Dua hari telah berlalu, sedangkan Luca masih terbaring lemah diranjang rumah sakit, tubuhnya terus dipenuhi dengan infus dan berbagai alat medis yang membantunya tetap bertahan. Felix tidak pernah meninggalkan sisi kakaknya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti berhari-hari baginya, dan meskipun ia terlihat tenang di luar, hatinya hancur dan dipenuhi rasa cemas yang tak tertahankan.
Kabar yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang juga, pendonor yang cocok untuk Luca berhasil ditemukan. Semua prosedur pun segera disiapkan oleh perawat dan dokter bedah. Rumah sakit mengonfirmasi bahwa operasi akan segera dilakukan dalam beberapa jam. James tetap setia menemani Felix disisinya. Untuk Ayahnya, ia harus menghadiri rapat dikala pasca operasi anaknya.
James dan Felix duduk bersama di ruang tunggu rumah sakit untuk menanti kabar dari dokter dengan hati yang penuh harapan namun juga ketakutan.
Pada saat itulah, suara langkah kaki yang cepat terdengar di lorong rumah sakit, dan sosok yang mereka kenal akhirnya muncul. Samuel, ia tiba-tiba muncul di hadapan mereka, wajahnya terlihat sangat cemas dan juga sedikit berantakan, matanya yang sayu mungkin karena ia kurang tidur dan kelelahan. Namun, saat matanya bertemu dengan mata Felix, semuanya berubah.
Dengan kecepatan yang mengejutkan, Samuel langsung mendekati Felix, tangannya mencengkram kerah bajunya dan dengan kasar Samuel menariknya hingga terjatuh ke lantai. Suasana yang sempat tenang sebelumnya tiba-tiba berubah menjadi kacau.
Felix terkejut, wajahnya tampak tergores oleh rasa sakit karena ia sempat terbentur ke lantai keramik rumah sakit, namun ia tidak bisa berkata apa-apa dan memilih untuk diam. Samuel tampaknya begitu marah. "Kau...!" Samuel hampir berteriak, tetapi James segera maju, melangkah cepat, dan dengan tegas menahan Samuel.
"Samuel, hentikan!" kata James dengan suara yang sengaja ia tinggikan. "Apa yang kau lakukan?!"
Samuel berhenti sejenak, tetapi matanya tetap menatap tajam kearah Felix. "Felix, kenapa kau di sini? Apa yang kau lakukan di sekitar Luca lagi, sialan?!"
Felix terdiam, ia tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada Samuel. Ia terlalu malu untuk mengatakan yang sebenarnya. Namun dengan pekanya James mencoba untuk berbicara mewakili Felix. "Samuel, dengar. Felix adalah adik tiri Luca. Dia bagian dari keluarga Luca."
Kata-kata James itu menembus kebisuan sesaat yang melingkupi Samuel. Ia menatap Felix dengan ekspresi yang sulit untuk dibaca. Samuel mundur sedikit, matanya masih tertuju pada Felix dengan kebingungannya. "Adik tiri? Jadi... dia adalah adik tiri Luca?" suara Samuel terdengar seperti meremehkan.
James mengangguk menanggapi perkataan Samuel.
"adik mana yang akan memperlakukan saudaranya seperti itu bajingan." ujar Samuel dengan penuh penekanan disetiap kalimatnya.
Felix menggigit bibir bawahnya, merasa terpojok oleh kata-kata Samuel. Namun, ia tidak mengatakan apa pun. Ia tahu bahwa ia memang pantas disalahkan.
James menghela napas panjang dan berusaha untuk menahan Samuel agar tidak berbuat ribut "Samuel, dengar aku. Felix sudah meminta maaf pada Luca. Dia berjanji akan memperbaikinya. Kau mungkin marah, tapi aku jamin dia benar-benar tulus untuk merubah dirinya."
Samuel mendengus, ia mencoba menenangkan dirinya meskipun masih jelas ia tidak puas. "Tulus?" tanyanya dengan sinis.
Felix akhirnya membuka mulut, suaranya terdengar kecil namun juga penuh rasa bersalah. "Aku tahu aku salah. Aku tahu aku tidak pantas dimaafkan... Tapi aku sudah berjanji pada Luca. Aku tidak akan mengulanginya lagi." Suaranya mulai bergetar, dan ia menundukkan kepalanya, berusaha menahan air matanya.
Samuel menatap Felix dengan ekspresi bingung. Ia tidak tahu harus percaya atau tidak pada orang itu. James yang melihat Felix yang tengah berkaca-kaca segera menghentikan Samuel untuk berkata lebih jauh. "Samuel sekarang bukan waktunya untuk menyalahkan siapa pun. Lebih baik kita berdoa dan berharap operasi ini berjalan lancar."
Samuel menghela napasnya panjang, ia berusaha menahan amarahnya setelah mendengar perkataan James yang ada benarnya juga. Ia mundur selangkah, meskipun masih terlihat enggan. "Baiklah," gumamnya akhirnya. "Tapi aku tidak akan melupakan apa yang telah dia lakukan meskipun dia ingin berubah sekalipun."
James menepuk bahu Samuel perlahan. "Tenanglah untuk saat ini, dan istirahatlah kau terlihat sangat berantakan"
Waktu terasa sangat berjalan dengan lambat. Ketiganya menunggu di ruang tunggu dengan perasaan yang campur aduk. Samuel duduk di salah satu kursi dengan kepalanya yang menunduk dalam diam, sementara Felix duduk tak jauh darinya, memainkan jemarinya dengan gelisah. James berdiri di dekat pintu, matanya sesekali melirik ke arah pintu ruang operasi yang tertutup rapat.
"Aku harap Luca baik-baik saja.... maafkan aku karena tidak ada disisimu saat kau kesakitan" gumam Samuel tiba-tiba, suaranya berhasil memecahkan keheningan. Ia tidak menatap siapa pun, matanya hanya tertuju pada lantai rumah sakit.
Felix menoleh perlahan, suaranya terdengar ragu ketika ia menimpali, "Aku juga."
Samuel melirik Felix sebentar, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. James, yang menyaksikan interaksi itu, menghela napas lega. Setidaknya, mereka berdua tidak lagi saling menyerang.
Jam terus berdetak, dan ketiganya tetap menunggu dengan penuh kecemasan. Ketegangan di antara mereka mulai mereda, digantikan oleh rasa kekhawatiran yang sama. Mereka mungkin tidak saling menyukai, tetapi mereka berbagi tujuan yang sama melihat Luca sembuh dan kembali tersenyum.
Ketika pintu ruang operasi akhirnya terbuka, mereka semua berdiri serentak, hati mereka berdebar-debar dengan harapan dan ketakutan yang bercampur aduk di kala itu. Apa pun yang akan mereka dengar, mereka tahu bahwa itu adalah sebuah takdir.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Silent Lover [END]
RomanceKetika si bisu menjadi kekasih pria populer disekolahnya. Harap menyiapkan tisu sebelum membaca!!