My Silent Lover : 09

7.6K 496 4
                                    

Samuel yang akan mengantar Luca pulang, namun sebelum itu, Samuel memutuskan untuk mengajak Luca singgah ke sebuah tempat makan yang cukup sepi. Tidak ada banyak orang di sana, hanya beberapa meja yang terisi, dan suasananya tenang. Mereka berdua duduk di sudut ruangan dan jauh dari keramaian. Samuel memesan makanan sederhana, dan Luca duduk diam, menatap menu tanpa benar-benar memikirkan apa yang akan dia pesan.

Ketika makanan tiba, Samuel mulai makan dengan tenang, namun sesekali melirik ke arah Luca yang tampak memegang sendok tanpa semangat.

Setelah beberapa suapan, Samuel meletakkan sendoknya. Dia menatap Luca serius, lalu berkata, "Aku ingin bertanya sesuatu."

Luca menatap Samuel, sedikit terkejut dengan nada suaranya yang tiba-tiba berubah serius.

"Apa yang sebenarnya terjadi antara kau sama bajingan itu?" tanya Samuel tanpa basa-basi. "Kenapa dia selalu menyusahimu? dan kau selalu terima aja diperlakukan kayak gitu"

Luca hanya tersenyum tipis. Dia meraih kertas dan menulis singkat, “Tidak ada apa-apa. Terima kasih sudah peduli.”

Samuel tidak puas dengan jawaban itu. Dia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar 'tidak ada apa-apa'. Dia bisa melihat dari cara Luca menahan napas setiap kali Felix disebutkan, atau bagaimana tubuhnya selalu tegang saat Felix ada di sekitar.

"Jangan bohong"

"Meskipun kau tersenyum bukan berarti kau bisa menipuku."..

"Dan ..... nggak perlu pura-pura bahwa semuanya baik-baik aja." Samuel menatap Luca dalam-dalam.

Mendengar kata-kata Samuel, hati Luca terasa seperti ditusuk. Mata Luca yang sebelumnya tampak tenang mulai berkaca-kaca. Dia mencoba menahan diri, mencoba menampilkan senyum yang lebar.

Senyum yang dipaksakan itu perlahan memudar, dan air mata yang selama ini dia tahan mulai mengalir. Bahunya bergetar, dan suara tangisannya nyaris tidak terdengar, hanya isakan pelan yang menandakan betapa dalam luka di hatinya. Meskipun dia tidak bisa bicara, tangisannya sudah menceritakan segalanya.

Meskipun Samuel sudah melihat banyak wanita yang menangis didepannya. Samuel masih terkejut, saat melihat Luca sesenggukkan, pasalnya baru kali ini ia melihat pria menangis didepannya.

Sebelumnya ia akan membiarkan wanita yang ia tolak atau ia putuskan begitu saja, tapi hari ini anehnya ia malah berusaha untuk menenangkan Luca meskipun dia tidak berbakat. "Menangislah" ujar Samuel dengan lembut, matanya masih tertuju pada Luca.

Luca menutupi wajahnya dengan tangan, air mata terus mengalir tanpa henti. Dia tidak pernah mengira ada seseorang yang akan memintanya untuk menangis. Sepanjang hidupnya, dia selalu disuruh untuk diam, untuk menerima semua yang terjadi padanya, untuk tidak pernah mengeluh. Tapi sekarang, Samuel mengatakan hal yang berbeda. Dia menyuruhnya menangis menunjukkan bahwa tidak apa-apa untuk merasa lemah.

Setelah beberapa menit, Luca akhirnya mulai tenang, meskipun air mata masih menetes perlahan. Samuel menyodorkan selembar tisu, dan Luca mengambilnya dengan tangan gemetar.

"Mau aku peluk?" tanya Samuel padanya

Dengan cepat Luca menggelengkan kepala menolak tawarannya. Samuel tersenyum tipis melihat penolakan Luca yang cepat. "Oke, nggak apa-apa," katanya lembut.

"Maaf," tulis Luca pelan di atas kertas yang sedikit basah oleh air mata. Tangannya gemetar saat menyerahkan kertas itu pada Samuel.

Dengan gerakan pelan, Luca meraih selembar tisu lagi, mengusap air mata di pipinya. Lalu, dia menuliskan sesuatu di kertas yang sama, tangannya masih sedikit gemetar. "Terima kasih" kali ini kalimat itu yang tertulis disana.

Samuel menatap tulisan di kertas itu, dan tersenyum kecil. “Baiklah karena kau sudah tenang, sekarang ayo kita pulang."

Luca hanya mengangguk pelan. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi ada rasa lega yang baru saja dia rasakan setelah tumpahnya air mata tadi. Samuel membantunya naik ke motor, lalu dengan perlahan, mereka mulai melaju menuju rumah Luca.

Sepanjang perjalanan, Luca merasakan angin malam yang sejuk menerpa wajahnya. Mata Luca mulai mengatup, tak mampu menahan kantuk yang tiba-tiba datang menyerang. Dalam hitungan menit, dia tertidur, bersandar lembut di punggung Samuel.

Samuel bisa merasakan Luca yang menempel di punggungnya. Dia menoleh sedikit ke belakang dan menyadari bahwa Luca sudah terlelap. Dia tersenyum samar, Samuel memperlambat laju motornya, memastikan bahwa perjalanan ini tidak terlalu kasar, agar Luca bisa tetap tidur nyenyak di punggungnya.

Ketika akhirnya mereka sampai di depan rumah Luca, Samuel berhenti, mematikan mesin, dan menoleh lagi. Luca masih tertidur, napasnya pelan dan teratur. Samuel dengan lembut menggoyang bahu Luca, mencoba membangunkannya. “Hey, kita sudah sampai,” bisiknya.

Luca perlahan membuka matanya, masih setengah sadar dan kebingungan. Dia segera turun dari motor, matanya masih berat, tapi dia memaksakan diri untuk tersenyum pada Samuel sebagai tanda terima kasih.

“Masuklah, istirahat yang banyak,” kata Samuel. “Besok jangan dipaksain kalau masih nggak enak badan.”

Luca mengangguk pelan, menuliskan pesan singkat, “Terima kasih, Sampai jumpa besok.”

Samuel hanya tersenyum tipis, menunggu hingga Luca masuk ke dalam rumah sebelum akhirnya dia kembali menaiki motornya dan melaju pulang.

Saat Luca memasuki rumah dengan langkah lelah, dia terhenti di depan pintu masuk kamarnya. Felix sudah menunggunya, bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya dingin, dan tatapan matanya yang tajam seolah menembus Luca. Tanpa bicara, Felix berjalan ke arahnya, membuat Luca bergidik ngeri.

"Darimana kau bisu sialan?” suara Felix terdengar datar, namun jelas menyimpan ancaman.

Luca menelan ludah, merasakan jantungnya mulai berdegup kencang. Dia tahu bahwa Felix pasti tidak suka melihatnya pulang bersama Samuel. Dengan gemetar, dia mengeluarkan kertas dan pulpen dari saku jaketnya, berusaha menulis penjelasan, tapi tangannya terlalu gemetar untuk menulis sesuatu yang jelas.

Felix melangkah lebih dekat, dan dengan kasar menarik kertas dari tangan Luca. “Aku nggak peduli sama omong kosongmu,” kata Felix tajam. “Kau pikir dengan nangis dan pura-pura sakit orang-orang akan simpati padamu? akan membelamu? jalang kecil ini sekarang benar-benar semakin hebat”

Luca mencoba mundur, tetapi Felix bergerak lebih cepat, menahannya di dinding dengan satu tangan mencengkeram bahunya kuat. “Denger ya, bisu sialan. Aku udah bilang, kau nggak boleh deket sama orang-orang itu,” Felix berbisik dengan nada penuh kemarahan.

Air mata menggenang di mata Luca, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Tubuhnya masih lemah, dan rasa takut membuatnya lumpuh. Felix menunduk lebih dekat, mencengkeram bahunya lebih kuat, membuat Luca menggigit bibirnya sendiri untuk menahan rasa sakit.

"Kali ini aku masih sabar,” desis Felix, “tapi jangan pernah coba-coba ngelawan aku lagi.” Setelah itu, dia melepaskan cengkeramannya dan mendorong Luca ke arah pintu kamarnya. "Masuk dan jangan keluar sampai aku bilang keluar," ucapnya dengan dingin sebelum berbalik meninggalkan Luca sendirian."

Luca hanya bisa berdiri terpaku, tubuhnya gemetar, air mata mengalir di pipinya tanpa bisa dihentikan. Dengan langkah lemas, dia masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu, mengunci dirinya lagi dari dunia luar.

My Silent Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang