Ketika Luca keluar dari kamarnya, dia berjalan melewati lorong rumah dengan langkah hati-hati. Hari ini, dia merasa ada sesuatu yang berbeda. Felix biasanya tidak akan membiarkannya begitu saja. Ia selalu menemui Luca dengan amarah atau kekejaman, berusaha menghinanya, atau sekadar menunjukkan siapa yang berkuasa di rumah. Tapi hari ini, ada keheningan aneh antara mereka berdua.
Luca berjalan perlahan menuju ruang tamu, dan tepat di depan tangga, dia melihat Felix. Namun yang mengejutkannya adalah sikap Felix yang sama sekali tidak mengindahkan kehadirannya. Felix, yang biasanya akan menatap dengan tatapan tajam atau bahkan melontarkan kata-kata kasar, justru berjalan melewatinya tanpa memandang sama sekali.
Luca berdiri terpaku di tempatnya, kebingungan. Dia memandangi punggung Felix yang semakin menjauh, lalu menundukkan kepalanya, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
Dalam perjalanan menuju sekolah, Luca berjalan dengan langkah pelan dan terkesan santai. Tiba-tiba, suara motor yang melaju pelan menyadarkannya. Luca menoleh dan melihat Samuel, yang dengan santai menunggangi motornya. Tatapan mereka bertemu, dan untuk beberapa detik, Samuel berhenti di sampingnya.
"Hey," panggil Samuel dengan senyum, "Mau bareng?"
Luca menatapnya ragu, tetapi kemudian ia menggelengkan kepala pelan, dia lebih memilih berjalan kaki, menikmati keheningan di jalan.
Tetapi melihat Samuel yang terus melambatkan motornya, menyesuaikan langkahnya dengan langkah kaki Luca yang lambat, membuatnya merasa tidak enak.
"Naik," Samuel berkata lagi, tanpa paksaan, namun cukup meyakinkan.
Luca masih ragu, namun akhirnya ia mengangguk pelan. Dengan hati-hati, ia mendekat dan duduk di belakang Samuel, sedikit merapatkan tubuhnya agar tidak terlalu terasa canggung. Mesin motor yang meraung lembut memberi mereka latar belakang yang menenangkan.
Sesekali, Samuel melirik ke belakang, melihat Luca yang hanya duduk diam di belakangnya. "Ehem,"
"mulai besok biar aku yang jemput, lagian kita satu arah juga"
Luca menatap punggung Samuel, menimbang-nimbang kata-katanya dan Keningnya tampak berkerut. Karena tidak punya kertas, ia menuliskan sesuatu di punggung Samuel menggunakan jari telunjuknya.
"Terima kasih, tapi tidak perlu" tulis Luca dengan hati-hati, kata-katanya tulus, meskipun tidak sepenuhnya ia bisa mengungkapkan apa yang ia rasakan.
Samuel hanya tersenyum, mengangguk dengan kepala sedikit miring. "Gak perlu berterima kasih terus, mulai besok aku yang jemput dan mengantarmu, tidak ada penolakan. " katanya sambil memarkirkan motor ditempat parkiran sekolah.
Karena Samuel yang cukup populer di sekolahnya, para gadis yang melihatnya datang bersama dengan Luca tentunya menyulut rasa cemburu, dan lagi-lagi Luca yang malah mendapat tatapan sinis dari mereka.
~
Saat memasuki kedalam kelasnya, Luca merasa tenggorokannya tercekat saat mendengar bisikan-bisikan di sekitar kelas. Gadis-gadis itu memandangnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu."Eh, jadi ini anak pembantu ya?" salah satu dari mereka berkata dengan nada setengah mengejek, cukup keras agar semua orang mendengarnya.
Luca menundukkan kepala, berusaha tidak mendengarkan, meskipun kata-kata yang di ucapkan mereka semakin menusuk. "Apa dia anak pembantu atau bukan? Toh, sama saja," terdengar suara lain yang turut menambahkan, seolah tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
Ia tahu siapa yang mungkin berada di balik semua ini. Felix. Adiknya. Tapi kenapa?
Setelah bel tanda pulang sekolah berbunyi, Samuel sudah berdiri di depan kelas Luca, menunggu dengan sabar. Ketika Luca keluar dari kelasnya, dia langsung menahannya. Tapi sebelum mereka sempat melangkah, beberapa siswa yang berdiri di dekat pintu gerbang berbisik dan melirik ke arah mereka, membuat Samuel mengerutkan kening. Ia bisa menangkap beberapa kata yang diucapkan, dan meskipun tidak mendengarnya dengan jelas, dia tahu apa yang mereka bicarakan.
Ketika mereka berjalan bersama di koridor sekolah, Samuel tidak bisa menahan diri. Dengan nada tajam, dia bertanya, “Hey, itu rumor tadi… Apakah itu benar?”
Luca hanya menunduk, langsung menggelengkan kepalanya cepat-cepat, wajahnya memucat. "Tidak," tulis Luca diponselnya.
Samuel menarik napas panjang dan menatap Luca dengan penuh amarah. .
"Sialan bajingan itu," ujar Samuel dengan geram. Suaranya terdengar rendah, penuh amarah. “Kalo sampai aku ketemu dia lagi, aku nggak akan diam aja.”
Luca menatap Samuel, merasa sedikit lebih baik, setidaknya Samuel tidak ikut membencinya. Tanpa sadar Luca tersenyum saat menatap pria yang lebih tinggi disampingnya.
"Apa ada yang lucu?" Tanya Samuel
Dengan cepat Luca memalingkan wajahnya saat mengetahui bahwa Samuel tidak sengaja menatapnya balik.
Dalam perjalanan menuju rumah, motor Samuel melaju dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan yang mulai ramai. Luca tetap duduk di belakang, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran Samuel di depannya. Angin sore yang menyentuh wajahnya membawa rasa lega. Tapi tiba-tiba, Luca merasakan ada yang aneh. Hidungnya terasa sedikit basah. Tanpa banyak berpikir, ia menyeka dengan tangan, hanya untuk menyadari bahwa darah mulai mengalir perlahan dari hidungnya. Mimik wajahnya berubah cemas, tapi ia cepat-cepat menyembunyikan tangannya di balik jaket, berusaha agar Samuel tidak menyadari apa yang terjadi.
Samuel yang sedang fokus mengendarai motor, tak menyadari apa yang terjadi pada Luca. Dengan hati-hati, Luca mencoba untuk tidak bergerak terlalu banyak, mengatur napas dan menyembunyikan darah yang terus menetes dengan berusaha terlihat biasa saja. Namun, rasa pusing mulai datang.
Luca berusaha keras untuk mengontrol dirinya. Ia menekan ujung hidungnya dengan hati-hati, berharap darah itu berhenti mengalir. Sambil menjaga sikapnya agar tidak terlihat terganggu, ia menegakkan punggungnya dan mencoba untuk tetap terlihat biasa saja. Setibanya di rumah, Samuel memarkirkan motor dan menoleh ke belakang untuk melihat Luca. "Kau baik-baik saja?" tanya Samuel, sedikit khawatir melihat Luca yang masih terdiam di belakangnya.
Luca dengan cepat mengangguk, berusaha tersenyum. Luca mengambil ponselnya dan mengetik kalimat terima kasih untuk Samuel.
Samuel merebut ponsel Luca tiba-tiba, dan terlihat jari jemarinya mengetik sangat cepat tanpa sepengatahuan Luca apa yang hendak ia lakukan.
"Aku baru saja save nomorku di ponselmu, kirim pesan ke aku jika kau membutuhkan sesuatu." Ujarnya sembari mengembalikan ponselnya Luca.
Luca mengangguk dan berusaha tersenyum padanya. Kali ini giliran dia yang menunggu Samuel pergi dari rumahnya, biasanya Samuel yang menunggu sampai dirinya masuk kedalam rumah terlebih dahulu.
"Apakah begini rasanya punya teman" batinnya berkata sembari memandang punggung Samuel yang semakin menjauh dari pandangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Silent Lover [END]
RomanceKetika si bisu menjadi kekasih pria terpopuler disekolahnya