Ketika malam semakin larut, kerumunan tamu mulai menipis. Mireya memanfaatkan waktu untuk bergerak lebih leluasa. Ia tahu bahwa pembicaraan sebenarnya tidak terjadi di ruang utama pesta, melainkan di tempat yang lebih tersembunyi.
Mireya melangkah menuju balkon besar yang menghadap ke taman, tempat di mana dia melihat beberapa tamu penting sebelumnya.
Amadeo, yang seolah selalu memperhatikan langkahnya, mendekat lagi dengan langkah tenang. “Kamu tampak terlalu sibuk dengan pikiran sendiri, Mireya. Ada sesuatu yang mengganggu?”
Mireya memutar bola matanya. “Tidak semua orang punya waktu untuk bersantai, Amadeo. Beberapa dari kita harus bekerja keras untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.”
Amadeo terkekeh pelan. “Aku harus mengakui, kamu selalu penuh kejutan. Tapi berhati-hatilah. Di pesta seperti ini, orang-orang akan memanfaatkan setiap langkah yang salah.”
Mireya memandangnya tajam. “Itu bukan sesuatu yang perlu kamu ingatkan padaku. Aku tahu betul apa yang aku hadapi.”
Dia meninggalkan Amadeo dan berjalan lebih jauh ke arah lorong, mengikuti suara langkah kaki yang hampir tidak terdengar. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang penting sedang dibicarakan di ruangan kecil dekat perpustakaan.
Dengan hati-hati, dia menempelkan tubuhnya ke dinding, mendekati pintu yang sedikit terbuka.
Di dalam ruangan itu, Kazuo sedang berbicara dengan seseorang—suara itu milik Sebastian de Kaelrith. Mireya menahan napas, mendengarkan dengan saksama.
“Kamu harus segera menyelesaikan kesepakatan dengan keluarga Schultz. Mereka adalah satu-satunya yang bisa memastikan Ordo Noire tetap dalam kendali kita,” suara Sebastian terdengar tegas, namun penuh perhitungan.
Kazuo menjawab dengan nada rendah tetapi tegas, “Aku tahu itu. Tapi masalahnya, ada terlalu banyak variabel. Amadeo masih terlalu lunak terhadap Mireya. Jika dia terus seperti ini, kita akan kehilangan kendali atas apa yang seharusnya menjadi langkah kita berikutnya.”
Mireya mencatat semuanya di pikirannya. Jadi Kazuo menganggap Amadeo sebagai kelemahan? Itu bisa menjadi informasi yang sangat berguna.
Namun, langkah kecil yang tak disengaja membuat lantai kayu di bawah kakinya berderit. Kazuo berhenti berbicara. Mireya tahu dia telah ketahuan.
Tanpa berpikir panjang, Mireya mendorong pintu dan melangkah masuk dengan percaya diri.
“Maaf jika aku mengganggu,” katanya dengan nada tenang namun tajam. “Tapi aku rasa, jika kalian berbicara tentang masa depan keluarga kita, aku memiliki hak untuk tahu.”
Kazuo menatapnya dengan tajam, tetapi wajahnya dengan cepat berubah menjadi senyuman dingin. “Mireya, kau seharusnya tahu bahwa beberapa hal lebih baik dibiarkan di tangan orang yang lebih berpengalaman.”
Mireya mendekat dengan langkah mantap. “Dan aku seharusnya tahu bahwa keahlian seseorang tidak hanya diukur dari pengalaman, tetapi dari kemampuannya untuk membaca situasi dengan cepat dan tepat. Jangan khawatir, aku bukan ancaman bagi rencana kalian. Aku hanya ingin memastikan posisiku di dalam ini.”
Sebastian tersenyum miring. “Kau sangat mirip dengan ibumu, Mireya. Cerdas, tetapi terlalu ambisius.”
Mireya tidak terpengaruh oleh sindiran itu. Dia malah mendekati meja, meraih gelas anggur, dan menatap keduanya. “Ambisi adalah senjata. Sama seperti rahasia yang kalian simpan. Jangan lupa bahwa di permainan ini, satu langkah kecil bisa mengubah seluruh papan.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Crimson Secrets
RomansaMireya menarik wajah Leonis mendekat dan menutup jarak antara mereka dengan mencium bibirnya. Ciuman itu, panas dan penuh keinginan, mengejutkan Leonis hingga ia terdiam. Setelah ciuman itu terlepas, Leonis mendekati Mireya, membelai pipinya dengan...