Luca kembali ke kamarnya dan merebahkan diri di atas kasur. Ia menatap kosong ke arah langit-langit. Hidungnya masih terasa sedikit perih dari mimisan yang tadi. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia mengalami mimisan, dan itu biasanya hanya terjadi ketika ia terlalu stres atau lelah.
Mungkin karena terlalu lelah, Luca tidak sengaja tertidur pulas tanpa mengganti seragamnya.
Besok paginya, suara mesin motor terdengar samar dari luar rumah. Luca baru saja selesai mengenakan seragamnya ketika suara itu membuatnya tersentak. Dia berjalan perlahan ke jendela dan mengintip keluar. Benar saja, Samuel sudah berdiri di depan gerbang, mengenakan jaket kulit hitamnya dengan helm di tangan
Luca menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum keluar rumah. Sejujurnya, ia masih merasa canggung dengan kedekatannya dengan Samuel. Ia tidak pernah punya teman dekat. Dengan langkah pelan, Luca berjalan keluar pintu.
"Sudah siap?" tanya Samuel begitu melihat Luca. Senyumnya lebar, seolah-olah ini adalah rutinitas biasa bagi mereka. Luca hanya mengangguk pelan, merasa sedikit malu.
Samuel menyerahkan helm padanya, dan tanpa berkata-kata, Luca menerimanya. Mereka naik ke motor, dan Samuel menyalakan mesin. Luca duduk di belakangnya, berusaha menjaga jarak seperti biasa, tapi Samuel menoleh sebentar. "Hey, pegang aku, kalau tidak mau terjatuh," katanya.
Mendengar itu, Luca terpaksa memegang jaket Samuel dengan kedua tangannya. Samuel tersenyum kecil, lalu mulai melajukan motornya perlahan. Jalanan pagi itu masih sepi, dan udara dingin menyapu wajah mereka.
Setibanya disekolah, mereka berjalan bersama menuju kelas, dan seperti biasa, tatapan murid-murid lain mengikuti mereka. Bisikan dan gosip tentang Luca yang menyebar sejak Felix mengakuinya sebagai "anak pembantu" masih terasa di udara. Luca menunduk, berusaha menghindari tatapan-tatapan itu, tapi Samuel tampaknya tidak peduli sama sekali.
Samuel menepuk pundak Luca pelan. "Beritahu aku jika ada yang menjahilimu." Luca mengangguk sekali lagi, lalu masuk ke kelasnya.
Luca kembali melakukan rutinitasnya yang biasa yaitu mengambil makanan untuk Felix dan teman-temannya di kantin. Meskipun sekarang Felix tidak seagresif sebelumnya, dia tetap memperlakukan Luca seperti pesuruh.
Hari itu berlalu dengan cepat, dan sebelum Luca menyadarinya, bel pulang sekolah sudah berbunyi. Saat Luca sedang merapikan barang-barangnya, dia merasa gugup. Samuel sudah berjanji akan mengantarnya pulang lagi.
Di depan gerbang sekolah, seperti yang sudah diduga, Samuel sudah menunggunya. Kali ini, Samuel tidak langsung pulang, ia hanya ingin memberitahu Luca bahwa ia ada latihan basket, dia meminta Luca untuk pulang terlebih dahulu namun Luca menggeleng. Ia akan menunggu Samuel dan pulang dengannya
Samuel menatap Luca sejenak, sedikit terkejut dengan keputusan Luca untuk menunggunya. "Kau yakin mau nunggu?" tanyanya, suara rendahnya terdengar lembut. Luca mengangguk pelan, meskipun ia merasa sedikit canggung.
"Baiklah, kalau begitu. Ayo ikut ke lapangan," kata Samuel sambil berjalan menuju tempat latihan basket. Luca mengikuti di belakangnya. Saat mereka tiba di lapangan, suara sorakan dari para penonton sudah mulai terdengar. Meski ini hanya latihan, banyak siswa berkumpul di sekitar lapangan, menyoraki Samuel dan teman-temannya.
Di lapangan, teman-teman Samuel sudah berkumpul, beberapa di antaranya melambai ke arah Samuel saat dia mendekat. Salah satu temannya, James, yang sebelumnya pernah bersama mereka, menghampiri dan memberi tos pada Samuel.
"Bro, siap bikin rekor lagi?" tanya James sambil tertawa. Samuel hanya tersenyum lebar dan mengangguk.
Samuel kemudian menoleh ke Luca. "Hey kau bisa duduk di bangku penonton kalau mau. Atau kalau nggak nyaman, tunggu di dekat pohon sana aja. Latihannya nggak lama kok." Samuel menunjuk ke sebuah bangku kosong di pinggir lapangan. Luca menatap bangku itu sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan berjalan perlahan menuju tempat yang lebih sepi.
Dari jarak itu, Luca bisa melihat Samuel berbaur dengan teman-temannya di lapangan. Sorakan dari siswa-siswa lain makin kencang saat Samuel mulai menunjukkan keterampilannya bermain basket. Meski hanya latihan, Samuel terlihat sangat fokus dan energik, melompat tinggi untuk mencetak poin demi poin. Setiap kali bola masuk ke dalam ring, sorakan semakin riuh, dan para gadis di sekitar lapangan tidak henti-hentinya memuji Samuel.
Berbeda dengan Luca, dia hanya duduk diam di bangku, menyaksikan Samuel bermain dengan keterampilan yang luar biasa. Meskipun Luca tidak mengerti banyak tentang basket, dia bisa melihat bahwa Samuel benar-benar ahli dalam olahraga ini. Semua mata tertuju pada Samuel, termasuk Luca, yang mulai tersenyum kecil melihat betapa kerennya pria itu.
Latihan berlangsung sekitar satu jam, dan setiap kali Samuel mencetak poin, sorakan semakin menggelegar. Luca tetap diam di tempatnya, menonton tanpa banyak bergerak. Ketika latihan akhirnya usai, Samuel berjalan mendekatinya dengan keringat mengalir di dahinya, tapi senyum di wajahnya masih sama hangatnya seperti sebelumnya.
"Gimana? Bosan ya nungguin?" tanya Samuel sambil tertawa kecil.
Luca hanya menggeleng, lalu menuliskan sesuatu di ponselnya. "Kamu hebat," tulis Luca singkat, menyerahkan ponsel itu pada Samuel.
Samuel membaca pesan itu, lalu tertawa. "Makasih." Samuel mengusap keringatnya dengan handuk yang diberikan oleh James, lalu menoleh ke Luca lagi. "Ayo, kita pulang sekarang," katanya sambil meraih helm yang ditinggalkannya di pinggir lapangan.
Luca berdiri dari bangkunya dan mengikuti Samuel menuju motor. Sorakan dari para gadis yang masih bertahan di pinggir lapangan tidak berhenti, meski Samuel seolah tidak memperdulikannya.
Sebelum menaiki motor, Samuel menoleh lagi ke Luca. "Lain kali kau harus coba main juga," ujarnya bercanda.
Luca ingin ikut bermain, tapi ia tahu kondisinya tidak memungkinkan. Dokter sudah memperingatkannya untuk tidak terlalu lelah. Dengan senyum tipis, Luca mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa ia setidaknya mengapresiasi tawaran Samuel meskipun tidak bisa menerimanya.
Samuel menatapnya sejenak, senyum kecil di wajahnya menunjukkan bahwa dia tahu Luca tidak benar-benar serius soal itu. "Oke, kapan-kapan aja kalo kau udah siap," katanya, lalu menyalakan mesin motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Silent Lover [END]
Lãng mạnKetika si bisu menjadi kekasih pria terpopuler disekolahnya