Setelah pertemuannya dengan Amadeo, Mireya kembali ke ruang kerja dengan pikiran yang bercabang. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Amadeo, sesuatu yang lebih besar dari sekadar peringatan tentang Raven.
Namun, fokusnya harus kembali pada tanggung jawabnya sebagai pewaris keluarga Schultz.
Sore itu, Mireya menghadiri pertemuan penting dengan beberapa anggota keluarga aristokrat di Paris. Keanggunannya yang memukau dan kecerdasannya yang tajam membuat para tamu tak henti-hentinya memujinya.
Julukan “de amour” semakin melekat, menggambarkan pesona yang tak tertandingi dan kemampuan diplomasi yang membuatnya menjadi pusat perhatian.
Namun, dalam keheningan setelah acara selesai, Mireya kembali merasa sepi. Ia memikirkan liontin yang diberikan oleh Leonis dan apa yang telah dikatakan Amadeo. Apakah semua ini hanya permainan yang lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan?
Ketika malam tiba, Mireya kembali ke kamarnya. Angin dingin dari balkon mengibarkan tirai putih. Di atas meja, sebuah amplop bersegel hitam tergeletak. Mireya memungutnya dengan hati-hati, membuka segel itu dan membaca surat di dalamnya:
"Mireya,
Aku tahu kau ragu pada kehadiranku. Tapi ingat, di dalam gelap sekalipun, aku adalah penjagamu.
—Leonis"Hatinya berdebar. Mireya memandang keluar balkon, berharap menemukan Leonis berdiri di sana. Namun, yang ia temui hanyalah langit malam Paris yang penuh bintang.
Tidak jauh dari sana, di lorong panjang Château Schultz, langkah kaki terdengar mendekat. Mireya menoleh dengan cepat, dan dari kegelapan muncullah sosok Amadeo.
“Kau mengganggu malamku lagi, Amadeo?” Mireya menyindir dengan nada bercanda, meski matanya tetap siaga.
Amadeo berhenti, tersenyum. “Aku tidak pernah berniat mengganggu. Aku hanya ingin memastikan kau tidak terlalu percaya pada Leonis.”
Mireya memutar bola matanya. “Kenapa semua orang begitu terobsesi dengan Leonis? Dia tahu bagaimana melindungiku, tidak seperti kau atau Raven.”
Amadeo mendekat, matanya menatap lurus ke mata Mireya. “Leonis memiliki cara melindungi yang sering kali melibatkan kehancuran, Mireya. Jangan biarkan emosimu mengaburkan fakta.”
Mireya terdiam, merasakan ketegangan yang terus tumbuh di antara mereka. “Lalu menurutmu apa yang harus kulakukan?”
Amadeo tersenyum tipis, lalu menunduk sedikit seolah mengisyaratkan hormat. “Percayalah pada akal sehatmu, bukan hatimu.” Dengan itu, ia berbalik dan pergi, meninggalkan Mireya dengan pikirannya yang semakin kacau.
Di sudut lain malam itu, Leonis berdiri di atas atap sebuah bangunan tua di Paris. Matanya mengamati Château Schultz dari kejauhan. Hatinya bergolak—antara keinginan untuk tetap berada di sisi Mireya dan kewajibannya di dunia gelap yang tak mungkin ia tinggalkan.
"Jika kau benar-benar percaya padaku, Mireya," gumam Leonis pada dirinya sendiri, "jangan biarkan siapapun menjauhkan kita."
...
Keesokan harinya, Mireya terbangun lebih awal dari biasanya. Langit Paris masih memancarkan warna lembut fajar. Sebuah surat lain ditemukan di atas meja kecil di samping tempat tidurnya.
Kali ini, tanpa segel. Tulisan tangan yang rapi di atas kertas elegan langsung dikenali olehnya, itu adalah tulisan tangan Leonis.
"Mireya,
Aku mungkin jauh, tapi aku selalu di sisimu. Dunia ini tidak akan mudah bagimu, terutama dengan Raven dan Amadeo yang terus mengintai. Tapi ingat, aku akan selalu melindungimu, bahkan jika itu berarti aku harus melawan takdir. Jangan pernah ragu menggunakan liontin itu.
—Leonis"
KAMU SEDANG MEMBACA
Crimson Secrets
RomanceMireya menarik wajah Leonis mendekat dan menutup jarak antara mereka dengan mencium bibirnya. Ciuman itu, panas dan penuh keinginan, mengejutkan Leonis hingga ia terdiam. Setelah ciuman itu terlepas, Leonis mendekati Mireya, membelai pipinya dengan...