24 || Bersatu Kembali

104 10 3
                                    

Mentari pagi muncul kembali. Meski dengan kelembapan udara akibat hujan yang mengguyur malam tadi. Tapi, sinarnya yang begitu terang itu tak ayal mengganggu kelelapan dua insan yang sebelumnya berada di alam mimpi.

Raj diam ketika matanya mulai terbuka. Sesuatu yang akhirnya ia sadari adalah kedekatan mereka. Masih saling merengkuh menciptakan kehangatan yang tak pernah berakhir. Pergerakannya ternyata membuat Meera membuka mata. Menjauhkan wajahnya, dan menatap Raj yang tak menatapnya. "Selamat pagi," ujarnya. Sedetik kemudian, senyuman itu tergantikan dengan kesedihan ketika Raj menepisnya, dan bangun untuk menjauhkan tubuhnya.

"Sebaiknya kau pulang," katanya, membuat Meera menggeleng tegas. Matanya yang merah menyiratkan jika dia menolak permintaan Raj.

"Aku, aku tidak,-

"Meera." Panggilan tanpa bantahan itu menusuk hatinya. Tapi, itu membuat Meera semakin kuat dengan gelengan kepala.

Raj menghela nafas, kemudian meremat dadanya ketika merasakan nyeri yang datang. Meera bangkit, alisnya saling bertaut meletakkan kedua tangannya di depan dada suaminya. "Ada apa? Kau baik-baik saja? Tunggu, aku akan memanggil suster." Ingin bangkit, namun tangannya dicekal dengan kuat. Meera menatap tangannya, kemudian menatap Raj yang memerah matanya.

"Tidak usah."

Meera menunduk takut. Tatapan ini menusuk hatinya. Padahal, semalam ia melihat tatapan Raj yang kembali seperti dulu, yang begitu ia rindukan. "Raj," panggilnya.

"Bi-bisakah kau mendengar penjelasanku?"

"Penjelasan seperti apa?!" Penolakan dengan suara keras itu membuatnya terkejut. Jemarinya menekuk, mencengkram bajunya.

Ketakutannya itu terlihat bagi Raj yang menatapnya. Tangan gemetar, saling mencengkram hingga air mata yang dengan kepala tertunduk itu jatuh ke bajunya. Raj menghela nafas berusaha meredam emosi yang menguasai. Meera takut padanya. Emosinya tak terkendalikan hingga dia seperti monster yang begitu menakutkan. "Jelaskanlah."

Meera mengangkat kepala dengan cepat bersamaan dengan air matanya yang turun. Menatap tak percaya, Raj yang tatapannya sudah melunak. Jari-jari miliknya tak lagi tercengkram, dan berusaha rileks untuk memulai menjelaskan.

"Ketika di negara itu, ketika kau menjalani pengobatan, dan keadaanmu memburuk, dan pada saat itu aku mengingat tawaran Bibi, tawarannya ketika dia ada di rumah kita dan menyebabkan kekacauan waktu itu. Aku meneleponnya, dan, dan dia kembali menawarkan hal itu kepadaku. Bibi menawarkan bahwa kau akan mendapatkan donor jantung saat itu juga jika, jika aku mau menurutinya, untuk.." Meera menarik napasnya yang tercekat. Kembali mengingat peristiwa itu, yang membawanya pada keadaan kehilangan hidupnya menjadi suram.

"Untuk menjalin hubungan dengan Aamiir."

"Omong kosong apa yang kau katakan, Meera?" Meera menatap dengan gelengan kepala. Isakannya keluar bersamaan.

"Dengarkan aku dahulu," ujarnya dengan nada, dan wajah penuh permohonan.

Raj memejamkan matanya sebentar, "Silahkan."

"Aku menyetujuinya. Karna, kupikir, ini jalan satu-satunya. Kita, kita sudah mencoba untuk mendapatkan donor itu, kan, Raj? Tapi itu tidak membuahkan hasil karna antrian yang begitu banyak."

"Dan melihat kondisimu pada waktu itu, aku sangat takut, untuk kehilanganmu. Aku tidak bisa, aku tidak bisa melihatmu seperti itu.." Meera terisak. Tak sanggup mengulang masa lalu itu. Keputusan buruk yang ia buat yang ternyata menjebak. Namun, ketika mendengar hentakkan penuh emosi dari Raj, Meera kembali mendongak, menghampus air matanya.

Raj di sana mencoba mengubur emosinya. Mendengar itu membuatnya naik pitam. Keputusan bodoh itu membuat Meera meninggalkannya. "Kau pikir dari mana mereka mendapatkan donor itu, Meera? Dan kau pikir aku akan menerima jantung itu ketika tau kalau cara mendapatkannya adalah cara yang kotor? Kita bukan orang jahat, Meera. Kau begitu gegabah! Menyetujui itu tanpa berfikir lebih lanjut apa dampaknya."

About TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang