Jane melangkahkan kakinya keluar dari ruangan kerja milik Jean. Ia pun segera menelfon Pak Dewa untuk berpura pura menanyakan tentang Jean lalu meminta izin agar Adzkiya bisa dibawanya menemui Jean saat di landasan nanti.
"Ada kabar apa Pak tentang Jean ?" Tanya Jane kemudian.
"Jean tertembak" jawab Pak Dewa dengan nada dingin khasnya.
Jane diam mematung, lagi lagi ulu hatinya terasa nyeri. Ia amat sangat mengenali atasannya ini, jika Pak Dewa hanya mengatakan satu kalimat tanpa penjelasan sudah pasti itu adalah merupakan kabar buruk.
"Nanti malam mereka semua akan segera pulang ke tanah air" ujar Pak Dewa kemudian tanpa memberikan penjelasan tentang keadaan Jean saat ini.
Jane kembali diam, ia sadar bahwa ini adalah hal terburuk yang akan menjadi mimpi buruknya seumur hidup jika memang Jean pulang dengan keadaan tak lagi bernyawa. Tanpa sadar airmatanya jatuh.
"Jane ?" Panggil Pak Dewa diujung telfon sana.
Jane pun tersentak dari lamunannya. Ia pun menyegerakan diri untuk menanyakan izin membawa orang lain selain dirinya.
"Pak, saya mohon izin... Bolehkah Adzkiya ikut menjemput Jean sesampainya nanti tim di landasan ?" Tanya Jane dengan hati hati.
Ia sadar betul bahwa ini adalah hal yang sangat rumit karena institusi yang menaunginya adalah institusi rahasia yang tak boleh seorang pun tau tentang keberadaannya.
"Kamu mau bunuh diri dan bunuh kita semua Jane ?" Tanya Pak Dewa kemudian.
"Apapun yang terjadi pada Jean, Adzkiya berhak tau pak... Adzkiya adalah penyebab Jean pergi ke Afghanistan, tolong izinkan dia pak untuk melihat kondisi Jean" rengek Jane pada Pak Dewa.
"Tapi..."
"Saya jaminannya" ucap Jane dengan tegas.
"Kalo sampe Adzkiya atau siapapun membocorkan rahasia tentang keberadaan BRN, terutama datasemen IV... Saya siap mati karena anggap saja rahasia ini bocor dari saya" tegas Jane lagi.
Lagi lagi Pak Dewa hanya dapat mendengus sebal mendengar rengekan Jane. Dengan prestasi gemilang Jane dan Jean, bagaimana bisa ia mengabaikan kedua anak emasnya ini ?
"Baiklah, saya izinkan Venus" jawab Pak Dewa dengan berat hati.
"Terima kasih pak" ujar Jane yang langsung mematikan telfonnya.
Jane pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan kerja Jean untuk memberitahukan berita dan izin yang didapatkannya kepada Adzkiya.
"Ki..." Panggil Jane dengan pelan.
Adzkiya pun segera menoleh pada Jane yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
"Iya ? Gimana Jane ? Gimana ?" Tanya Adzkiya dengan begitu antusias.
Mata Adzkiya nampak sembab setelah menangisi Jean tadi.
"Apapun yang terjadi sama Jean, kamu harus terima ya ?" Tanya Jane balik sambil menutup pintu ruangan.
"Jean gimana ? Dia selamet kan ?" Tanya Adzkiya balik sambil mendekati Jane yang masih berdiri di dekat pintu.
Jane hanya diam, ia pun tak yakin harus memberitahukannya pada Adzkiya apa yang tadi dibicarakan oleh Pak Dewa kepadanya.
"Jane ? Jean gapapa kan ? Dia selamet kan ?" Tanya Adzkiya yang langsung mencecar Jane sambil menggoyang goyangkan tubuhnya.
"Aku ga tau, atasanku hanya bilang bahwa Jean tertembak" Jawab Jane pelan.
Tangis Adzkiya pun kembali pecah dihadapan Jane. Ia tak siap menerima kenyataan yang harus diterimanya jika Jean pulang dengan keadaan tidak lagi bernafas untuknya.