Setelah mengantarkan Luca pulang, Samuel memutuskan untuk mampir ke tempat James. Mereka nongkrong bersama meskipun sekadar berbicara atau bersantai sambil menikmati minuman dingin. Malam itu, suasana terasa lebih tenang dari biasanya. Mereka duduk di sofa, dengan televisi menyala tanpa benar-benar ditonton. Setelah beberapa saat hening, James meneguk minumannya dan tiba-tiba menatap Samuel dengan serius. “Hey, Sam,” panggilnya. Samuel yang tadinya tenggelam dalam pikirannya menoleh.
“Hmm, apa?” balas Samuel.
James diam sejenak, seolah memilih kata-kata yang tepat. Lalu, dia bertanya, “Sebenarnya, kau suka sama Luca, kan?”
Pertanyaan itu meluncur dengan cepat dan langsung. Samuel sempat terdiam, matanya berkedip beberapa kali seperti sedang memproses pertanyaan itu. “Apa?” Samuel mencoba tertawa, meskipun ada nada gugup dalam suaranya.
James menatapnya tajam, tidak bergeming. “Kau dengar apa yang aku bilang. Kau suka sama Luca, kan?” James mengulangi pertanyaannya dengan nada yang lebih tegas.
Samuel mencoba menyangkal secara refleks. “Enggak, dia hanya teman. Aku cuma... ya, aku cuma ingin bantu dia,” jawab Samuel, meskipun nada suaranya tak sepenuhnya meyakinkan. Dia menghindari tatapan James dan fokus pada minumannya, namun James terus mengamati ekspresi temannya dengan seksama.
James tertawa pelan. “Sam, ayolah. Aku kenal kau cukup lama untuk tahu saat kau mulai menyukai seseorang. Kau jelas terlihat lebih perhatian sama Luca dibanding teman biasa.”
Samuel menghela napas panjang, ia menyandarkan diri diatas sofa, memandangi langit-langit yang terasa semakin gelap seiring malam beranjak. Pikiran-pikiran yang tadinya samar mulai menuntut perhatian penuh. Dia mulai mempertanyakan sesuatu yang selama ini dia hindari untuk diakui.
"Aku... suka Luca?" gumamnya.
Rasa itu begitu nyata, namun di saat yang sama membuatnya bingung. Luca adalah pria, dan selama ini Samuel tak pernah membayangkan dirinya memiliki perasaan romantis pada pria. Selama ini, dia hanya pernah menyukai perempuan setidaknya itu yang selalu dia pikirkan.
"Bagaimana mungkin...?" Samuel menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba meredam perasaannya.
Samuel bangkit dari tempat duduknya, Dia menatap pantulan dirinya di cermin rumah James. "Aku nggak pernah berpikir seperti ini sebelumnya," katanya lirih. "Tapi... setelah kau mengatakannya James, aku baru menyadarinya bahwa aku begitu peduli padanya"
"Jadi..kau menyukainya?" tanya James sekali lagi
"Aku bukan gay, mungkin aku hanya menganggapnya adikku" jawab Samuel ragu.
James mengernyitkan keningnya, dilihat dari manapun pria itu sedang jatuh cinta tapi ia masih tidak mau mengakuinya.
"Sam, jangan sampai kau menyesal nanti"
"Kenapa aku harus menyesal?" dengan cepat Samuel menangkis ucapan James.
Setelah obrolannya dengan James, pikirannya terus dihantui oleh perasaan yang tidak ingin dia akui. Ketika akhirnya dia kembali ke rumah, Samuel sudah memutuskan untuk mengambil jarak dari Luca.
Esok harinya, saat Luca menunggu di depan rumah untuk dijemput, Samuel tidak muncul. Untuk pertama kalinya setelah beberapa minggu, Luca terpaksa berjalan kaki sendirian menuju sekolah. Rasa kekecewaan bercampur dalam pikirannya, tetapi dia menepisnya, berusaha berpikir positif. Mungkin Samuel hanya sibuk atau ada hal lain yang mendesak.
Namun, hari-hari berikutnya tidak berbeda. Samuel tidak lagi menjemput atau mengantarkan Luca. Dia bahkan mulai menghindari Luca di sekolah. Setiap kali mereka berpapasan di koridor, Samuel selalu menemukan alasan untuk berbelok atau berpura-pura sibuk dengan hal lain.
Luca tidak tahu apa yang terjadi. Dia hanya bisa menebak-nebak. Apakah dia melakukan sesuatu yang membuat Samuel marah? Atau apakah Samuel tiba-tiba merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Luca semakin tertekan. Dia tidak hanya kehilangan Samuel sebagai sosok pelindung, tetapi juga kehilangan satu-satunya teman yang benar-benar peduli padanya.
Saat ia berjalan pulang sekolah sore itu, tiba-tiba hidungnya mulai berair lagi. Luca menyeka hidungnya dengan tangan, dan begitu menyadari bahwa darah mulai mengalir deras, ia merasa panik.
Langkahnya semakin melambat. Rasa pusing mulai menyerang, membuatnya kehilangan keseimbangan. Luca menepi, mencari tempat untuk bersandar sejenak. Rasa pusing itu semakin parah, kepalanya terasa berat dan berputar-putar. Dia terpaksa duduk di tepi jalan, mencoba menarik napas dalam-dalam. Tetapi, itu tidak banyak membantu. Hidungnya masih terus berdarah, dan pandangannya mulai kabur.
Luca berusaha meraih ponselnya dengan tangan gemetar. Jarinya mencoba mengetik pesan meskipun darah dari hidungnya masih terus mengalir. Dia tidak bisa memikirkan banyak hal, hanya satu nama yang muncul di benaknya Samuel. Luca mengetik nama itu di layar ponselnya dengan sisa tenaga yang ia miliki, hanya satu kata, "Samuel." Pandangannya semakin kabur, matanya mulai tertutup, dan tubuhnya semakin lemas. Dengan sisa kekuatannya, Luca berhasil mengirimkan pesan itu tepat sebelum ia kehilangan kesadaran.
Tubuh Luca jatuh ke tanah, di tempat sepi itu. Ponselnya tergeletak di sampingnya, layarnya masih menyala dengan pesan terakhir yang terkirim. Napasnya terengah-engah, dan darah terus menetes dari hidungnya ke tanah, menciptakan genangan kecil di bawah wajahnya.
Sementara itu, Samuel yang sedang berada di rumah sibuk memainkan gamenya. Ketika notifikasi pesan berbunyi di ponselnya, Samuel mengabaikannya meskipun nama pengirimnya tertera jelas yaitu Luca.
Samuel melirik pesan dari Luca di layar ponselnya, satu kata saja, "Samuel." Ia menghela napas panjang, berpikir mungkin Luca hanya ingin bertanya mengapa dia menjauhinya. Pikiran itu membuat Samuel semakin enggan untuk merespons.
"Ah, nanti aja," gumam Samuel pada dirinya sendiri, kembali fokus pada permainan di layar komputer. Ia benar-benar tenggelam dalam game yang sedang ia mainkan.
Sementara itu, Luca masih tergeletak di tepi jalan, tak sadarkan diri. Darah dari hidungnya sudah mengering di sekitar wajahnya, dan tubuhnya terasa dingin di bawah sinar matahari yang perlahan tenggelam. Tidak ada yang menyadari keberadaannya di sana.
Beberapa jam berlalu, dan Samuel yang asyik bermain game akhirnya berhenti sejenak. Matanya lelah, dan dia memutuskan untuk melihat ponselnya lagi. Notifikasi pesan dari Luca masih ada di sana. Samuel mengerutkan kening, merasa sedikit bersalah karena mengabaikannya. Namun, rasa penasaran akhirnya membuatnya memutuskan untuk membuka chat itu.
Perasaan tidak enak tiba-tiba muncul di dadanya. Biasanya, Luca akan menulis lebih panjang jika ingin bertanya sesuatu. Samuel mencoba menghubungi Luca, tetapi tidak ada jawaban.
"Ah, sialan," Samuel berdiri dari kursinya, tiba-tiba merasa cemas. Perasaan bersalah mulai menyeruak dalam dirinya. Dia tahu sesuatu tidak beres. Tanpa berpikir panjang, Samuel segera mengambil jaketnya dan berlari keluar rumah, menyalakan motornya secepat mungkin.
Samuel menuju rute yang biasa Luca lalui ketika pulang sekolah. Jantungnya terus berdetak kencang, rasa takut mulai merayapi pikirannya. "Jangan terjadi sesuatu" gumamnya, berharap Luca baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Silent Lover [END]
RomanceKetika si bisu menjadi kekasih pria terpopuler disekolahnya