Mireya terdiam memandangi Leonis yang kini duduk di sudut ruangan gudang. Cahaya lilin menerangi sebagian wajahnya, menampilkan raut yang dulu begitu familiar, namun sekarang terasa asing.
Ada ketenangan yang berbeda pada Leonis, sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Beberapa bulan lalu, kenangan itu masih terasa jelas di benaknya. Mireya yang waktu itu dipenuhi obsesi dan rasa ingin memiliki, mendekati Leonis dengan agresif. Ia tidak peduli pada batas atau rasa malu; ia hanya tahu bahwa ia menginginkan pria itu—dengan cara apa pun.
Malam itu, di tengah ketegangan yang memuncak, Mireya bertindak impulsif. Tanpa berpikir panjang, ia mencium Leonis, berharap bisa mengguncang dinding tebal yang pria itu bangun di sekitarnya.
Tapi yang ia dapatkan hanyalah penolakan. Leonis menatapnya dengan dingin, matanya penuh ketegasan.
Sejak malam itu, Leonis menghilang tanpa jejak.
Namun kini, pria yang duduk di hadapannya terasa berbeda. Mireya tidak bisa memastikan apakah itu hanya perasaannya atau memang Leonis telah berubah. Wajahnya terlihat lebih lembut, meski matanya masih menyimpan ketegasan yang sama.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Leonis tiba-tiba, memecah keheningan.
Mireya terkejut, tapi ia berusaha menutupi keterkejutannya dengan mengangkat bahu. “Hanya mencoba memahami kenapa kau ada di sini sekarang. Setelah semua yang terjadi.”
Leonis mengangguk pelan, tatapannya tertuju ke arah lantai. “Aku tahu aku meninggalkanmu di saat terburuk, Mireya. Tapi itu bukan karena aku ingin. Aku harus pergi untuk memastikan kau tetap aman.”
“Aman dari siapa? Dari dirimu sendiri?” Mireya mendengus sinis. Ia merasa sakit hati yang lama kembali menyeruak, meski ia mencoba mengendalikannya.
Leonis mendongak, matanya menatap langsung ke dalam mata Mireya. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda—bukan hanya ketegasan, tapi juga kejujuran yang menyakitkan.
“Aku pergi karena aku tidak ingin menghancurkanmu lebih jauh,” ujar Leonis dengan suara yang rendah namun penuh emosi. “Malam itu... ketika kau menciumku, aku sadar sesuatu. Aku bukan orang yang bisa kau percayai, Mireya. Tidak saat itu.”
Mireya mengernyit, mencoba mencerna kata-katanya. “Dan sekarang? Apa yang berbeda sekarang?”
Leonis terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Sekarang, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tahu bahwa aku tidak bisa terus menghindar darimu atau dari kenyataan. Aku di sini karena aku ingin memperbaiki segalanya. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk diriku sendiri.”
Mireya tidak tahu harus merespons bagaimana. Di satu sisi, ia ingin percaya pada Leonis. Tapi di sisi lain, ia takut bahwa ini hanya akan menjadi lingkaran kekecewaan yang lain.
“Kau tidak bisa begitu saja datang dan mengharapkan aku untuk percaya padamu lagi,” ujar Mireya akhirnya, suaranya terdengar lebih lemah dari yang ia harapkan.
“Aku tidak mengharapkan itu,” jawab Leonis pelan. “Tapi aku akan membuktikan bahwa aku pantas mendapatkan kepercayaanmu kembali.”
Leonis, dengan segala misterinya, telah kembali. Tapi pertanyaannya adalah, apakah ia siap untuk membiarkan pria itu masuk lagi ke dalam hidupnya? Atau apakah ini akan menjadi luka lain yang harus ia tanggung?
Ruangan itu hening. Mireya duduk dengan tubuh gemetar, mencoba menyusun kekuatan untuk menghadapi pria yang kini berdiri di depannya. Leonis tetap diam, membiarkan Mireya menemukan kata-katanya.
“Kau tahu apa yang telah terjadi setelah kau pergi?” Mireya akhirnya memecah keheningan, suaranya bergetar di antara amarah dan kepedihan. “Kau meninggalkan aku, Leonis. Kau membuka jalan bagi Amadeo van Heyst untuk masuk ke hidupku—dan menghancurkannya!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Crimson Secrets
Roman d'amourMireya menarik wajah Leonis mendekat dan menutup jarak antara mereka dengan mencium bibirnya. Ciuman itu, panas dan penuh keinginan, mengejutkan Leonis hingga ia terdiam. Setelah ciuman itu terlepas, Leonis mendekati Mireya, membelai pipinya dengan...