Luca menggenggam lengan Samuel lemah, matanya memohon agar Samuel tidak membawa masalah ini terlalu jauh. Samuel menghela napas panjang, kemudian menatap teman-temannya.
"Kalian lanjut aja. Aku antar dia pulang,” katanya sambil membantu Luca berdiri.
Samuel menuntun Luca menuju kemotornya, Samuel menyalakan mesin dengan wajah yang serius. Sebelum pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah teman-temannya. “John, lain kali hati-hati"
John menunduk penuh rasa bersalah. “Maaf sekali lagi, Sam. Maaf, Luca.”
Samuel tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil lalu melaju membawa Luca pulang. Di sepanjang perjalanan, Samuel melirik kearah Luca melalui kaca spionnya. “Kau benar-benar nggak apa-apa?” tanyanya pelan.
Luca mengangguk pelan, ia menyandarkan kepalanya ke punggung Samuel. Nyaman dan hangat itulah yang ia rasakan sekarang.
Ketika mereka sampai di depan rumah Luca, Samuel turun terlebih dahulu dan membantu Luca turun dari motor. “Nanti ada apa-apa jangan lupa mengirimiku pesan, nanti aku akan segera datang menemuimu,” ujar Samuel tegas.
Luca mengangguk, lalu menuliskan sesuatu di ponselnya sebelum menunjukkan kepada Samuel. “Aku baik-baik saja, sungguh. Jangan khawatir.”
Samuel melihat Luca mengetikkan pesan lagi di ponselnya, ia dengan sabar menunggunya.
"Sam, jangan marah pada John dia tidak bersalah, ini kesalahanku karena aku terlalu lemah. Andai aku tidak lemah aku pasti bisa bermain dengan kalian semua. Jadi aku mohon jangan salahkan dia."
Samuel membaca pesan itu dan menghela napas panjang. “Baiklah, aku tidak akan menyalahkannya” ujarnya sembari mengacak-acak pelan rambut Luca.
Luca terdiam dan pipinya memerah, tapi ia hanya tersenyum kecil sebelum melangkah masuk kedalam rumahnya. Samuel berdiri di luar untuk beberapa saat, memandangi pintu rumah Luca dengan pikiran yang tidak enak. Sudah dua kali ia melihat Luca mimisan dan itu benar-benar mengkhawatirkan dirinya.
Luca terbaring lemah di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamarnya. Tubuhnya terasa lelah, seolah-olah energi terakhir dalam dirinya menguap begitu saja. Dengan napas yang terengah-engah, ia mengangkat telapak tangannya. Kulitnya begitu pucat, hampir transparan, hingga ia dapat melihat pembuluh darah yang kecil dan samar di bawah permukaannya.
"Apakah... ini akhirnya?" gumamnya dalam hati.
Kenangan tentang ibunya kembali menghantui pikirannya. Ibunya meninggal karena penyakit mematikan yang membuat ia meninggal diumur yang begitu muda. Luca selalu berharap, meski kecil kemungkinannya, bahwa nasib buruk itu tidak akan menurun kepadanya. Tapi sekarang, dengan kondisinya yang semakin parah, ia tahu bahwa penyakit yang sama kemungkinan telah menyerangnya.
Air mata perlahan mengalir di pipinya. "Di kehidupan yang sekali ini kenapa aku harus dilahirkan untuk menderita?" batinnya berkata. Kehidupan Luca sejak kecil sudah cukup berat, tanpa suara, tanpa kebebasan, dan sekarang tanpa harapan untuk masa depan. Ia bahkan tidak tahu berapa lama lagi tubuhnya bisa bertahan.
Dengan sisa tenaga, ia meraih ponselnya dan menatap foto yang baru-baru ini ia ambil bersama Samuel. Senyum hangat pria itu masih jelas di ingatannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, seseorang yang membuatnya merasa diinginkan meski hanya sebentar.
Keesokan paginya, di hari minggu Luca bangun lebih awal dari biasanya. Tubuhnya masih terasa lelah, tetapi ia memaksakan diri untuk bangkit. Ia telah memutuskan untuk pergi ke rumah sakit sendirian hari ini mengingat kondisinya yang semakin melemah.
Dengan langkah pelan, Luca meninggalkan rumah tanpa memberitahu siapa pun, termasuk Samuel. Ia tahu Samuel pasti akan khawatir jika mengetahui hal ini.
Luca memesan taxi dan setibanya di rumah sakit, udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambutnya. Aroma antiseptik yang tajam membuatnya sedikit mual, tetapi ia tetap melangkah ke meja pendaftaran dan menjelaskan bahwa ia memiliki janji dengan dokter spesialis hematologi.
Setelah proses administrasi selesai, Luca diminta menunggu di ruang tunggu. Ia duduk di salah satu kursi plastik yang terasa dingin. Sembari menunggu, Luca memperhatikan pasien-pasien lain yang ada di sekitarnya. Ada yang bersama keluarganya, ada juga yang terlihat sendirian seperti dirinya.
Luca menunduk, menggenggam kedua tangannya erat-erat. Waktu terasa berjalan lambat. Luca merasakan jantungnya berdetak cepat karena kecemasan yang terus menghantui pikirannya. "Apa hasilnya akan buruk? Apa ini akhirnya?" gumamnya dalam hati.
Namanya akhirnya dipanggil. Dengan napas terengah-engah, ia melangkah masuk ke ruang konsultasi. Dokter menyambutnya dengan senyum ramah, tetapi Luca tidak bisa membalas senyuman itu. Ia hanya duduk diam, menunggu dokter membuka hasil pemeriksaannya.
Dokter memulai dengan pertanyaan sederhana tentang gejala yang dirasakannya belakangan ini. Luca menjawab semuanya dengan jujur dengan mengetik pesan singkat di ponselnya, menjelaskan bahwa pusing, lemas, dan mimisan semakin sering terjadi.
Setelah mencatat semuanya, dokter akhirnya membuka hasil tes darah dan beberapa pemeriksaan lainnya. Ekspresinya berubah sedikit serius. "Luca," katanya pelan, "kondisi anda memang memburuk. Sel darah merah anda menurun drastis, dan ini sudah masuk tahap yang cukup kritis."
Luca merasa tenggorokannya kering. Tangannya gemetar saat ia mengetik di ponselnya "Apa artinya ini, Dok?"
Dokter menatapnya dengan penuh simpati. "Kita harus segera melakukan tindakan lebih lanjut. Transfusi darah mungkin diperlukan, dan jika kondisi ini terus berlanjut, kita harus mempertimbangkan transplantasi sumsum tulang. Namun, itu membutuhkan donor yang cocok, dan prosesnya tidak mudah."
Mendengar penjelasan itu, Luca merasa seluruh tubuhnya melemas. Ia menunduk, menatap telapak tangannya yang pucat. Transplantasi sumsum tulang? Donor? Semua itu terdengar menakutkan.
Dokter melanjutkan, "Jangan terlalu lelah dan yang terpenting anda perlu dukungan dari orang-orang di sekitar anda, jangan menghadapi ini sendirian"
Luca hanya mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia merasa hampa. Setelah janji temu selesai, ia keluar dari ruang konsultasi dengan langkah berat. Ia berjalan menuju lobi rumah sakit, pikirannya penuh dengan kata-kata dokter tadi.
Matanya berkaca-kaca, tetapi ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tidak ingin terlihat lemah, bahkan di saat seperti ini.
Dengan ponsel di tangannya, Luca membuka kontak Samuel. Ia menatap nama itu lama, ingin sekali menghubunginya dan memberitahu segalanya. Namun, Luca akhirnya memutuskan untuk tidak mengirim pesan. Ia menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas dan berjalan pulang dengan langkah gontai.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Silent Lover [END]
RomanceKetika si bisu menjadi kekasih pria terpopuler disekolahnya