Waktu berjalan begitu cepat, dan tanpa terasa, hanya tersisa tiga hari sebelum keberangkatan Samuel ke Eropa. Di hari Minggu, Samuel mengajak Luca untuk menginap di rumahnya. Luca mengangguk setuju tanpa ragu meskipun dia tau ayahnya akan memarahinya lagi.
Pada hari itu mereka menghabiskan waktu bersama dengan bermain kartu, bercanda, dan menonton acara TV favorit mereka.
Malamnya, setelah hari yang penuh canda tawa, mereka berdua duduk bersandar di sofa menikmati sebuah film drama. Tanpa sengaja, adegan romantis di layar memperlihatkan sepasang karakter yang saling mencium. Luca sedikit tersipu, tapi tetap menatap layar, sedangkan Samuel melirik ke arahnya, ia sedikit mentertawakan betapa polosnya Luca.
Saat filmnya berakhir, diruangan itu kembali meninggalkan suasana yang hening di antara mereka. Samuel meraih remote, mematikan TV, lalu bersandar kembali di sofa. Pandangannya mengarah ke langit-langit sejenak sebelum beralih ke Luca yang masih duduk di sebelahnya.
"Kalau," suara Samuel terdengar pelan dan penuh keraguan. "Kalau ada seorang pria yang bilang dia menyukaimu... bagaimana menurutmu?"
Luca refleks menoleh kearah Samuel, ia sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Matanya bertemu dengan mata Samuel dan tanpa berkata-kata, ia merogoh ponselnya, terlihat jari-jarinya bergerak pelan di layar.
Setelah selesai mengetik akhirnya ia menyerahkan ponselnya kepada Samuel. Di layar tertulis:
"Aku tidak masalah. Kalau aku juga menyukainya"Samuel membaca kalimat itu perlahan dan hatinya berdebar. Ia menatap Luca kembali untuk mencoba mencari kepastian di wajahnya yang datar.
"Luca..." bisik Samuel, suaranya hampir seperti angin malam yang menyapu lembut. Tapi ia tidak melanjutkan. Sebaliknya, ia tersenyum tipis dan mengusap lehernya, mencoba mengalihkan rasa gugup yang tiba-tiba melanda.
Suasana di ruang tamu yang semula tenang tiba-tiba berubah. Samuel duduk tegak, ia menggenggam kedua tangan Luca dengan erat. Setelah beberapa saat terdiam, ia akhirnya memberanikan diri untuk berbicara.
"Luca," panggilnya dengan suara serak, matanya penuh kesungguhan menatap pria di depannya. "Aku... Aku rasa aku menyukaimu. Bukan sebagai teman, bukan juga seperti keluarga, aku benar-benar jatuh cinta padamu. Maukah kau men-jadi kekasih ku?"
Luca membeku, kata-kata itu bergema dalam pikirannya. Ia tidak pernah membayangkan Samuel akan mengatakan hal seperti ini. Perlahan, ia mengambil ponselnya, ia mengetik sesuatu, lalu menyerahkannya pada Samuel.
"Aku juga menyukaimu, tapi aku akan menerimamu hanya jika kau berhasil memenangkan juara 1 di turnamen basket nanti." ujarnya tanpa basi-basi
Samuel membaca kalimat itu dengan saksama, lalu menatap Luca dengan mata berbinar. "Benar? Kau serius?" ujarnya tak percaya, ia mengira Luca akan menolaknya pasalnya dia sudah beberapa kali mengetest Luca dengan cara menggodanya namun reaksi yang ia berikan terlalu biasa. Sehingga Samuel mengira Luca straight.
Luca mengangguk pelan, sedikit tersenyum melihat antusiasme Samuel. Namun, ia tidak menyangka reaksi selanjutnya yang akan diberikan dari pria itu berlebihan. Tanpa sadar, Samuel melompat dari tempat duduknya, karena terlalu bersemangat dengan kata-kata Luca. "Aku pasti menang! Aku nggak akan mengecewakanmu, Luca!"
Sebelum Luca sempat merespons, Samuel tiba-tiba membungkuk, memeluknya erat-erat. Pelukan itu hangat, kuat, dan penuh kegembiraan. Tapi kemudian, Samuel melakukan sesuatu yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri ia menunduk sedikit lagi dan menyentuh bibir Luca dengan bibirnya.
Ciuman itu sangat romantis, apalagi dilakukan oleh Samuel yang sudah begitu pro. Sedangkan Luca hanya bisa menutup kedua matanya karena menahan rasa malu.
Samuel malam itu benar-benar terhanyut dalam momen tersebut, pikirannya melayang seiring ciuman mereka yang begitu lembut dan cukup lama. Namun, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang hangat dan lengket di antara mereka. Ketika membuka matanya, ia langsung terkejut melihat darah yang mengalir dari hidung Luca, bahkan sudah mengenai wajah dan bibirnya sendiri.
"Luca!" seru Samuel dengan nada panik, ia mundur sedikit untuk melihat lebih jelas. Hidung Luca benar-benar dipenuhi dengan darah, dan beberapa tetes bahkan jatuh ke sofa di bawah mereka.
Luca, yang baru menyadari kondisinya, langsung menunduk sambil menutup hidungnya dengan tangannya, sambilan ia merogoh ponselnya menggunakan tangan satunya, tapi Samuel dengan cepat meraih tisu di meja dan menekankannya pada hidung Luca.
"Tidak perlu mencari ponselmu, jangan bergerak dulu" kata Samuel tegas dan suaranya terdengar jelas cemas
Luca menepis lembut tangan Samuel dan mencoba menahan darah dengan tangannya sendiri, tetapi ia merasa semakin bersalah saat melihat noda darah di wajah Samuel. Ia mengetik cepat di ponselnya dan menyerahkannya pada Samuel.
"Maaf, aku nggak sengaja. Bahkan darahku sampai mengenai wajahmu."
Samuel membaca pesan itu, lalu mendesah panjang. Ia meraih handuk kecil yang ada di dekatnya dan mulai membersihkan hidung serta wajah Luca. "Kau tidak perlu minta maaf untuk hal ini. Ini bukan salahmu"
"Apa kau merasa pusing? Ada yang sakit?" tanyanya sambil menatap Luca dengan tajam, memastikan tidak ada tanda-tanda bahaya lain.
Luca menggeleng pelan, meskipun sebenarnya kepalanya sedikit berdenyut. Ia tahu Samuel akan semakin khawatir jika ia mengakuinya, jadi ia tetap menulis pesan di ponselnya: "Aku hanya terlalu lelah. Ini sering terjadi. Aku baik-baik saja."
Samuel menatap tulisan itu dengan raut tidak puas. "Sering terjadi? Luca, bagaimana besok kita kerumah sakit?"
Luca menggeleng dengan cepat saat mendengar ajakan Samuel. Ia takut pergi kerumah sakit, dan ia takut saat mendengar hasil pemeriksaan yang dokter katakan. Semua itu akan terngiang-ngiang dikepalanya, oleh karena itu ia membiarkan apa saja perkembangan yang sudah dilakukan oleh penyakitnya didalam tubuhnya daripada harus mengetahui kondisinya.
"Baiklah, istirahatlah yang banyak" ujar Samuel tegas sambil menyeka darah yang ada diwajahnya.
Luca hanya mengangguk menanggapi perkataan Samuel.
Setelah memastikan mimisan Luca berhenti, Samuel menuntunnya untuk duduk kembali di sofa. Ia meletakkan bantal di belakang punggung Luca agar lebih nyaman. "Sudah, jangan banyak bergerak lagi," kata Samuel sambil menyentuh pelan bahu Luca.
Luca hanya mengangguk, tubuhnya terasa sangat lelah. Meskipun wajahnya masih tampak pucat, ia mencoba tersenyum kecil sebagai bentuk terima kasih. Samuel duduk di sebelahnya, meraih selimut yang ada di dekat sofa dan menyelimutinya.
"Kalau merasa ada yang sakit, langsung bilang padaku, ya," ujar Samuel, nada suaranya lebih lembut dari biasanya
Luca menatap Samuel dengan pandangan penuh rasa syukur. Tanpa sadar, matanya mulai terasa berat. Tubuhnya yang kelelahan membuat ia semakin sulit untuk tetap terjaga. Perlahan, ia menutup kedua retinanya.
Luca akhirnya benar-benar terlelap dan napasnya terdengar lembut. Samuel melirik wajahnya, ia menyadari betapa rapuh dan lelahnya pria itu terlihat dari dekat. Jari-jarinya tanpa sadar bergerak untuk menyentuh rambut Luca dan ia membelainya pelan. "Kau benar-benar membuatku khawatir," gumam Samuel lirih, meskipun tahu Luca tidak akan mendengarnya.
"Kalau saja aku bisa menjaganya seperti ini selamanya," bisiknya lagi.
Target end chapter 25, semoga kalian ngga kecewa sama endingnya😞
KAMU SEDANG MEMBACA
My Silent Lover [END]
Lãng mạnKetika si bisu menjadi kekasih pria terpopuler disekolahnya