Mireya menghela napas panjang saat meninggalkan rumahnya yang megah, hatinya terbelah antara rasa tanggung jawab terhadap keluarganya dan hasrat yang menguasai setiap serat dirinya untuk Leonis.
Ibunya, Lomira Schultz, terus mendesaknya untuk menerima perjodohan dengan seorang pria sempurna dalam pandangan dunia aristokrat.
Namun di dalam hati, Mireya tahu bahwa hanya Leonis yang bisa membuatnya merasa hidup. Sekalipun Pria yang jodohkan padanya itu tampan dan berpendidikan tinggi, namun ia hanya seperti bayangan kosong dibandingkan dengan Leonis yang penuh misteri.
Malam itu, Mireya tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tak bisa lagi berdiam diri, menyerah pada takdir yang disusun oleh keluarganya.
Ia harus berbicara dengan Leonis, meskipun ia tahu itu bukan hal yang mudah, terutama mengingat sifat Leonis yang begitu dingin dan penuh teka-teki.
Dengan langkah mantap, Mireya pergi menuju taman yang mereka berdua tahu di Paris, sebuah tempat yang terpencil dan jauh dari perhatian publik. Saat ia tiba, Leonis sudah ada di sana, berdiri dengan postur tegap dan mata tajam yang seolah bisa menembus jiwa.
Meskipun kehadirannya selalu terasa menegangkan, Mireya merasakan sesuatu yang kuat dan tak terhindarkan di antara mereka.
"Mireya," suara Leonis datar, tanpa ekspresi. "Apa yang kau inginkan kali ini?"
Mireya menatapnya dalam-dalam, matanya penuh dengan tekad yang sudah ia pupuk selama berhari-hari. "Aku ingin kau menikah denganku. Bisakah, Leonis?" ucapnya dengan suara yang lebih kuat dari yang ia harapkan.
Leonis terdiam sejenak, pandangannya tetap tajam, seolah menganalisis setiap kata yang baru saja keluar dari bibir Mireya. Ia tahu bahwa permintaan itu tidaklah sepele.
Pernikahan bukanlah keputusan yang bisa diambil begitu saja, terutama dalam dunia mereka yang penuh aturan dan tradisi. Untuk Leonis, kehidupan bukanlah sesuatu yang bisa dibentuk hanya karena perasaan atau obsesi seseorang.
"Pernikahan bukan hal yang bisa dianggap ringan, Mireya," kata Leonis akhirnya, suaranya tetap rendah, tetapi mengandung ketegasan yang sulit disangkal. "Ini bukan sekadar soal cinta atau keinginan. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Kehormatan, status, keluarga-semuanya akan terlibat dalam keputusan ini."
Mireya menggigit bibirnya, merasakan beratnya kata-kata Leonis yang menembus relung hatinya. Ia tahu bahwa pernikahan mereka, jika itu terjadi, akan membawa konsekuensi besar.
Tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa lagi terjebak dalam peran yang ditentukan oleh Ibunya, tidak bisa lagi hidup dalam bayang-bayang harapan yang bukan miliknya.
"Aku tahu, Leonis," jawab Mireya, suaranya mulai bergetar. "Tapi aku tak bisa menikah dengan Pria itu. Aku tak bisa hidup dengan seseorang yang tidak kukenal, yang bukan pilihan hatiku. Aku tidak ingin hid up dalam bayang-bayang keluarga dan tradisi. Aku ingin memilih hidupku sendiri. Aku ingin kau menjadi bagian dari itu."
Leonis memandang Mireya dengan tatapan yang sulit dibaca, wajahnya tetap dingin dan penuh misteri. Ia tahu bahwa Mireya bukanlah wanita yang mudah dibujuk. Ia bisa merasakan hasrat dan keteguhan dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya, tetapi ia juga tahu bahwa hidupnya tak bisa dijalani dengan emosi semata.
"Apa yang kau katakan bukan keputusan yang bisa aku buat begitu saja, Mireya," ujar Leonis, langkahnya mendekat perlahan. "Kau harus mengerti, keputusan seperti ini melibatkan lebih dari sekadar perasaan. Ada banyak pihak yang terlibat, dan kita tidak hidup dalam dunia yang bisa kita atur sesuka hati."
Mireya merasa jantungnya berdegup lebih kencang, namun ia tetap bertahan. "Aku mengerti, Leonis. Aku tahu ini bukan keputusan mudah, tetapi jika kau benar-benar peduli padaku, kau harus menunjukkan itu. Aku tidak bisa lagi hidup dalam dunia yang dibuatkan untukku. Aku siap menghadapi semua konsekuensinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crimson Secrets
RomantikMireya menarik wajah Leonis mendekat dan menutup jarak antara mereka dengan mencium bibirnya. Ciuman itu, panas dan penuh keinginan, mengejutkan Leonis hingga ia terdiam. Setelah ciuman itu terlepas, Leonis mendekati Mireya, membelai pipinya dengan...