#story14
(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA UNTUK MEMBUKA BAB YANG DI PRIVATE ACAK)
Apakah ada yang percaya dengan cinta pada pandangan pertama? Beberapa orang mungkin berpikiran jika ungkapan tersebut sangat mustahil, karena cinta butuh waktu untuk tumbu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
****
Arona menatap layar ponselnya yang menampilkan isi chat dengan Bima. Ternyata, Septian yang memberikannya pekerjaan. Mungkin, Arona harus mengucapkan terima kasih kepada atasannya itu nantinya saat ada kesempatan.
Arona Oh, yaudah, bang. Tetap aja makasih buat lo. Kalau bukan karena gue junior lo, mana mau dia terima gue sebagai sekretarisnya.
Walaupun begitu, tetap saja kehadiran Bima yang menolongnya. Sebutuh apa pun Septian, dia tidak mungkin menerima Arona yang tanpa pengalaman untuk mengurus segala keperluannya di pekerjaan.
Arona menghela napas, menutup layar ponselnya. Kepalanya dia rebahkan di atas kedua tangannya yang di lipat. Arona berada di posisi telungkup di atas kasurnya, kepalanya di hadapkan ke samping, menatap ke arah meja rias berukuran kecil yang ada di bagian depan kasurnya. Sebagian dari kakinya menggantung di udara karena tidak ke kebagian kasur.
Di luar sana, Adit mengetuk pintu kamar Arona. "Arona, Mas boleh masuk enggak?"
Arona menarik tubuhnya untuk duduk, matanya dia tarik untuk menatap ke arah pintu. "Masuk aja, Mas," sahutnya.
Adit menarik gagang pintu, kemudian membuka pintu kamar Arona. Adit tersenyum saat menemukan Arona terduduk di atas kasurnya. "Mas kira tadi kamu udah tidur," ucapnya, menutup pintu kamar itu kembali.
"Belum, Mas." Arona menggeser posisi duduknya, memberikan Adit ruang untuk ikut duduk juga. Arona membiarkan kakinya menyentuh lantai. "Ada apa, Mas?" tanyanya, menatap Adit yang sudah duduk di sebelahnya.
Adit tersenyum hangat kepada Arona. "Enggak ada apa-apa. Mas mau ngobrol aja sama kamu, udah lama kita enggak ngobrol berdua." Adit harus bekerja di luar, dan jarang menanyakan bagaimana kabar adiknya itu. "Kamu dapat kerja di mana?"
"Di PT. Bara Bumi, Mas. Tapi, enggak sesuai sama pendidikan aku. Di sana aku jadi sekretaris."
"Enggak apa-apa itu. Kerja enggak harus sesuai pendidikan. Bersyukur aja bisa dapat kerjaan. Apalagi itu, jadi sekretaris, kan, ya?"
Arona mengangguk.
"Bagus itu. Enggak ada di keluarga kita yang jadi sekretaris," tambah Adit.
Arona menatap Adit. Kakak laki-lakinya itu memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya, dan juga Arona sendiri. Terlihat dari mata Adit yang memerah, dan lingkar hitam di bawah matanya, menandakan Adit kekurangan tidur. "Selagi di rumah, bawa istirahat, Mas."
Adit terkekeh. "Kelihatan banget, ya, mata ngantuk Mas?" Arona mengangguk lagi. "Maklum, namanya sopir. Bisanya tidur di jalan aja, mampir bentar, habis itu lanjut lagi."
Arona menatap Adit dalam diam. Mereka tidak berasal dari keluarga yang kaya, tapi mereka masih mensyukuri segala hal yang Tuhan berikan kepada mereka. Adit juga menggantikan tanggung jawab orang tuanya untuk menjaga Arona selama ini. Bagaimana bisa Arona mengeluh, dan merasa tidak adil dengan semua yang telah dia terima dari Adit.