Keesokan paginya, Ketika Samuel mendekatinya di lorong sekolah, Luca secara refleks menjauh. Dia tidak menatap langsung Samuel, hanya menunduk dan mempercepat langkahnya. Samuel, yang menyadari perubahan sikap Luca, memandang heran, tapi dia memutuskan untuk tidak memaksa dirinya. Samuel berjalan mengikuti dari belakang hingga ia berbelok kekelasnya.
Luca tidak mau masalah dengan Felix semakin memburuk jika dirinya terlihat terlalu dekat dengan Samuel. Setiap kali Samuel muncul di sekitarnya tidak ada hal baik yang akan terjadi padanya.
Saat bel sekolah berbunyi dan jam pelajaran berakhir, Luca berjalan pulang dengan hati-hati, berharap bisa kembali ke rumah tanpa insiden apapun. Namun, saat dia mendekati pintu rumahnya, terdengar suara tawa keras dari dalam. Luca mengernyit. Dia tahu suara itu adalah suara Felix dan teman-temannya.
Dengan hati-hati, Luca membuka pintu rumah dan masuk ke dalam. Dia berusaha untuk tidak terlihat oleh Felix atau teman-temannya, tapi apesnya, dia justru bertabrakan dengan salah satu dari mereka di lorong.
"Hei, lihat ada siapa?” seru salah satu teman Felix, memandang Luca dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan merendahkan.
Felix yang sedang duduk di ruang tamu, langsung berdiri dan mendekati mereka. Tatapan marah dan kesal langsung terpancar dari wajahnya. "Oh, ini?” Felix tertawa kecil. “Luca adalah anak pembantu di sini,” katanya tanpa ragu, membuat semua orang di ruangan tertawa.
Luca hanya bisa berdiri kaku. Dia tidak pernah menyangka Felix akan mengatakan hal sekejam itu. Felix melanjutkan, “Dia tinggal di sini karena ibunya kerja buat keluargaku. Jadi kalau kalian lihat dia, ya... anggap aja dia bagian dari properti rumah ini.”
Tawa teman-teman Felix semakin keras. Salah satu dari mereka bahkan berkata, "Oh pantas aja! kirain si aneh dan bisu ini saudaramu!"
"Tidak mungkin" jawab Felix tanpa ragu-ragu.
Luca membalikkan badan dan bergegas menuju kamarnya, menutup pintu dengan keras, lalu menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur.
Di luar kamarnya, tawa Felix dan teman-temannya masih terdengar. Kapan ia bisa merasakan kehidupan seperti Felix yang mempunyai banyak teman dan disukai oleh orang-orang di sekitarnya. Ayah kandungnya bahkan mencintai Felix lebih dari mencintai dirinya.
"Andai ibu masih hidup, mungkin aku tidak sendirian seperti sekarang" batinnya berkata sembari ia menatap langit-langit kamarnya.
"Aku ingin ikut dirimu bu.."
Setelah teman-temannya pulang, suasana rumah kembali sepi. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Felix membuka pintu kamar Luca dengan kasar, tanpa mengetuk terlebih dahulu. Tatapan tajam penuh amarah langsung menghujani Luca yang tertidur ditempat tidurnya.
"Kau benar-benar bikin malu tadi!" seru Felix dengan nada rendah tapi penuh ancaman. "Kau nggak bisa berhenti membuat masalah, ya?"
Felix melangkah lebih dekat, wajahnya semakin gelap. "Dengar, ya. Kalau sampai teman-temanku curiga kalau kita sebenarnya saudara, aku nggak akan ragu-ragu menghancurkan kau lebih dari ini."
Felix kemudian meraih kerah baju Luca dan menariknya dengan kasar. "Dan berhenti bikin aku malu di depan orang lain. Aku capek nutupin semua kebodohanmu!" desisnya dengan penuh kemarahan, sembari melepaskan Luca dengan satu dorongan keras hingga Luca terhuyung.
Luca perlahan meraih selembar kertas di atas meja kecil di kamarnya, tangannya mulai menuliskan sesuatu. Rasa putus asa yang mendalam membuat pikirannya seolah gelap. Setelah selesai menulis, dia merobek kertas itu dengan perlahan dan mengangkatnya, memperlihatkan kepada Felix yang masih berdiri didepannya.
Di atas kertas itu tertulis, "Bunuh aku kalau tidak ingin aku bikin malu dirimu dan maafkan aku selama ini selalu membuatmu marah....... aku juga ingin bertemu dengan ibuku disana"
Felix membaca tulisan itu dengan ekspresi yang awalnya marah, tetapi segera berubah menjadi terkejut. Tatapan Luca benar-benar kosong, matanya seolah tidak lagi menunjukkan ketakutan ataupun perlawanan, hanya kekosongan yang menakutkan. Felix merasa tertegun sesaat, mulutnya sedikit terbuka tapi tak ada kata yang keluar. Tatapan Luca, yang biasanya penuh kecemasan dan ketundukan, kini berubah menjadi dingin dan tidak lagi peduli.
"Ap-apa maksudmu?" gumam Felix dengan suara yang sedikit goyah, namun Luca tidak menjawab. Dia hanya menatap adiknya tanpa berkedip, memegang kertas itu erat-erat seolah menantang Felix untuk melakukan apa yang baru saja dia baca.
Felix merasakan kegelisahan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Tubuhnya kaku, dia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana merespons. Ini pertama kalinya dia melihat Luca seperti ini. Dengan tergesa-gesa, Felix mundur, langkah kakinya serba salah. "Kau gila!" serunya, berusaha menutupi rasa takut yang mulai merayapi dirinya. Tapi di balik kata-kata kasarnya, ada kepanikan yang jelas terasa. Tanpa berkata lebih banyak, Felix bergegas keluar dari kamar Luca, menutup pintu dengan keras.
Felix tidak pernah melihatnya begitu putus asa sebelumnya. Sebuah perasaan yang selama ini dia coba abaikan, tapi sekarang, setelah kata-kata yang ditulis Luca, rasa tidak enak muncul dibenaknya.
Dia mencoba menepis perasaan itu dengan berpikir, “Luca memang pantas mendapatkannya. Dulu dia selalu diperlakukan lebih baik, selalu diperhatikan, sementara aku... aku hanya..."
Tapi semakin dia mencoba membenarkan perbuatannya, semakin jelas alasan mengapa dia bertindak demikian selama ini.. cemburu. Felix ingat bagaimana ibunya, sebagai selingkuhan, selalu dipandang rendah oleh keluarga ayah Luca. Ibunya tidak pernah diterima, dan dia, sebagai anak dari hubungan yang tidak sah, dianggap sebagai aib. Felix tumbuh dengan kebencian karena merasa tidak diinginkan dan direndahkan.
Dia cemburu melihat perhatian yang diberikan ibu Luca kepada Luca. Sedangkan ibunya sering memaksanya dan menuntutnya untuk lebih baik dari Luca dan menjadi pewaris dimasa depan.
Ayahnya, meskipun dingin, tampak lebih menyukai Luca yang pendiam dan menurut. Felix selalu merasa terpinggirkan, tidak pernah cukup baik di mata siapa pun. Hingga suatu hari Luca mengalami insiden yang membuat dia menjadi bisu, ayahnya sudah tidak lagi memperlakukan Luca seperti berlian, semua kasih sayang ayahnya pindah kepadanya.
Namun sekarang, setelah melihat betapa kosongnya tatapan Luca, Felix mulai merasa kehilangan kendali. Apa yang dia lakukan selama ini? Apakah menyakiti Luca benar-benar membuat hidupnya lebih baik? Felix terdiam, matanya menatap ke langit-langit kamar, pikirannya berkecamuk didalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Silent Lover [END]
RomanceKetika si bisu menjadi kekasih pria terpopuler disekolahnya