanya-tanya tentang kondisi Juli. Faisal beberapa kali izin ke kamar mandi, tetapi selalu mampir ke kelas Juli, yang ternyata masih kosong. Kini, ia sudah berada di jam pulang.
"Kak Juli kemana sih?" Faisal bergumam, khawatir saat berdiri di depan kelas Juli yang sepi. Wajahnya terlihat cemas, hampir menangis karena seharian memikirkan Juli.
Ia ingin mengirim pesan, tetapi tidak memiliki nomor Juli dan tak berani meminta kepada Juni yang selalu bersikap acuh padanya.
"Aku khawatir sama Kakak..." Faisal merenggek, air mata tak tertahan.
Ia kira sekolah sudah sepi, jadi berani melepaskan air matanya. Namun, beberapa teman sekolahnya masih ada di sana, melihatnya dengan heran.
"Anjing! Alay banget," ujar salah satu dari mereka.
"Cowok kok nangis," kata yang lain.
"Dia bukan cowok, anjing. Dia cewek," sahut temannya.
Faisal menundukkan kepala, merasa malu karena tertangkap basah menangis. Padahal, tidak ada yang salah dengan menangis. Namun, rasa malu menyergapnya.
Ia akhirnya memutuskan untuk pergi, pulang ke rumah dengan bayangan Juli dan rasa khawatir yang bercampur aduk.
Dalam perjalanan pulang, langkahnya terasa berat. Juli telah banyak membantunya, dan ia merasa tidak pantas meninggalkan Juli di saat-saat sulit.
"Gua sering mampir dulu ke basecamp sebelum pulang" Mengingat Juli pernah mengatakan bahwa ia sering mampir ke basecamp, Faisal menghentikan langkahnya, teringat kata-kata itu.
"Apa aku coba samperin ke basecamp?" tanyanya pada diri sendiri. Ia menghela napas panjang, "Oke, aku samperin dia ke sana." Saat hendak melangkah, keraguan kembali muncul.
"Tapi, apa boleh?" Ia bertanya pada dirinya sendiri. Namun, rasa khawatirnya lebih kuat. Faisal bertekad untuk menghampiri Juli di basecamp, berharap ia bisa menemukannya di sana.
***
Juli duduk santai di teras basecamp bersama Inti Harlies, tertawa lepas saat membahas penyerangan yang baru saja mereka lakukan.
"Asli, si Adrian itu songong banget, ajg!" sarkas Juli, diiringi tawa terbahak-bahak dari Starla.
"Sumpah! Mantan lo itu anjing," sahut Starla, menyusul canda Juli.
"Mantan babi," Juli menambahkan sambil memutar kedua bola matanya. "Kalau gua tau dia bakal jadi ketua sergitex, ogah banget gua mantanan sama dia," ujarnya dengan nada penuh penyesalan.
Starla dan Hasby tertawa, menikmati kopi dan rokok di sore yang hampir berakhir ini.
"Tapi, penyerangan tadi oke juga, ya. Kita nggak ada persiapan, tapi hasilnya mantep," puji Juli, bangga akan kerja sama mereka dalam menghadapi anak-anak SGT.
Saat mereka asyik mengobrol dan merokok, tiba-tiba Juli merasakan pelukan hangat di belakangnya. Ia menoleh, terkejut melihat Faisal memeluknya erat dengan wajahnya yang basah oleh air mata.
"Loh, Sal. Lo kenapa nangis?"
tbc....
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's falling in love with me (gxb)
Fiksi PenggemarMendengar rumor yang mengatakan jika Faisal Khavian adalah cowok yang tidak normal, tidak suka perempuan membuat seorang Juliaz Asshira penasaran dengan rumor yang ia dengar. Untuk menghilangkan rasa penasaran nya, Juliaz Asshira yang merupakan seor...