Setelah memastikan keadaan di luar flatnya tenang, Mireya menghela napas panjang. Suasana mulai terasa lebih aman, meski ketegangan masih menggantung di udara seperti asap tipis yang sulit hilang. Ia memutar tubuh, menatap Hestia yang duduk di sofa dengan wajah cemas.
“Hestia,” Mireya memulai, nada suaranya tegas namun tetap lembut, “Kau harus pergi dari sini. Sekarang.”
Hestia mendongak, tatapan matanya penuh penolakan. “Mireya, aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Kau tahu, mereka mengintaimu. Aku tidak bisa membiarkanmu menghadapi ini sendirian.”
Mireya tersenyum tipis, mencoba meredakan ketegangan yang jelas terlihat di wajah sahabatnya. “Aku tahu kau peduli, Hestia. Tapi keberadaanmu di sini hanya akan menarik lebih banyak perhatian. Jika ada yang melihatmu keluar dari flatku, mereka akan semakin curiga. Aku sudah cukup membuat mereka waspada. Jangan menambah risikonya.”
Hestia menggeleng keras. “Kau terlalu keras kepala, Mireya. Bagaimana jika mereka kembali? Bagaimana jika mereka menyerangmu malam ini?”
Mireya menatapnya dengan tatapan yang penuh keyakinan, seperti biasa. “Aku tahu cara menjaga diriku sendiri. Percayalah padaku. Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Jika kau tetap di sini, itu hanya akan membuat kita berdua dalam bahaya. Kau juga tahu apa yang akan terjadi jika Ordo Noire tahu kau mulai mendukungku.”
Hestia menggigit bibirnya, jelas sekali hatinya masih menolak keputusan itu. “Tapi—”
Mireya memotongnya, langkahnya mendekati Hestia dengan penuh otoritas. “Hestia, dengarkan aku. Jika kau benar-benar ingin membantuku, maka pergilah. Berjalan santai seperti tidak ada yang terjadi. Pulanglah sebelum fajar dan bersikaplah seperti biasa. Itu yang akan membuat mereka berhenti curiga.”
Akhirnya, Hestia mengangguk dengan berat hati. Ia berdiri dan mengambil tas kecilnya, masih terlihat ragu. “Kalau begitu, kau harus berjanji padaku. Jika kau butuh sesuatu, kau akan menghubungiku, apa pun itu.”
Mireya mengangguk, senyumnya tetap terjaga meski dalam hati ia tahu ia tak akan melakukan itu. “Tentu. Aku janji.”
Hestia memeluk Mireya erat sebelum melangkah ke pintu flat. Sebelum membuka pintu, ia berbalik sekali lagi, memastikan sahabatnya benar-benar akan baik-baik saja. Mireya hanya tersenyum, memberi isyarat dengan tangannya agar Hestia segera pergi.
Setelah pintu tertutup di belakang Hestia, keheningan kembali menguasai flat kecil itu. Mireya mendekati jendela, mengintip dari balik tirai untuk memastikan Hestia berhasil meninggalkan area itu tanpa hambatan. Ia melihat sahabatnya berjalan dengan langkah santai, sesuai instruksi.
Namun, Mireya tidak lengah. Ia memperhatikan setiap bayangan di jalan, mencari tanda-tanda pergerakan. Ketika Hestia menghilang di sudut jalan, Mireya menghela napas panjang.
Ia berbalik, memandang flat kecilnya yang sekarang terasa lebih sunyi dari biasanya. Pikiran-pikiran mulai memenuhi benaknya, terutama soal mata-mata Ordo Noire yang semakin intens mengawasinya.
Mireya mengambil sebuah peta London yang dilipat rapi dari laci mejanya. Ia membuka peta itu di meja kecil di ruang tamu, lalu mulai menandai tempat-tempat yang dianggapnya penting.
Flat ini hanya satu bagian dari permainan besar yang sedang ia jalankan.
“Jika mereka tahu aku di sini, maka aku harus bergerak lebih cepat,” gumamnya pada diri sendiri. Mireya sadar ia tidak bisa terus bersembunyi. Ia harus melangkah lebih dulu sebelum Ordo Noire memojokkannya.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya, kali ini dari Thierry:
"Orang yang mengawasimu tadi kami temukan. Mereka belum tahu terlalu banyak, tapi kau harus berhati-hati. Jika ada sesuatu, beri tahu aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crimson Secrets
RomansaMireya menarik wajah Leonis mendekat dan menutup jarak antara mereka dengan mencium bibirnya. Ciuman itu, panas dan penuh keinginan, mengejutkan Leonis hingga ia terdiam. Setelah ciuman itu terlepas, Leonis mendekati Mireya, membelai pipinya dengan...