My Silent Lover : 18

24.4K 1.7K 30
                                    

Pagi itu, Samuel kembali menjemput Luca seperti biasa. Ia berhenti di depan rumah Luca dan menunggunya keluar. Sambil menunggu, ia mengamati sekeliling. Suasana pagi cukup tenang, hanya suara burung yang terdengar dari kejauhan. Namun, tiba-tiba matanya menangkap sebuah mobil hitam yang keluar dari gerbang rumah Luca.

Samuel sempat mengerutkan keningnya. Mobil itu terlihat familiar, seolah ia pernah melihatnya sebelumnya. "Mobil siapa itu ya?" gumamnya pada diri sendiri. Ia memperhatikan mobil tersebut melaju pelan melewatinya. Saat mobil itu melintas, samar-samar ia mengenali plat mobilnya.

“Felix?” pikir Samuel. Tetapi ia segera menggelengkan kepala, ia merasa aneh. Kenapa Felix ada di rumah Luca pagi-pagi seperti ini?

Beberapa detik kemudian, pintu rumah Luca terbuka. Luca muncul, seperti biasa  ia mengenakan tas sekolahnya dan berjalan dengan kepala tertunduk. Ia berjalan pelan ke arah Samuel dan wajahnya sedikit pucat seperti biasanya.

Samuel mencoba mengabaikan pikirannya tadi dan tersenyum kecil. "Selamat pagi. Siap berangkat?"

Luca mengangguk pelan, lalu ia naik ke motor Samuel tanpa menuliskan apapun.

Samuel tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Mobil itu... siapa yang barusan pergi dari rumahmu?" tanyanya dengan nada hati-hati dan berusaha mencoba terdengar santai.

Luca terkejut, tetapi ia segera menutupi ekspresinya. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu, lalu ia menunjukkannya kepada Samuel. "Tamu ayah. Aku tidak kenal."

Samuel mengangguk meskipun ia merasa jawaban itu tidak memuaskan rasa ingin tahunya. "Oh, oke," katanya, ia mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa curiganya.

Samuel menyalakan mesin motornya, tetapi pikirannya masih berkutat pada mobil hitam tadi.

Selama perjalanan ke sekolah, Samuel merasa ada sesuatu yang aneh. Ia tidak ingin terlalu memikirkan hal itu, tetapi rasa penasaran terus mengusiknya. Bagaimana jika Felix benar-benar ada hubungannya dengan Luca?

Di sekolah, Samuel mencoba bersikap biasa, tetapi matanya sesekali melirik Luca. Ketika mereka tiba di tempat parkir, Samuel melihat Felix di kejauhan. Felix sedang bersama teman-temannya, tertawa santai seperti biasanya. Namun, saat Felix melihat Luca, senyum di wajahnya memudar. Felix menatap Luca sebentar sebelum membuang muka dan melanjutkan percakapannya dengan teman-temannya. Samuel memperhatikan reaksi itu dengan seksama, ia merasa semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres. Meskipun begitu ia tidak akan mencari tahu sampai Luca yang menceritakannya sendiri.

Sore itu, setelah sekolah selesai, Luca tetap bersikeras menunggu Samuel di lapangan basket meskipun Samuel sudah menyuruhnya untuk pulang. Melihat keinginan Luca yang kuat, Samuel akhirnya menyerah dan membiarkannya duduk di pinggir lapangan. Namun, setelah beberapa saat, Samuel punya ide lain.

"Luca, ikut sini,” panggil Samuel tiba-tiba.

Luca memandang Samuel bingung, tapi ia bangkit dan berjalan mendekat. Samuel menggamit pergelangan tangannya dan membawanya ke tengah lapangan, Samuel tiba-tiba memperkenalkannya kepada teman-teman satu timnya.

“Ini Luca,” ujar Samuel dengan santai.

“Dia memang tidak banyak bicara, tapi dia anak yang baik.”

Teman-teman Samuel memandang Luca dengan rasa ingin tahu, pasalnya baru kali ini kapten mereka membawa orang asing ke tengah lapangan dan memperkenalkannya pada mereka. Beberapa di antaranya tersenyum ramah, sementara yang lain tampak agak skeptis. John, salah satu pemain yang tubuhnya paling besar, mengangkat tangannya untuk menyapa. “Hei, Luca. Kau bisa bermain basket?” katanya antusias.

Dengan cepat Luca menggeleng, ini adalah pertama kalinya ia bermain atau bahkan menginjakkan kakinya ke lapangan basket. Luca terlihat canggung, namun Samuel tersenyum dan menepuk punggungnya pelan. “Tenang, nanti kita ajarin"

Dengan ragu, Luca mengangguk. Teman-teman Samuel memberinya bola, dan Samuel mengajarkan dasar-dasar melempar dan menggiring bola. Awalnya Luca terlihat kaku, tetapi Samuel terus menyemangatinya.

Teman-teman Samuel terus berbisik, sebenarnya Samuel terkena angin apa sampai berbuat sejauh ini. Ia juga terlihat mengajari Luca dengan sabar, berbanding terbalik dengan Samuel yang biasanya melatih mereka dengan sangat keras.

Setelah tau teknik-teknik dasarnya, Luca mulai merasa sedikit lebih percaya diri. Ia bahkan berhasil mencetak satu lemparan ke keranjang, meskipun dengan usaha yang cukup keras. Teman-teman Samuel bersorak dan memberi tepuk tangan kecil untuknya.

Ternyata dari kejauhan Felix memperhatikan momen mereka, ia berdiri di belakang pohon besar yang tak jauh dari lapangan basket itu. Tatapannya tajam, saat ia melihat bagaimana mereka bisa begitu menerima Luca meskipun ia sudah banyak menyebar rumor buruk tentang Luca agar orang-orang membenci dan membully dirinya.

Saat matanya fokus memandang kearah sana, suara familiar tiba-tiba terdengar di belakangnya.

"Apa kau merasa cemburu lagi dengan kakakmu?"

Felix terkesiap, ia berbalik dengan cepat. Di depannya berdiri James dengan senyum yang penuh ejekan di wajahnya. Felix merasa darahnya mendidih hanya dengan melihat pria itu.

"Apa maksudmu sialan?" jawab Felix dingin.

James mengangkat alisnya, ia berjalan mendekat dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. "Oh aku salah ternyata."

Felix mengepalkan tangannya, tapi ia tidak ingin berdebat dengan James. James masih memegang rahasia besar ditangannya. Rahasia itu seperti bom waktu yang akan meledak kapan saja.

"Jangan ikut campur urusanku," katanya ketus, lalu ia melangkah pergi.

Melihat tingkahnya membuat James tidak bisa menahan tawanya.

"Lucu" gumamnya.

James berlari kembali ketengah lapangan dan bergabung dengan timnya setelah berhasil menggoda Felix.

Latihan yang mereka berikan kepada Luca mulai lebih intens, John yang sedang bersemangat tidak sengaja melempar bola dengan kekuatan penuh. Bola itu meluncur ke arah Luca dan menghantam kepalanya dengan cukup keras. "Luca!” teriak Samuel panik saat melihat tubuh Luca terhuyung.

Luca memegang kepalanya, ia merasa pusing. Saat Samuel berlari ke arahnya, tetesan darah mulai mengalir dari hidung Luca. Ia mimisan lagi. Luca mencoba menutupi hidungnya dengan tangannya, tapi darahnya sudah terlanjur mengalir banyak. Ia masih berusaha untuk menyembunyikannya, namun Samuel sudah terlebih dahulu melihatnya.

"Astaga, maaf! Aku tidak sengaja!” seru John dengan wajah panik sambil berlari mendekati Luca.

Samuel langsung membubarkan John dan teman-temannya yang berdiri mengelilingi Luca. “Minggir semua” teriaknya.

Samuel mendekatkan wajahnya ke Luca dan kedua tangannya menggenggam bahunya. “Luca, kau baik-baik saja? Kau bisa dengar aku?”

Luca mengangguk pelan, tetapi wajahnya sangat pucat. Samuel tanpa berpikir panjang segera membawa Luca ke pinggir lapangan. Ia mengambil handuk kecil dari tasnya dan memegangnya di bawah hidung Luca untuk menghentikan darah.

“Kita harus bawa dia ke rumah sakit,” Ujar James yang ikut menyusul keduanya

“Tunggu,” potong Samuel tegas.

Samuel kembali mengingat bagaimana Luca sering menolaknya jika mengenai perihal rumah sakit. Berdasarkan pemikirannya, mungkin Luca tidak suka dengan bau obat dirumah sakit, atau ia takut disuntik.

"Dia tidak suka pergi ke rumah sakit." sambungnya.






My Silent Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang