Sebelum pulang kerumah, Luca berdiri di depan wastafel kamar mandi rumah sakit, dan menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya yang pucat, mata yang cekung, dan bibirnya yang hampir kehilangan warna membuat ia tampak seperti mayat hidup yang bergerak. Air tampak mengalir dari keran, namun Luca tidak segera mencuci wajahnya.
Hari ini dia benar-benar merasa sedih dan kosong yang bercampur aduk.
Dia memercikkan air ke wajahnya, berharap rasa dingin itu bisa mengembalikan kekuatannya. Namun, alih-alih merasa lebih baik, rasa sesak yang telah dia tahan sejak tadi pecah begitu saja. Tanpa disadari Luca telah jatuh berlutut di lantai kamar mandi, air matanya mulai mengalir deras. Tangannya gemetar saat dia menekan dadanya yang terasa begitu sesak."Aku harus bagaimana?..." gumamnya dalam hati, suara itu tertahan di tenggorokannya. Ia ingin berteriak, tapi tidak ada sedikitpun suara yang keluar. Air matanya terus mengalir tanpa henti, hingga membasahi lantai dingin di bawahnya.
Luca merogoh ponselnya dengan tangan gemetar. Dalam benaknya, hanya ada satu nama yang muncul, Samuel. Dia butuh seseorang saat ini. Luca menekan tombol panggil pada nama Samuel, tapi nahasnya ia tidak mendengar jawaban dari Samuel di balik ponselnya.
Baru saja saat Luca hampir menutup panggilannya karena Samuel tidak kunjung menjawab, tapi terlambat. Suara Samuel yang familiar langsung terdengar.
"Halo?" Suara itu tenang, tetapi segera berubah menjadi khawatir. "Luca? Ada apa?"
Luca mencoba berbicara, tetapi suara yang keluar hanyalah gumaman lemah. "Hmn..."
"Luca?" panggil Samuel lagi, suaranya terdengar lebih cemas dari sebelumnya. "Hei, apa yang terjadi?"
Luca menggigit bibirnya, mencoba menghentikan tangisannya. Dia ingin mengatakan sesuatu, apa saja, tapi tenggorokannya seakan tertutup rapat.
"Luca!" Samuel hampir berteriak di ujung telepon. "Kirimkan aku lokasimu sekarang juga."
Dengan tangan yang masih gemetar, dia mengetik di ponselnya, lalu mengirim pesan kepada Samuel yang berbunyi "Aku hanya ingin mendengar suaramu."
Samuel setelah membaca pesan itu merasa lebih tenang, setidaknya tidak ada sesuatu yang buruk terjadi pada Luca. Bagaimana pun Samuel masih trauma mengingat terakhir kali ia menemukan Luca yang jatuh pingsan dijalanan.
Luca masih belum mematikan panggilan teleponnya dengan Samuel, ia masih ingin mendengar suara pria itu.
"Kau membuatku khawatir" suara Samuel yang masih terdengar di ujung sana.
Luca sangat senang mendengar suara Samuel, dan itu entah bagaimana memberinya sedikit ketenangan. Dia tetap duduk di lantai kamar mandi, memeluk lututnya sendiri, merasa lemah namun sedikit lega.
Setelah mendengar suara Samuel yang cukup lama, Luca merasa seratus kali lebih baik dari sebelumnya.
Luca mengirimi pesan kepada Samuel agar segera mematikan panggilannya, namun Samuel menolak. Dia berkata lebih baik Luca yang mematikannya. Mereka sempat saling berdebat untuk siapa yang melakukannya, namun ujungnya Luca yang menyerah, akhirnya dia yang mematikan panggilannya meskipun Luca sedikit enggan.
Setelah itu, Luca memesan taksi online dan memutuskan untuk menunggu didepan. Luca menunggu cukup lama hingga taksinya akhirnya tiba. Luca masuk ke dalamnya tanpa banyak bicara. Sepanjang perjalanan pulang, ia pun hanya bersandar di kursi, memandang keluar jendela. Sepanjang jalanan yang ramai terasa begitu sepi baginya.
Ketika sampai di rumah, Luca membayar supir taksi dengan dibarengi senyum tipis. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan, berharap tidak ada yang memperhatikannya. Rumah tampak sepi, dan ini adalah hal yang ia butuhkan. Ia tidak ingin berurusan dengan siapa pun malam ini.
Saat Luca melangkah menuju kamarnya, tubuhnya yang lelah membuatnya hampir tidak memperhatikan sekeliling. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok Felix di ujung koridor rumah. Mata mereka berdua bertemu sejenak, namun kali ini tidak ada ejekan atau tatapan penuh kebencian dari Felix seperti biasanya. Luca memiringkan kepala sedikit, bingung dengan perubahan sikap ini. Biasanya, Felix akan melemparkan komentar pedas atau bahkan sengaja menghalangi jalannya. Tapi hari ini, pria itu hanya berdiri diam.
Setelah beberapa detik, Felix melirik ke arah Luca dan berkata dengan nada datar, "Kau pulang terlambat, apa kau tidak ingat apa yang ayah katakan kemarin?"
Luca mengerutkan kening, tidak tahu harus merespons bagaimana. Felix jarang berbicara tanpa menyindir atau mencari masalah jadi ia merasa aneh dan jelas bingung dengan situasi ini. Jadi alih-alih membalas, Luca hanya mengangguk kecil dan melanjutkan langkahnya menuju kamar.
Dibalik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Luca menyadari bahwa Felix sudah hampir satu minggu tidak mengganggunya. Tidak ada komentar tajam, tidak ada ejekan, dan tidak ada upaya untuk merusak harinya. "Apakah dia sudah bosan?" batinnya berkata.
Sementara itu, di koridor, Felix berdiri di tempat yang sama, menatap pintu kamar Luca yang sudah tertutup rapat. Ia mengepalkan tangannya erat dan ekspresi wajahnya tidak bisa ditebak. "Lihatlah? saat aku berbuat baik padanya bagaimana bajingan kecil itu membalas." gumam Felix pada dirinya sendiri sebelum berjalan kembali ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Silent Lover [END]
RomanceKetika si bisu menjadi kekasih pria terpopuler disekolahnya