Felix menghentikan langkahnya dan berbalik menghadapi Samuel, dengan senyum dingin yang dipaksakan. “Iya, mau pulang. Ada urusan?” jawab Felix dengan nada datar. Tapi jelas dari matanya bahwa dia terganggu dengan kehadiran Samuel dan James di sana.
Samuel menyeringai sambil melirik Felix dan Luca bergantian. “Lucu juga liat lo jalan bareng si bisu lagi. Apa nggak bosan-bosan ngerjain dia?” tanyanya, nada suaranya penuh dengan sindiran.
Felix menatap Samuel dengan tajam. “Dia sahabat gue, jadi terserah gue gimana ngurus dia. Lo nggak usah ikut campur.” Ujarnya sambil merangkul bahu Luca.
Samuel tertawa kecil, tetapi tatapan matanya serius. “Biar gue yang anterin si bisu ini pulang.”
Felix mendekat ke Samuel, berdiri beberapa inci dari wajahnya. “Rumah gue searah dengan dia!!” ucap Felix dengan nada menekan.
Luca yang berdiri di belakang Felix merasa jantungnya berdetak kencang. Dia tahu jika Felix marah, masalah ini bisa semakin parah. Namun, sebelum situasi bisa semakin memanas, Samuel mendesah dan mengangkat tangannya seolah menyerah.
“Oke, oke. Gue nggak bakal ikut campur lagi. Tapi, kalau lo merasa tertekan, bilang aja,” ujar Samuel sambil menatap Luca.
Felix, tanpa berkata apa-apa lagi, menarik tangan Luca dan mendorongnya sedikit ke depan. “Ayo,” perintahnya dengan kasar.
Samuel hanya menggeleng pelan sambil menatap punggung Felix dan Luca yang menjauh. “Bajingan itu menyebalkan, sialan” gumam Samuel, lebih kepada dirinya sendiri.
James menepuk bahu Samuel. “Udah, biarin aja. Kalau si bisu mau bertahan, itu urusan dia. Lagian, lo nggak bisa nolong orang yang nggak mau ditolong.”
Sesampainya di rumah, Felix langsung menutup pintu mobil dengan keras, membuat suara dentuman yang menggema di seluruh rumah. Langkah kakinya berat, menandakan amarah yang belum juga mereda. Dia memandangi Luca yang berjalan beberapa langkah di belakangnya.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Felix melangkah menuju pintu kamar mandi dan mendorong Luca ke dalam. Luca tidak bisa menghindar, terjatuh ke lantai kamar mandi dengan keras. Sebelum dia sempat bangkit, Felix sudah menariknya dengan kasar, memaksanya berdiri.
"Apa yang kau lakukan beberapa hari ini saat aku tidak mengawasimu sialan?” suara Felix terdengar mengancam, seakan setiap kata yang diucapkannya penuh dengan kebencian. Luca hanya menunduk, mulutnya terkunci, tidak bisa berkata-kata. Takut.
Felix tidak memberi kesempatan untuk membela diri. Dengan penuh amarah, dia mendorong tubuh Luca ke bak mandi, menahan kepalanya, dan dengan kasar merendamnya ke dalam air. Luca merasa air menggenang di sekeliling kepalanya, menutupi mulut dan hidungnya, membuatnya hampir kehilangan nafas. Tubuhnya bergetar, takut dan panik, tetapi dia tidak bisa berteriak, tidak bisa melawan.
Dia berusaha mengangkat kepala, tapi Felix menekannya lebih dalam, memaksa Luca untuk tetap tenggelam dalam air dingin itu. Rasa takut yang menyelubungi dirinya semakin membesar, perasaan tenggelam, tidak bisa bernapas, semuanya bercampur menjadi satu. Bahkan jika dia ingin meminta tolong, tidak ada suara yang keluar, hanya suara desisan napas yang terhenti setiap kali kepalanya tenggelam lebih dalam. Felix hanya diam, meskipun matanya menunjukkan kejamnya amarah yang tidak bisa dibendung. Dia merasa puas bisa membuat Luca ketakutan seperti ini. Terkadang, dia merasa hal itu adalah cara terbaik untuk mengendalikannya, membuat kakaknya tahu bahwa dia adalah yang berkuasa di sini. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Felix menarik kepala Luca dengan kasar, membiarkannya terengah-engah di udara bebas. Luca memandang Felix dengan mata yang berkaca-kaca, wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar, masih terkejut dengan perlakuan yang baru saja diterimanya.
Felix hanya menatapnya dengan tatapan kosong, seolah tidak merasa bersalah sama sekali. “Mulai besok jauhi bajingan itu, kalau tidak aku akan berbuat lebih dari ini ...” ujarnya dengan nada datar, meski ada sedikit kebencian yang masih tersirat.
Luca tidak bisa menjawab, hanya terdiam, merasakan setiap kata itu menghujam lebih dalam ke dalam hatinya.
Felix akhirnya melepaskan tangan dari tubuh Luca, membiarkan adiknya terhuyung-huyung kembali berdiri, tubuhnya masih basah dan gemetar. “Pergi ke kamarmu bisu,” katanya sambil melangkah mundur, meninggalkan Luca sendirian di kamar mandi. Luca hanya berdiri di sana, air mata mengalir tanpa bisa dihentikan.
Di malam setelah kejadian itu, tubuh Luca terasa sangat lemah. Demamnya semakin parah, namun ia memaksakan diri untuk tetap bertahan. Ia hanya bisa terbaring di tempat tidurnya, keringat dingin mengalir di dahinya. Tubuhnya menggigil, dan rasa sakit yang menjalar membuatnya hampir tak bisa bernapas dengan tenang. Air mata yang sempat mengering kembali mengalir.
Keesokan paginya, Luca memaksakan diri untuk bangun meskipun kepalanya terasa berat dan tubuhnya gemetar. Wajahnya tampak pucat, matanya kabur, namun ia berusaha sekuat tenaga mengenakan seragam sekolah dan berangkat. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Luca hampir tidak bisa merasakan apapun selain rasa pusing yang menguasai kepalanya. Namun, ia tetap berjalan dengan langkah perlahan dan penuh usaha. Setibanya di sekolah, ia merasa lelah sekali.
Saat istirahat tiba, Luca merasa semakin buruk. Tubuhnya tak mampu lagi bertahan, dan ia merasa lemas. Tanpa tujuan jelas, ia mencari tempat yang sepi untuk bersembunyi, akhirnya memilih ruang olahraga yang biasanya kosong. Dengan langkah terhuyung, Luca masuk ke ruangan yang gelap itu, mencoba menenangkan dirinya sejenak.
James, yang kebetulan lewat di sekitar ruang olahraga, mendengar suara langkah kaki yang lemah. Ia berhenti dan menatap ke dalam. Matanya langsung menangkap sosok Luca yang sedang duduk terbungkuk di pojok ruangan. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar.
“Bukankah kau Luca, teman Sam?” James mendekat, terkejut melihat kondisi pria itu. “Apa yang terjadi?” tanyanya cemas. Luca tidak bisa berkata apa-apa, hanya menunduk, tampak sangat lemah.
James menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan menghubungi Samuel. “Sam, datang ke sini sekarang dan jangan tanya apapun.” katanya dengan suara panik.
Samuel merasa tidak biasa untuk seorang James sampai menghubunginya, tanpa bertanya apapun sesuai instruksinya, Samuel menuju ke lokasi yang dimintai James.
Tak lama kemudian, Samuel tiba di ruang olahraga. "Ada apa?" tanyanya datar.
"Liat tuh" James menunjuk kearah pojok dengan menggunakan dagunya.
"Hey, dia kenapa?" Samuel berlari ke arahnya dan refleks meraba keningnya. Luca hanya bisa menunduk.
James yang mendekat, mengatakan. “Kita harus bawa dia ke UKS, Sam. Sepertinya dia dalam kondisi demam parah,”
KAMU SEDANG MEMBACA
My Silent Lover [END]
Storie d'amoreKetika si bisu menjadi kekasih pria terpopuler disekolahnya