Deuxième Partie! ໑ ₊

20 9 0
                                    

Pada malam yang sama, Mireya mengundang Leonis untuk bertemu di restoran mewah yang terletak di lantai tertinggi salah satu gedung pencakar langit di Paris. Ia tidak yakin apakah pria itu akan datang, tetapi ia tahu Leonis cukup pintar untuk memahami maksudnya.

Dan benar saja, ketika Mireya sedang menikmati anggur sambil menatap pemandangan kota Paris dari kaca jendela besar, Leonis tiba.

Ia memasuki ruangan dengan langkah tenang, mengenakan jas hitam yang sama elegannya seperti ketika mereka bertemu di gala. Pandangannya dingin seperti biasa, tetapi ada sedikit kebingungan di balik tatapan tajamnya, seolah-olah ia tidak terbiasa diundang oleh seorang wanita yang begitu terang-terangan.

Leonis duduk di depannya tanpa sepatah kata, hanya menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak.

“Aku hampir berpikir kau tidak akan datang,” Mireya memulai pembicaraan dengan nada ceria, namun ada ketegasan di balik senyumnya.

Leonis hanya menaikkan sebelah alis. “Biasanya, aku tidak menerima undangan dari orang-orang yang bahkan tidak kukenal dengan baik.”

“Benarkah?” Mireya tersenyum lebih lebar. “Lucu sekali, karena biasanya aku tidak perlu menunggu. Biasanya, orang lain yang mengejarku. Jadi, anggap ini kesempatan langka, Leonis.”

“Kesempatan langka?” Leonis menatapnya dengan mata yang dingin. “Kau tampak terlalu yakin, Nona Schultz. Apa sebenarnya yang kau inginkan?”

Mireya mendekatkan diri, menatap Leonis dengan tatapan penuh tekad. “Aku ingin mengenalmu lebih dekat, Leonis. Aku ingin tahu siapa dirimu sebenarnya. Kau tidak bisa terus bersembunyi di balik tatapan dingin itu.”

Leonis tertawa kecil, namun tawanya terdengar hambar. “Aku ragu kau akan menyukai apa yang kau temukan.”

“Beri aku kesempatan untuk menilai sendiri,” balas Mireya tanpa ragu.

Tatapan Leonis seolah memperingatkannya, tetapi Mireya tak bergeming. Ia semakin mendekatkan wajahnya, begitu dekat hingga bisa merasakan hembusan napas Leonis. Suasana di antara mereka memanas, namun pria itu tetap tak bereaksi.

Bagi Mireya, ini adalah perang dingin yang penuh daya tarik, dan ia tidak berniat menyerah begitu saja.

“Kau keras kepala, Nona Schultz,” Leonis berbisik dengan nada tegas, tetapi wajahnya masih tetap tanpa ekspresi.

“Dan kau dingin,” Mireya menyahut cepat. “Tetapi itu tidak akan membuatku mundur.”

Leonis akhirnya mengalihkan pandangannya. Ia tampak berpikir sejenak, kemudian berkata dengan nada tenang, “Aku harap kau tahu apa yang kau lakukan, Mireya. Dunia yang kujalani tidak cocok untuk seseorang seperti dirimu.”

“Bagaimana kalau kau berhenti memutuskan apa yang cocok atau tidak untukku?” Mireya menantangnya. “Biarkan aku melihat dunia itu.”

Leonis menggelengkan kepala sedikit, tetapi Mireya dapat menangkap sekilas senyuman tipis di wajahnya. Senyuman itu, meskipun singkat, memberi Mireya sedikit kemenangan.

“Baiklah, kalau begitu,” ujar Leonis, menyerah. “Tapi jangan katakan aku tidak pernah memperingatkanmu.”

...

Sejak percakapan intens mereka di restoran malam itu, Mireya menjadi lebih berani dan mulai mencari cara untuk selalu berada di sekitar Leonis.

Tanpa sepengetahuan Leonis, ia memanfaatkan koneksinya untuk mengetahui tempat-tempat yang sering didatangi oleh pria itu, dan dengan penuh percaya diri, ia mulai muncul di sana.

Malam itu, Mireya mendapati Leonis di sebuah bar tersembunyi di sudut kota, tempat yang hanya diketahui kalangan tertentu.

Bar ini bukan tempat biasa, melainkan ruang bawah tanah yang elegan namun misterius. Langit-langitnya rendah, dengan lampu temaram yang menciptakan suasana suram. Musik jazz yang mengalun lembut di sudut ruangan membuat tempat itu terasa eksklusif dan penuh rahasia.

Crimson SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang