Di antara suatu malam, ketika mereka berdua terjebak dalam percakapan yang semakin dalam, Mireya akhirnya menantang Leonis secara langsung. “Kau tahu, Leonis, aku tidak akan pergi begitu saja,” ujarnya dengan tatapan penuh keyakinan.
Leonis menatapnya dalam-dalam, ekspresinya tetap datar, tetapi sorot matanya mengatakan sesuatu yang berbeda. “Mireya… kau tidak tahu dunia apa yang sedang kau masuki.”
“Kalau begitu, tunjukkan padaku,” jawab Mireya berani, menantang pria itu untuk membuka lebih banyak tentang dirinya.
Leonis terdiam, menatap Mireya dengan pandangan yang sulit ditebak, seolah ada perasaan yang terpendam dalam dirinya. Mireya tahu bahwa ini adalah langkah berbahaya, tetapi ia tidak peduli.
Obsesi itu sudah tertanam dalam-dalam di hatinya. Dalam permainan ini, ia tidak hanya ingin menang, tetapi ia ingin Leonis menyerah dan membuka diri sepenuhnya untuknya, tak peduli seberapa besar risikonya.
Sejak malam itu, interaksi mereka semakin sering diwarnai dengan permainan emosional yang intens. Leonis mulai melibatkan Mireya dalam kehidupannya, bahkan mengajaknya bertemu dengan beberapa rekannya dalam pertemuan-pertemuan rahasia.
Meskipun Leonis tetap terlihat dingin dan terkendali, ada saat-saat ketika Mireya bisa merasakan betapa kehadirannya membuat Leonis berusaha menahan diri, mencoba menghindari apa yang perlahan-lahan mulai terbentuk di antara mereka.
Di balik dinding yang dibangun Leonis, Mireya mulai menemukan kelembutan tersembunyi, sebuah kerinduan yang tidak diakui. Namun, bagi Leonis, setiap perasaan yang muncul justru membuatnya semakin waspada.
Ia tahu bahwa dirinya sedang terjebak dalam permainan yang berbahaya, permainan yang bisa merusak semua yang telah ia bangun.
Mireya, di sisi lain, semakin yakin bahwa suatu saat nanti, ia akan berhasil menaklukkan pria ini. Keinginan untuk memiliki Leonis sepenuhnya berubah menjadi obsesi yang semakin membara, dan ia bersumpah tidak akan berhenti sampai Leonis sepenuhnya berada di sisinya.
...
Suatu sore hari yang dingin di Château Schultz, kastil keluarga yang terletak di atas perbukitan, Mireya berjalan menyusuri koridor panjang yang dihiasi dengan lukisan-lukisan leluhurnya. Langit mendung di luar menambah kesan megah dan misterius di dalam kastil, yang selalu berhasil membuatnya merasa terjebak di dalam tradisi keluarga.
Meskipun hidupnya penuh dengan kemewahan dan segala fasilitas, ada banyak aturan yang sering membuatnya merasa terkekang.
Ibunya, Lomira Schultz, adalah sosok wanita aristokrat yang keras, penuhkendali namun penuh kasih sayangi. Lomira sangat mengutamakan kehormatan keluarga, terutama dalam memilih pasangan hidup untuk Mireya.
Baginya, Mireya adalah lambang masa depan keluarga Schultz, dan ia ingin putrinya menikah dengan pria yang setara secara status dan kekayaan. Bagi Lomira, pernikahan Mireya bukan hanya soal cinta, tetapi soal tanggung jawab dan kesinambungan warisan keluarga.
Saat sedang asyik menikmati pemandangan dari balkon kamarnya, Mireya mendengar langkah kaki ibunya yang anggun namun penuh wibawa menghampiri. Lomira masuk, mengenakan gaun formal berwarna biru tua, dengan cincin berlian besar yang mencerminkan statusnya sebagai pewaris keluarga Schultz.
“Mireya, aku sudah bilang padamu, jangan sembarangan dalam memilih pria,” ucap Lomira langsung, suaranya tegas namun sarat kasih sayang. "Kita ini keluarga Schultz. Kita tidak bisa begitu saja terlibat dengan orang sembarangan dan tidak sepadan."
Mireya mendesah, mencoba menahan rasa frustasinya. “Ibu, aku bukan lagi anak kecil. Aku tahu apa yang aku inginkan,” jawabnya berani, menatap ibunya dengan mata yang penuh ketegasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crimson Secrets
RomanceMireya menarik wajah Leonis mendekat dan menutup jarak antara mereka dengan mencium bibirnya. Ciuman itu, panas dan penuh keinginan, mengejutkan Leonis hingga ia terdiam. Setelah ciuman itu terlepas, Leonis mendekati Mireya, membelai pipinya dengan...