Beberapa hari ini sesuai dengan perintah Samuel, James lah yang mengantar dan menjemput Luca. Sorenya setelah pulang sekolah entah mengapa Luca ingin pergi ke danau yang tidak jauh dari rumahnya. Langit senja sore itu memancarkan warna orange keemasan yang memantul di permukaan danau. James dan Luca duduk di tepinya, di atas rumput yang sedikit basah. Angin sore berembus perlahan, membawa keheningan yang nyaman di antara mereka.
Luca banyak bercerita pada James terutama tentang perasaannya pada Samuel. James tersentuh setelah mengetahui ternyata Luca lebih mencintai Samuel, daripada Samuel mencintai Luca. Pasalnya dari awal Luca tidak pernah menyangkal perasaannya sedangkan Samuel, ia sempat menyangkal dan bahkan ragu pada dirinya sendiri.
"Kau tau? aku selalu merasa kesepian, namun sejak Samuel hadir dalam hidupku aku baru merasakan bagaimana rasanya dicintai, dihargai dan juga diperhatikan..." ketik Luca.
"Tapi bukannya kau punya seorang adik laki-laki?"... potong James secara tiba-tiba.
Luca sontak menoleh kearah James. Ia terheran-heran bagaimana James bisa tahu rahasia mereka sedangkan selama ini ia tidak pernah menceritakan rahasianya ini kepada siapapun.
Setelah James melihat raut kebingungan Luca, James tertawa kecil dan ia melanjutkan. "Jangan khawatir aku tahu semua ini dari papaku, kebetulan dia teman kerja ayahmu. Dan tenang saja aku tidak akan membongkarnya ke siapapun."
Luca menghela nafasnya lega, ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi kekasaran Felix lagi andai saja rahasia ini benar-benar bocor.
Setelah hening beberapa saat, Luca mengetik sesuatu yang lain. Kali ini ia ingin menceritakan tentang adik tirinya itu. James menunggu dengan sabar saat Luca mengetik kalimat yang cukup panjang disebelahnya.
"Aku selalu ingin punya adik. Sejak kecil, aku membayangkan bagaimana rasanya memiliki seseorang yang selalu ada untukku. Tapi Felix... dia membenciku. Dia bahkan tidak pernah ingin bermain denganku. Aku tidak tahu apa salahku. Aku tidak pernah membencinya. Aku tidak pernah membenci dia atau ibunya."
Luca melanjutkan mengetik di ponselnya. "Aku tidak ingin menjadi musuhnya. Aku hanya ingin menjadi kakak yang baik. Tapi aku tidak pernah diterima olehnya mungkin karena aku hanya seorang kakak yang cacat, dan tidak berguna."
James menundukkan kepala setelah membaca kalimat yang tertera dilayar ponsel Luca. James ikut merasakan dadanya sesak saat melihat kata-kata itu. "Kau tidak sendirian" suaranya James sangat pelan, nyaris Luca tidak bisa mendengarnya. "Aku dan Samuel ada di sini. Teman Samuel juga temannya aku "
Luca tersenyum kecil, meskipun matanya tampak berkaca-kaca. Ia mengetik satu kalimat lagi sebelum menyerahkan ponselnya kembali pada James. "Terima kasih"
"Tidak perlu berterima kasih, aku juga sudah menganggap Samuel seperti saudaraku sendiri, jadi karena kau adalah miliknya, aku juga akan memperlakukanmu dengan baik dan menjagamu." ujar James dengan wajah datarnya.
Luca terharu saat mendengar perkataan James. Selama ini ia begitu menginginkan teman seperti James. Betapa beruntungnya Samuel lah yang mendapatkannya.
Saat James melihat senja yang mulai memudar menjadi gelap, ia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan mengantar Luca kembali pulang kerumahnya.
~
Keesokan paginya, James kembali menjemput Luca seperti biasanya. Cuaca pagi itu sedikit lebih mendung, dengan angin dingin yang menyapu jalanan. Luca tampak lebih pucat dari biasanya, tetapi ia tetap tersenyum ketika James tiba. Mereka tidak sengaja berpapasan dengan Felix. Felix mengenakan jaket hitam dan tampak tergesa-gesa. Matanya sempat bertemu dengan James, dan dalam sepersekian detik, tatapan itu penuh dengan kemarahan yang terpendam.
Melihat Felix, James segera turun dari motornya. “Tunggu sebentar,” katanya pada Luca, lalu ia berlari pelan menghampiri Felix.
Felix mendengus, ia mencoba berjalan melewati James tanpa berkata apa-apa, tetapi James menghalangi jalannya. “Felix,” panggil James dengan suaranya yang terdengar datar. “Kau mau sampai kapan terus begini?”
“Apa maksudmu?” balas Felix, dengan nadanya yang terdengar begitu dingin.
“Sampai kapan kau menyiksa diri sendiri dengan kebencian pada kakakmu?” bisiknya hampir tidak terdengar oleh Luca yang berdiri dari kejauhan.
Luca mengernyitkan keningnya, ia bertanya-tanya sejak kapan mereka berdua bisa seakrab ini.
James sengaja lebih mendekat lagi, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci saja. “Kau tidak bisa terus menyalahkan Luca atas perasaan yang bahkan kau sendiri tidak bisa jelaskan,” katanya tegas.
Felix terdiam sejenak dan rahangnya tampak mengeras. Ia membuang muka, seolah mencoba menghindari kenyataan dari kata-kata James.
James kembali ke motornya setelah merasa frustrasi dengan percakapan mereka berdua. Luca yang melihat dari belakang menatapnya dengan bingung. Ia mengetik sesuatu di ponselnya. “Apa yang kau katakan padanya?” Luca begitu penasaran setelah melihat Felix yang berhasil terdiam dan mematung setelah mendengar perkataan James.
James membaca pesan itu, lalu ia tersenyum. “Hanya mencoba memberinya sedikit akal sehat,” jawabnya, meskipun nada suaranya menunjukkan bahwa ia masih terdengar sedikit emosi. Luca tidak membalas. Ia hanya menghela napas pelan. Luca tidak ingin mencanpuri urusan keduanya jadi dia tidak memaksa James untuk menjawab pertanyaannya. James melaju menuju ke sekolah tanpa mengatakan apapun pada Luca dipagi itu.
Selama kelas, Luca merasa sangat kesepian meski ia dikelilingi oleh teman-teman sekelasnya. Namun, saat ia merasa hampir tenggelam dalam kesunyian, ponselnya tiba-tiba bergetar.
Ada beberapa pesan masuk dari Samuel, pria itu tidak pernah lupa untuk mengirim pesan kepada Luca baik pagi, siang maupun malam hari.
“Hei, Aku baru selesai latihan. Lihat, ini lapangannya.”
Pesan itu disertai dengan foto Samuel yang sedang berdiri di tengah lapangan basket dengan senyum lebar. Luca tidak bisa menahan senyum kecilnya. Ia mengetik balasan singkat, “Semangat ya”
Satu pesan lagi masuk. “Kau juga harus semangat. Jangan sampai jatuh sakit saat aku lagi tidak ada.”
Hati Luca terasa hangat. Meski jauh, Samuel tetap membuatnya merasa diperhatikan.
"Iya" balas Luca padanya yang disertai beberapa stiker romantis. Samuel yang tidak mau kalah, ia juga ikut membalas Luca dengan beberapa stiker lucu dan stiker cium padanya. Luca tersenyum manis, pria itu benar-benar tidak pernah membuatnya tidak tersenyum.
Sepulang sekolah, James seperti biasanya akan menunggunya di parkiran untuk menjemputnya. Namun, perjalan pulang kerumah kali ini ada yang berbeda. Di tengah-tengah perjalanan, Luca meminta sesuatu yang jarang sekali ia katakan setelah hampir 1 minggu James menjemput dan mengantarnya. “Boleh aku bersandar di punggungmu? Aku merasa lelah dan mengantuk,” tulis Luca di ponselnya.
James menoleh sekilas kearahnya, raut wajah James tampak begitu terkejut tapi dia tidak keberatan. “Boleh. Tapi jangan tidur terlalu pulas, okey?” candanya.
Luca hanya tersenyum lemah sebelum perlahan menyandarkan tubuhnya di punggung James. Angin sore yang sejuk mengiringi perjalanan mereka membuat bulu tangan James berdiri. James merasa ada sesuatu yang aneh dengan Luca hari ini, tidak biasanya dia bersikap seperti ini.
Saat mereka tiba di depan rumah Luca, James mencoba membangunkannya. “Luca? kita sudah sampai,” katanya sambil menepuk pelan bahu Luca. Namun, Luca tidak merespons sama sekali.
Ia mencoba mengguncang tubuh Luca sedikit lebih keras. “Luca? jangan bercanda"
Namun tidak ada jawaban sama sekali dari pria itu. Wajah Luca tampak begitu pucat dan James merasakan hembusan napasnya begitu lemah.
"Sepertinya dia pingsan" gumam James yang masih berusaha untuk bersikap tenang.
Karena tidak mungkin untuk membawa Luca yang tengah pingsan itu menggunakan motornya, James memutuskan untuk menghubungi ambulans dan untungnya mereka dengan sigap akan segera berangkat kesini.
Setelah menghubungi ambulans, James mencoba untuk menghubungi Samuel, tetapi panggilan tidak terhubung.
"Mengapa disaat seperti ini kau tidak menjawab bodoh"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Silent Lover [END]
RomanceKetika si bisu menjadi kekasih pria terpopuler disekolahnya