Ambulans tiba dengan cepat. Para petugas medis segera turun dan mengangkut Luca yang masih pingsan dengan hati-hati ke atas tandu.
Di lantai atas rumah, Felix tidak sengaja mendengar ada keributan didepan rumahnya. Rasa penasaran berhasil membawanya menuju ke balkon. Matanya menyipit ketika melihat James bersama beberapa orang membawa Luca yang terlihat tak berdaya. Tanpa pikir panjang, Felix bergegas turun dan melewati anak tangga dengan langkah cepat.
“James!” panggil Felix, ia menahan langkah pria itu sebelum ia menaiki motornya. “Apa yang terjadi?”
James menoleh sebentar lalu ia menghela napasnya berat. “Dia pingsan dan aku tidak tahu kenapa"
"Aku harus ikut ke rumah sakit, minggir” James mendorong pelan agar Felix tidak menghalangi jalannya.
Felix memegang lengan James dan ia menghentikannya. “Apa kau yakin dia sakit? Jangan-jangan dia hanya mencari perhatian”
James langsung menepis tangan Felix dengan kasar dan tampak wajahnya berubah marah. “Felix, ini bukan waktunya untuk bercanda atau mengatakan hal bodoh seperti itu! Luca tidak main-main, dia benar-benar sakit!” Suaranya meninggi dan tangannya terkepal erat.
Felix terdiam namun raut wajahnya tampak meremehkan. Kemudian, ia kembali untuk mencoba menyangkal James. “eung, dia juga terlihat baik-baik saja beberapa hari yang lalu!”
“Cukup Idiot” James memotong, sorot matanya menajam. “Berhenti bersikap seperti anak kecil dan tunjukkan sedikit rasa simpatimu!”
Tanpa aba-aba..
"Sekarang ikut aku.." Tiba-tiba saja James menarik Felix untuk naik paksa keatas motornya. James tidak memberi Felix kesempatan untuk melawan. Ia menarik pergelangan tangan Felix dengan kuat."Apa yang kau lakukan?!" protes Felix yang sedang mencoba untuk melepaskan diri. Namun, kekuatan James jauh lebih besar, dan ia tidak punya pilihan selain mengikuti.
"Diam dan naik!" bentak James sambil menekan bahu Felix di tempat duduk belakang motor. Dengan gerakan cepat, James mengenakan helmnya, lalu memberikan satu helm lagi pada Felix
Felix menatap helm itu dengan enggan. "Aku tidak mau pergi ke rumah sakit untuk dia," katanya, mencoba memberontak.
James menoleh dengan ekspresi yang begitu tidak menyenangkan apalagi dengan matanya yang penuh amarah. "Dengar, Felix. Kau keluarganya, sialan!"
Kalimat barusan berhasil membuatnya tidak mampu untuk berkata-kata lagi. Ia hanya menelan ludah, lalu mengenakan helm dengan terpaksa. James menyalakan motornya dan melaju dengan cepat, ia membelah jalan menuju rumah sakit. Disepanjang perjalanan, tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Ponsel James yang berada di dalam sakunya tiba-tiba berdering keras. Ia melirik ke layar sekilas, lalu menyerahkannya kepada Felix.
"Angkat. Aku sedang mengemudi," katanya singkat.
Felix mengernyit, ia tidak suka diberi perintah tapi entah mengapa tiba-tiba dengan rasa enggan, ia mengambil ponsel itu dan menjawab panggilannya.
"Halo?" Felix berbicara dengan nada dingin.
Suara seorang perawat di ujung telepon sana terdengar lembut dan tenang saat menanggapi Felix. "Halo, apakah ini keluarga dari Luca?"
Felix terdiam beberapa detik, sebenarnya ia bingung harus menjawab apa. "Iya," katanya pelan akhirnya, meskipun ia ragu dan juga merasa canggung.
"Baiklah. Saya ingin memberitahukan bahwa pasien sedang memasuki masa kritisnya dan pasien baru saja dipindahkan ke ruang ICU. Kami juga memerlukan tanda tangan pihak keluarga untuk persetujuan memulai pencarian pendonor sumsum tulang belakang yang cocok."
Felix mematung. Kata-kata itu seolah menusuk telinganya dan menghilangkan semua suara di sekitarnya. "Masa kritis?" gumamnya, hampir tak terdengar.
James menoleh sekilas setelah melihat ekspresi Felix yang tiba-tiba berubah melalui kaca spion motornya. "Apa yang mereka katakan?" tanyanya.
Felix tidak menjawab langsung. Ia menelan ludahnya dan mencoba mengatur napasnya. "Dia... dia sedang dalam kondisi kritis," jawabnya dengan suaranya pelan dan nyaris gemetar. "Mereka memindahkannya ke ICU. Dan... mereka butuh tanda tangan untuk mencari pendonor sumsum tulang."
James mengetatkan rahangnya, kedua tangannya menggenggam stang motor lebih erat. "Kritis? dari raut wajahmu sepertinya kau tidak tahu apapun bukan?"
Felix memandangi ponsel di tangannya dan pikirannya tiba-tiba kosong.
"Apa kau senang hah? bukankan ini yang kau inginkan?" ujarnya James sambil melaju menuju ke rumah sakit.
Felix menggelengkan kepalanya berkali-kali "tidak, bukan ini yang aku inginkannya" bisiknya hampir tidak terdengar.
Sesampainya di rumah sakit, James dan Felix langsung berlari menuju meja resepsionis. Mereka diberitahu bahwa Luca sudah dipindahkan ke lantai atas, ke ruang ICU. Dengan tergesa-gesa, mereka memilih menaiki tangga menuju ruangan itu, daripada harus mengantri untuk menaiki lift.
Di depan pintu ICU, seorang dokter berdiri menunggu mereka. James mendekat terlebih dahulu. "Bagaimana keadaannya, Dok?" tanyanya dengan napasnya yang masih tersengal.
Dokter itu menghela napas pelan. "Kondisinya sangat lemah. Kami sudah melakukan yang terbaik untuk menstabilkannya, tapi dia membutuhkan transplantasi sumsum tulang belakang sesegera mungkin. Kami memerlukan izin orangtuanya untuk memulai pencarian pendonor."
Felix menatap dokter dengan raut wajah paniknya. "Dok, maaf. Saya perlu menelepon ayah saya. Dia satu-satunya yang bisa memberikan izin resmi," katanya buru-buru.
Dokter mengangguk dengan pengertian. "Silakan, tapi tolong cepat. Waktunya sangat terbatas."
Felix segera berjalan menjauh, mencari sudut yang sepi di lorong rumah sakit. Tangannya gemetar saat ia merogoh ponselnya dan mencari kontak ayahnya. Jantungnya berdegup kencang ketika panggilan tersambung.
"Felix? Ada apa?" tanya ayahnya, dengan suaranya terdengar sibuk.
Felix mencoba menahan suaranya tetap stabil, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan nada cemasnya saat berbicara. "Ayah, kak Luca masuk rumah sakit... Dia dipindahkan ke ICU, dan dokter bilang dia butuh transplantasi sumsum tulang belakang sesegera mungkin."
Sejenak, ada keheningan di ujung sana. "Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya ayahnya akhirnya, ia juga terdengar sedikit merasa terganggu.
Felix mengepalkan tangan yang mencoba untuk menahan emosinya. "Mereka butuh tanda tangan pihak keluarga untuk memulai pencarian pendonor. Ayah harus pulang dan menandatangani persetujuan itu."
Ayahnya lalu mendesah panjang. "Felix, ayah sedang berada di luar kota untuk pekerjaan yang sangat penting. Ayah tidak bisa meninggalkannya begitu saja."
"Ayah...!" suara Felix meninggi.
"Apakah pekerjaan lebih penting daripada nyawa anakmu sendiri?"
"Tidak bisakah kau atau ibumu yang menangani ini?" tolak ayahnya untuk kesekian kalinya
Felix merasa seolah-olah seluruh dunianya runtuh. Ia menempelkan punggungnya ke dinding dan suaranya mulai serak. "Ayah, aku mohon... Dia tidak punya waktu banyak."
Ia mulai menangis dan air matanya mengalir deras di kedua belah pipinya. "Ayah. Aku mohon..."
Setelah dipikir-pikir panjangin dikit ajala chapternyaa😂 gada jadi end ch 25 Wkwk
btw jangan lupaaa vote sama coment biar aku ga males upload ch baru ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
My Silent Lover [END]
RomanceKetika si bisu menjadi kekasih pria terpopuler disekolahnya