18. Delapanbelas

827 156 26
                                    

Sasha merasa ada yang tak beres dengan kondisi tubuhnya. Wanita itu sudah hafal betul dengan kesehatannya sendiri. Dan ada yang aneh dengan tubuh Sasha.

Dia bukanlah wanita emosional, tidak mudah membuat Sasha menangis atau marah yang benar-benar membuatnya meledak. Tidak seperti sekarang, melihat kucing di pinggir jalan saja membuatnya meneteskan air mata. Melihat pedangang pinggir jalan juga membuat Sasha terharu.

Yang terpenting. Bulan ini Sasha belum kedatangan tamu! Ya ampun, Sasha mulai panik.

Sengaja Sasha membeli banyak alat tes kehamilan dengan berbagai harga. Matanya terpejam sebentar sebelum melihat hasil tes. Sasha menginjak semua alat tersebut kala menunjukkan dua garis. Yang berarti dia positif hamil.

Tidak!

Sasha tidak ingin hamil terlebih dahulu. Apalagi di tengah situasi yang tak mendukung si bayi. Sasha tidak ingin bayi itu tumbuh besar seperti dirinya. Karena kegagalan orang tua dan ketidaksiapan terhadap hadirnya anak. Benar, Sasha belum siap menjadi ibu. Sasha takut jika anaknya tahu orang tuanya tidak seperti orang tua lain. Apalagi ... apalagi Juna berencana mengambil anak tersebut dan hidup berdua bersama Bagus. Disaat Sasha yang menderita hamil selama 9 bulan.

Tunggu dulu!

Semuanya kini masuk akal. Pasti Juna sudah tahu semuanya. Pria itu telah mengetahui perihal kehamilannya. Pantas saja Juna mau mengikuti Sasha tinggal di kos. Lalu berubah menjadi sosok protektif yang melarangnya melakukan hal ini itu.

Sialan. Juna seharusnya tahu batasan. Setelah pengusirannya tempo hari, menandakan bahwa urusannya dengan pasangan tolol itu berakhir. Seharusnya Juna tahu itu! Bukannya dengan sengaja menghamili Sasha.

Sasha keluar dari kamar mandi. Di sana sudah ada Juna yang baru saja pulang bekerja. Pria itu hendak membuka setelan kerja yang seharian dikenakan.

Sasha melempar semua alat tersebut, tepat pada wajah Juna.

"Sha ..."

Juna memegang erat salah satu alat yang menunjukkan dua garis. Wajahnya seketika layu. Bak pencuri yang tertangkap basah.

"Sejak kapan lo tau gue bunting?"

Juna menunduk. Tidak berani menjawab pertanyaan yang dilempar oleh Sasha. Makin membuat sang istri geram. Sasha menarik kerah baju Juna, lalu memukul-mukul tubuh sang suami. Juna hanya diam saja, karena ia tahu bahwa memang dirinya bersalah.

"JAWAB, ANJING! BISU, LO? NGGAK TAU BAHASA MANUSIA?"

Juna masih terdiam, hendak meraih tubuh Sasha.
 
"PERGI LO DARI SINI! GUE NGGAK SUDI LIAT LO DI SINI! BAYI GUE NGGAK BUTUH BAPAK HOMO!"

Sasha menjauh dari Juna. Meraih tas yang terselempang. Juna menahan tubuhnya kala Sasha hendak mengambil sepatu.

"Mau kemana, Sha? Jangan pergi ... kamu masih emosi."

"MINGGIR! Gue mau gugurin bayi ini!"

Seketika wajah Juna berubah menjadi tegang. Tanpa menunggu lagi, Juna menarik tubuh sang istri untuk ia dudukkan di atas pangkuan. Juna lantas memeluk Sasha dengan erat. Tidak ... bayinya tidak boleh pergi. Juna menginginkan kehadiran si buah hati.

"Aku mohon, Sha. Jangan bunuh bayi kita. Aku minta maaf karena nggak ngasih tau kamu sebelumnya. Kamu boleh pukul aku sepuasnya atau maki-maki aku. Tapi jangan bunuh bayinya."

"Gue nggak mau hamil! Udah berapa kali gue bilang, gue belum siap! Jangan ganggu hidup gue lagi. Lo cuma jadiin gue mesin pembuat anak. Habis itu seneng-seneng sama bencong! Sementara gue bakalan kesusahan hamil sendirian."

Juna menggelengkan kepala. "Enggak. Aku bakalan nemenin terus. Kamu bukan mesin pencetak anak. Pulang, ya? Biar aku gampang ngurusin kamu."

"Nggak mau! Gue ogah numpang sama elo. Gue sama bayi ini cuma pembawa sial, kan? Mending lo pergi aja. Nggak usah anggep gue bunting. Jangan pernah akuin bayi ini."

Love Options Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang