Luca menunduk, berusaha menghindari tatapan Felix yang dingin dan menghina. Dia merogoh sakunya, mengeluarkan secarik kertas dan pulpen, lalu mulai menulis. Ketika selesai, dia menyerahkan kertas itu kepada Felix.
Felix membaca pesan itu dengan cepat. "Aku butuh uang untuk membayar ganti rugi mobil yang rusak. Bisa pinjamkan uang? Aku akan balikin."
Felix mendengus, lalu menyeringai dengan penuh kemenangan. "Oh, jadi sekarang kau butuh bantuan, ya? Setelah selama ini kau nggak berguna di rumah ini?" katanya dengan nada merendahkan. "Kenapa aku harus bantu kau bisu?"
Dia sudah menduga akan mendapatkan reaksi seperti ini, tapi dia masih berharap Felix punya sedikit simpati. Felix selalu menggunakan setiap kesempatan untuk menekan Luca.
"Tapi..." Felix berkata perlahan, suaranya berubah lebih licik. "Aku mungkin bisa bantu, tapi dengan satu syarat."
Luca mengangkat kepala, menatap Felix dengan tatapan bertanya.
Felix tersenyum miring. "Kau harus ngelakuin apa pun yang aku minta. Jadi, kalau aku mau kau bersihin kamarku, ambilin tugas sekolahku, atau apapun... kau harus lakuin tanpa protes."
Luca menelan ludah, merasa terjebak. Dia tahu ini akan terjadi. Felix tidak akan pernah membantu tanpa ada imbalan yang besar, dan dia pasti akan memanfaatkan Luca sebaik mungkin. Namun, dia tidak punya pilihan lain. Jika dia tidak menerima syarat ini, dia mungkin tidak akan pernah bisa membayar ganti rugi.
Dengan berat hati, Luca mengangguk pelan, menerima syarat Felix.
Felix tertawa kecil, puas. "Bagus. Aku suka kalau kau tahu tempatmu," katanya sambil berbalik menuju meja, mengambil dompetnya. "Aku akan kasih kau uang 1 juta, tapi ingat, Luca. Kau babuku sekarang. Jangan pernah lupa itu."
Luca merasa jantungnya berdetak kencang, tapi dia tetap diam. Felix mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya kepada Luca dengan senyum sinis.
"Sekarang pergi, sebelum aku berubah pikiran," perintah Felix, sambil melambaikan tangannya dengan acuh.
Luca mengambil uang itu tanpa mengucapkan terima kasih, dia tidak perlu, Felix tidak akan peduli. Dia hanya mengangguk singkat sebelum berbalik dan berjalan keluar dari kamar Felix, menutup pintu dengan hati-hati di belakangnya. Begitu pintu tertutup, Luca melepaskan napas panjang. Uang ada di tangannya sekarang, tetapi harga yang harus dia bayar untuk mendapatkannya jauh lebih tinggi daripada yang dia bayangkan.
Keesokan harinya, dengan uang itu di sakunya, Luca menunggu Samuel di gerbang sekolah. Begitu Samuel tiba dengan motornya, Luca segera mendekatinya. Dia mengeluarkan uang dari sakunya dan menyerahkannya kepada Samuel dengan ekspresi datar.
Samuel menatap uang itu sejenak sebelum mengambilnya. "Kau dapet dari mana?" tanyanya, sedikit heran.
"Bukan hasil mencuri, kan?"
Luca hanya mengangkat bahu dan menulis di kertas, "Aku meminjam."
Samuel membaca tulisan itu dengan tatapan curiga, tetapi dia tidak bertanya lebih lanjut. Dia hanya mengangguk dan memasukkan uang itu ke dalam sakunya. "Baiklah. Janjimu sudah dipenuhi," katanya singkat sebelum berbalik dan pergi.
Huf, akhirnya masalahnya dengan Samuel selesai meskipun ada harga yang harus ia bayar di balik semua itu.
Keesokan harinya, ketika Luca baru saja duduk di bangkunya setelah jam istirahat, Felix tanpa basa-basi menghampirinya. Wajahnya penuh kepuasan seolah-olah dia sudah menunggu momen ini.
"Hei, bisu," kata Felix dengan nada meremehkan, membuat beberapa teman sekelas menoleh ke arah mereka. "Pergi ke kantin, beliin gue makanan. Gue lagi nggak mau turun. Dan ya, sekalian aja ambilin pesanan temen-temen," tambahnya sambil melambaikan tangan ke arah beberapa siswa lain yang duduk di dekatnya.
Beberapa teman Felix langsung ikut-ikutan, tanpa malu-malu mulai menyebutkan pesanan mereka. "Gue mau nasi goreng, tambahin telur ya," kata salah satu dari mereka sambil tertawa kecil. Yang lain menyahut, "Gue es teh manis sama sosis bakar!"
Luca menunduk, menerima daftar pesanan yang semakin panjang. Dia tidak bisa menolak. Sudah jelas, sejak dia menerima bantuan uang dari Felix, adik tirinya merasa bahwa Luca harus selalu tunduk pada semua perintahnya.
Felix menyeringai puas melihat Luca tidak membantah. "Cepat sana, sebelum jam istirahat habis," perintahnya, lalu menepuk bahu Luca dengan kasar sebelum berbalik menuju mejanya.
Luca merogoh sakunya dan mengeluarkan buku catatan kecilnya. Dia mulai mencatat semua pesanan yang disebutkan teman-teman Felix, sementara beberapa siswa di kelas mulai berbisik dan menertawakan situasi itu. "Kasihan juga ya dia, kayak pembantu pribadi," celetuk seorang siswa di belakang. Yang lain menambahkan, "Ya, tapi dia nggak bisa protes, kan? Bisu."
Luca selesai mencatat semua pesanan, lalu berdiri dan meninggalkan kelas tanpa berkata apa-apa. Dia berjalan cepat menuju kantin, mencoba menahan rasa malu dan kemarahan yang bercampur aduk dalam dirinya.
Sampai di kantin, Luca menyerahkan daftar pesanan kepada penjual, yang menatapnya sedikit bingung karena begitu banyak pesanan yang datang dari satu orang. Luca hanya tersenyum kecil dan menunggu dengan sabar sampai semuanya selesai. Dia tahu, jika dia kembali ke kelas tanpa membawa semua makanan itu, Felix dan teman-temannya pasti akan membuat hidupnya lebih sulit.
Setelah selesai membayar dengan uang yang diberikan oleh Felix, Luca membawa nampan penuh makanan dan minuman, berjalan perlahan menuju kelasnya. Tangannya gemetar karena beratnya beban di kedua tangan, tetapi dia tetap berusaha agar tidak ada yang tumpah. Ketika sampai di pintu kelas, beberapa siswa memperhatikannya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, sementara yang lain kembali tertawa pelan.
Felix melambai malas dari bangkunya. "Akhirnya lo balik juga. Lama banget," katanya dengan nada mengejek. Luca berjalan mendekat dan mulai membagikan pesanan satu per satu. Teman-teman Felix mengambil makanan mereka sambil bercanda, beberapa di antaranya bahkan tidak repot-repot mengucapkan terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Silent Lover [END]
RomanceKetika si bisu menjadi kekasih pria terpopuler disekolahnya