55. Penderitaan Abadi [End]

837 67 8
                                    

Dengan langkah pelan Yangyang berlalu dari kamar yang menjadi tempat terakhir kalinya ia akan bertemu si bungsu. Wajah tampan itu terlihat kacau, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang sering menampilkan wajah angkuh dan sombong.

Pemuda bersurai pirang tersebut melangkah keluar dari dalam lift dengan tatapan kosong, di wajahnya terdapat jejak air mata yang masih basah, matanya juga masih terus mengeluarkan air mata. Yangyang rapuh, dan pemuda itu tak peduli, biarkan semua orang melihat dirinya yang berantakan, dirinya yang merasa hilang arah. Yang tak peduli bagaimana pandangan orang tentangnya, rasa sakit di hatinya terasa sangat menyesakkan, bahkan untuk bernafas saja rasanya begitu berat.

Netra merah dengan jejak air mata itu menatap datar pada empat orang tawanannya yang masih sadarkan diri. Ah, bukankah sudah waktunya ia mengantarkan mereka pergi dari dunia ini?

Dari indra penciumannya Yangyang tau jika Shōtarō sudah melakukan titahnya tadi, merasa sudah waktunya ia pun berjalan melewati empat orang yang wlemas tak berdaya itu dalam diam. Ia tau mereka berempat tengah menatapnya, tapi apa peduli Yangyang?

Sebelum benar-benar keluar dari gedung Lab, Yangyang menyempatkan menoleh ke belakang, menatap punggung orang yang sudah dirinya anggap seperti saudaranya sendiri.

"Gē " panggil pemuda itu membuat Winwin sedikit mengangkat wajahnya.

Melihat pergerakan itu Yangyang tersenyum samar. "Terimakasih dan maaf, kau saudara terbaik yang pernah ku temui" ujarnya kemudian berlalu pergi dari sana, meninggalkan Winwin yang terdiam tanpa tau harus berekspresi seperti apa.

Pintu utama lah di tutup rapat, dari luar Yangyang menatap nanar ke arah lantai dua gedung di hadapannya. Untuk sesaat ia terdiam, sebelum melemparkan korek api yang menyala di tangan ke arah pintu masuk gedung yang lantainya basah karena bensin.

Perlahan api mulai merambat ke segala arah, karena cairan bensin yang Shōtarō dan beberapa anak buahnya sebarkan di setiap penjuru membuat gedung berlantai dua itu tertutup api dengan cepat.

Yangyang dan Shōtarō menatap intens gedung yang terbakar disana dalam diam, seolah sengaja merekam memori yang berhasil membuat keduanya tidak tau harus bereaksi seperti apa.

Hari ini, di hari yang sebenarnya adalah ulang tahun Yangyang, pemuda itu kembali membuat sejarah baru dalam hidupnya. Sejarah paling kelam yang tidak akan dirinya lupakan sampai kapanpun, karena dirinya pun sudah berjanji pada si bungsu. Yangyang pastikan dirinya akan hidup menderita hingga akhir hayat yang sudah di tentukan Tuhan meski sebenarnya ia tak terlalu mempercayainya.

Sedari kecil Yangyang tidak pernah di ajarkan atau di perkenalkan dengan yang namanya 'Tuhan' dan 'Agama', ia baru mengetahui hal-hal seperti itu dari si bungsu. Meski si bungsu bukan seseorang yang benar-benar religius, tapi dulu Yangyang beberapa kali pernah di ajak ke gereja bersama dengan Jeno juga. Untuk Shōtarō, anakanya memang terlalu bebas dan tidak peduli tentang hal-hal baru, jadi pemuda itu tidak pernah ikut dan lebih memilih duduk di sebuah cafe yang tak jauh dari gereja menunggu mereka hingga selesai.

Orang tua Yangyang— ah tidak, maksudnya Appa Liu lebih dominan mengajari putranya tentang sopan santun layaknya bangsawan, dan membekali begitu banyak ilmu tentang bisnis juga pelajaran yang seharusnya tidak di ajarkan kepada anak-anak.

Yangyang hidup dalam kegelapan, benar-benar gelap hingga akhirnya ia bertemu sosok Haechan. Si remaja gembul yang begitu setia di setiap saat, memberikan energi positif pada sekitarnya dan memberikan rasa nyaman dalam hatinya.

Dan sekarang cahaya yang dulu pernah dirinya jaga agar tidak pernah mati, meski memang cahayanya meredup karena angin yang menerpanya terlalu kencang, sampai-sampai Yangyang kesusahan untuk memberikan penghalang kini benar-benar padam karena ulahnya sendiri.

Si Bungsu [Nct127, 00line]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang