Keesokkan harinya Luca terbangun dari tidurnya secara perlahan, tubuhnya terasa lelah. Namun, ada sensasi aneh yang mengganggu perutnya, seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal disana. Dengan gerakan yang hati-hati, ia berusaha menggerakkan tubuhnya, namun segera terhenti ketika ia mengetahui bahwa dirinya tertidur diatas Samuel. Dan lebih memalukan lagi ia melihat sesuatu yang seharus tidak ia lihat.
Luca yang masih terduduk diatas Samuel langsung menatap Samuel dengan ekspresi malu.
"Apa kau tidur nyenyak?" tanya Samuel padanya
Dengan cepat Luca mengangguk menanggapi pertanyaan. Ia menggeserkan tubuhnya agar menjauh dari Samuel karena merasa tidak enak dengan sesuatu yang sudah berdiri tegak dibawahnya.
"Ah" desah Samuel pelan
"Jangan banyak bergerak," ujar Samuel dengan nada suara yang lembut, ia memegang pinggang Luca dan menahannya sebentar agar tidak bergerak.
"Kalau kau terus bergerak, aku mungkin akan ejakulasi"
Luca merasakan panas di pipinya, dia dengan segera menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya karena merasa malu.
"Ini adalah reaksi fisiologis pria di pagi hari" Samuel menjawab dengan suara sedikit malu, tidak bisa menahan rasa canggungnya. Wajahnya memerah sedikit, jelas terlihat bahwa dia merasa tidak nyaman membicarakan hal ini. "Jadi... jangan terlalu banyak bergerak dulu," lanjutnya lagi, berusaha untuk tetap menjaga situasi agar tidak terlalu canggung.
Setelah beberapa detik yang canggung, Samuel akhirnya membiarkan Luca berpindah dari atasnya, tidak mungkin ia akan menodai Luca yang menurutnya polos begitu.
Samuel berdiri dan mengambil handuknya, ia berjalan ke arah dapur tampaknya ia akan pergi mandi.
Cukup lama untuk Samuel keluar dari kamar mandi, karena Luca juga seorang pria jadi ia paham apa yang sedang dilakukan oleh Samuel didalam sana.
Setelah beberapa saat, Samuel keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih basah dengan handuk melilit di pinggang. Aroma sabun yang segar tercium samar di udara. Ia berjalan keluar dari kamar mandi, dan sesaat matanya bertemu dengan Luca yang terbaring di sofa ruang tamu.
"Hey...." Samuel memecah keheningan dengan suaranya yang lembut. "Kau mau pulang sekarang atau tetap di sini?" tanya Samuel, berdiri di dekat Luca.
Luca menggelengkan kepalanya pelan. hari ini bukanlah hari yang ingin ia habiskan di rumah. "Aku tidak ingin pulang," tulis Luca di ponselnya, matanya tetap terfokus pada Samuel. "Hari Minggu... Aku tidak ingin pulang," lanjutnya lagi.
Samuel mengangguk memahami. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang Luca sembunyikan, dan mungkin rumahnya bukanlah tempat yang ingin ia tuju saat ini. Tanpa berkata lebih banyak, Samuel berbalik. "Kalau begitu, aku masak sesuatu untukmu," katanya, suaranya terdengar lebih santai namun penuh perhatian.
"Tapi sebelum itu tunggu aku mengganti pakaianku sebentar." Luca hanya bisa menatap punggung Samuel yang kian menjauh.
Samuel menghabiskan waktu di dapur, sibuk menyiapkan makanan sederhana, memotong-motong bahan dengan cekatan. Beberapa menit kemudian, aroma masakan mulai memenuhi udara. Luca merasa sedikit lapar
Luca berbaring dengan santai, mendengarkan suara-suara dari dapur yang begitu familiar namun menenangkan. Dalam beberapa detik, Samuel kembali dengan dua piring makanan. "Aku harap ini bisa dimakan," katanya sambil tersenyum, meletakkan satu piring di meja samping tempat tidur Luca.
"Terima kasih," tulis Luca di ponselnya.
Samuel duduk di sebelahnya, menikmati makanannya juga. Ia memandangi Luca sebentar, merasa sedikit lega melihat Luca makan dengan lahap. Setelah selesai makan, mereka menghabiskan waktu bersama di ruang tamu rumah Samuel. Samuel menyalakan televisi, memilih saluran acak tanpa benar-benar memperhatikan apa yang sedang ditayangkan. Ia lebih fokus pada Luca, yang tampak duduk diam sambil memainkan ponselnya.
"Kalau kau bosan, kita bisa lakukan hal lain," tawar Samuel.
Luca hanya menggeleng pelan dan mengetik sesuatu di ponselnya. "Aku suka di sini, nggak apa-apa."
Selama beberapa jam berikutnya, mereka berbicara atau lebih tepatnya, Samuel berbicara dan Luca mendengarkan, sambil sesekali menulis sesuatu di ponselnya untuk membalas. Topiknya ringan, mulai dari pengalaman sekolah, otangtua samuel, hingga hal-hal sepele yang terjadi dalam hidup mereka.
Saat matahari mulai merangkak turun, warna langit berubah menjadi jingga kemerahan. Samuel melirik jam di dinding. "Sudah hampir sore. Apa kau ingin pulang sekarang?" tanyanya, nada suaranya sedikit khawatir.
Luca ragu sejenak, lalu mengetik di ponselnya. "Bisa kau antarkan aku pulang?"
"Tentu saja," jawab Samuel tanpa ragu. Ia bangkit dari sofa, mengambil jaketnya, lalu menoleh ke Luca. "Ayo."
Luca tersenyum tipis, merasa sedikit enggan meninggalkan tempat itu. Di rumah Samuel, ia merasakan ketenangan yang sulit ia temukan di tempat lain.
Di perjalanan pulang, Samuel mengendarai motor dengan hati-hati. Ia sesekali melirik kaca spion.
Luca, seperti biasa, hanya diam sambil memeluk erat pinggang Samuel. Angin sore terasa sejuk, memberikan sedikit rasa nyaman.
Setelah beberapa menit, mereka tiba di depan rumah Luca.
"Terima kasih sudah mengantarku," tulis Luca di ponselnya, menunjukkan layar itu pada Samuel dengan senyum tipis.Samuel mengangguk. "Kalau ada apa-apa, jangan lupa mengirimi ku pesan?"
Luca mengangguk pelan, lalu berjalan menuju pintu rumahnya. Ia merasa sedikit lebih baik setelah hari yang panjang ini, tetapi perasaannya langsung berubah saat ia membuka pintu.
Di ruang tamu, ayahnya sudah menunggunya. Duduk di sofa dengan ekspresi serius, pria itu menatap tajam ke arah Luca.
"Luca," panggilnya dengan suara rendah namun penuh tekanan.
Luca langsung merasa tegang. Ia berdiri di dekat pintu, tubuhnya membeku. Ia tidak tahu apa yang sedang menantinya kali ini, tetapi ia tahu bahwa ini bukanlah pertanda baik.
"Apa yang kau lakukan sepanjang hari? Kenapa tidak memberi kabar?" tanya ayahnya dengan nada datar, namun jelas menyimpan kemarahan yang ditahan.
Luca menunduk, berusaha menghindari tatapan ayahnya. Ia mengetik di ponselnya dengan tangan gemetar, lalu menunjukkan layar itu. "Aku bersama teman. Aku baik-baik saja."
Ayahnya mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban itu. "Teman? Teman seperti siapa? Kau tidak punya banyak teman, Luca."
Luca hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa. Ayahnya berdiri, langkahnya mendekati Luca dengan perlahan namun mengintimidasi.
"Kau tahu apa yang selalu kuingatkan, bukan? Jangan pernah melakukan sesuatu yang bisa mempermalukan keluarga ini," ujarnya dengan nada tajam.
Luca ingin membela diri, tetapi ia tahu bahwa tidak ada gunanya. Ia hanya mengangguk pelan, berharap percakapan ini segera berakhir.
"Tidak ada lagi keluar rumah tanpa izin. Mulai sekarang, kau harus pulang tepat waktu," tambah ayahnya, sebelum akhirnya kembali duduk di sofa.
Luca merasa lega karena setidaknya ayahnya tidak melanjutkan kemarahan itu lebih jauh. Ia berjalan menuju kamarnya dengan langkah berat, menutup pintu di belakangnya dan mengunci diri.
Di dalam kamar, Luca merebahkan dirinya di tempat tidur. Ia memikirkan kehangatan rumahnya Samuel dan bagaimana ia merasa jauh lebih hidup untuk sesaat. Namun kenyataan rumah ini selalu berhasil mengembalikannya pada kesedihan yang sulit ia hindari.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Silent Lover [END]
RomanceKetika si bisu menjadi kekasih pria terpopuler disekolahnya