Empat hari sudah berlalu. Meninggalkan luka yang terus tercipta di hatinya, merasa bahwa setiap bulir waktu terus berjalan dengan kemungkinan-kemungkinan akan kehilangan cinta yang berada di jurang kematian di depannya.
Meera telah kembali menjalani hidupnya setelah keluar dari neraka tak kasat mata. Penuh tekad, ia kabur dari orang-orang yang terus menjadikan dirinya boneka, dan kembali pada Raj-nya meski keadaan seperti jauh lebih buruk dari sebelumnya.
Tiga jam yang lalu, Raj membuka matanya setelah mengalami mimpi yang panjang memilih apakah dia ingin menyerah atau kembali pada dunianya. Ketika itu Meera merasakan bagaimana jantungnya berdegup kencang, dan dirinya berlari cepat ketika mendengar kabar Raj berhasil sadar dari tidurnya. Dan kini, kabar baiknya adalah pria itu sudah dipindahkan dari ruangan mengerikan menuju ruang rawat seperti sebelumnya.
Tapi, Meera dipukul kenyataan bahwa Raj belum mau menerimanya, tak goyah untuk tetap memusuhinya meski beberapa hari yang lalu, Raj sempat berada dipelukannya. Raj marah, dia tak tersentuh dengan Meera yang mencoba memohon dengan wajah tangisnya.
Tapi setidaknya, Meera bersyukur karna dia tetap dibiarkan berada di samping Raj meski pria itu tidak mau berbicara, atau sekedar menatapnya. Raj bak raga tanpa jiwa dengan tatapannya yang kosong tak ada harapan apapun di dalamnya.
"Apakah ingin mengganti bajumu sekarang? Dokter Salman bilang kau sudah boleh meningkatkan mobilitas dengan bergerak sedikit-sedikit. Aku bantu untuk mengganti bajumu, ya? Sepertinya kau sudah tidak nyaman karna dingin, kan?" Meera menghela nafas karna tak ada jawaban. Raj sama sekali tidak bisa diajak berkomunikasi padanya. Entah karna memang kesadarannya baru kembali, atau karna marah padanya.
Tapi, Raj tak menolak ketika dirinya mencoba membangunkan tubuh Raj untuk bersandar di ranjang beralaskan bantal yang diberdirikan.
Dengan tangannya, Meera mulai mengganti pakaian lama yang dikenakan Raj, dengan baju yang ia bawa dari rumah. Memasukkan cairan infus ke lengan bajunya, hingga perlahan memasukkan lengannya, dan memajukan sedikit punggung Raj hingga baju itu terpasang sempurna. "Apakah seperti ini nyaman?" Meera tersenyum ketika mendapat anggukan meski wajah itu tak ada senyum yang merekah, hanya menunjukkan wajah yang masih marah.
"Hey, Raj, akhirnya!" Meera sedikit terkejut dengan suara-suara yang begitu bersemangat itu masuk ke dalam ruang rawat kemudian digantikan dengan senyuman ketika melihat yang datang adalah keempat temannya. Hingga dia beranjak untuk menaruh beberapa bingkisan yang teman-temannya itu bawakan. Membiarkan mereka berinteraksi pada Raj yang mulai menunjukkan senyum manisnya.
"Empat hari kau tahu?! Kami benar-benar berada dalam situasi menakutkan empat hari kemarin. Raj, Raj, kumohon jangan seperti itu lagi! Kau membuat kami gila!" kata Karan dengan senyuman yang tak terlepas darinya. Dia bersyukur melihat Raj kembali membuka mata, melihat Raj merespons perkataannya dengan senyuman.
"Benar. Empat hari yang lalu itu buruk sekali melihatmu dengan peralatan mengerikan itu."
"Kembalilah pulih, Raj! Lalu aku akan mengajakmu ke cafe itu lagi." Saif mengatupkan bibirnya ketika mendapat tatapan tajam dari Meera.
"Ohh, jadi kau yang mengajak dia untuk tidak hidup sehat, Saif?! Astaga, aku tidak menyangka. Saif, kau tau tidak ji,-"
"Maaf, maaf... Aku tidak bermaksud. Hentikan Meera..." Saif terus mengeluarkan pekikan kesakitan ketika mendapatkan jeweran di telinganya yang membuat mereka semua tertawa.
Meera melepasnya ketika dia melirik sekilas Raj yang tersenyum. Hatinya menghangat melihatnya. Senyuman yang ia rindukan!
"Marahi saja. Aku sudah berkali-kali menegurnya. Semua pria memang memiliki kepala batu, bukan?! Menyebalkan."
"Hey, aku tidak, ya!" Karan membela dirinya hingga ketika dia mendapatkan tatapan menusuk dari Priya, dia mengatupkan bibirnya. Mereka kembali tertawa setelahnya.
"Ngomong-ngomong. Kalian sudah..." Meera menghela nafas mendengar yang diucapkan Kareena. Matanya menunduk, kedua tangannya juga saling bertaut.
"Aku ingin istirahat." Mereka saling pandang mendengar Raj yang mengeluarkan suara. Hingga membuat Meera kembali pada kesadarannya, mendekati ranjang melihat Raj yang ingin berbaring.
"Biar aku,-
"Tidak usah." Meera tidak melanjutkan bicaranya setelah mendapat penolakan itu. Air matanya mendesak ingin keluar tapi Meera merasa dia harus menahannya. Hingga dirinya tersenyum mendapatkan usapan Kareena di bahunya.
Ia tetap bertekad untuk mengembalikan Raj padanya.
"By the way, kalian sudah makan?" Pertanyaan itu membuyarkan mereka ketika Priya mengeluarkan sesuatu dari dalam goodie bag yang dia bawa dari rumah.
"Samosa!"
"Kelihatannya enak. Terima kasih, sayang," kata Karan mencicipi makanan itu.
Meera menatap dengan senyum kecilnya, mereka yang me-makan makanan itu dengan saling bercengkrama. Kemudian pandangannya teralihkan pada Raj yang menutup matanya. Meera menghela nafas. Ia akan mendekati Raj lagi agar luluh dari amarah. Tapi, sejujurnya melihat Raj yang masih mau menerimanya saja sudah membuatnya senang. Meera sadar kesalahannya tak termaafkan.
•••••
Mereka kini tinggal berdua ketika hari sudah malam. Malam dengan hujan yang turun begitu deras, malam dengan suara petir yang sesekali terdengar membuat yang di sana menutupi ketakutannya dengan tangan. Raj kesal tiap kali bumi memasuki musim seperti ini. Ia tak akan tidur lelap tiap kali mendengar suara yang terus mengelilingi telinganya.
Raj menutup telinganya ketika baru saja mendengar suara itu. Tangannya gemetar, tapi, sebuah tangan menyelimutinya, menggenggam erat hingga sedikit demi sedikit tangannya berhenti dengan getarannya. Raj tak bohong jika ia kembali mendapat ketenangan setelah lama ia menahan ketakutan hujan ini sendirian. Sejak mereka menjalin hubungan, tangan Meera yang menjadi perantaranya, namun ia kehilangan itu beberapa bulan sebelumnya. Pikirannya ingin menolak, dan menepis tangan itu, tapi hatinya membutuhkan. Perlahan, secara tak sadar dia mencengkram balik jemari Meera, dan mereka saling bertautan.
"Aku di sini." Raj mengangguk kecil. Seolah-olah kemarahannya hilang dalam sekejap ketika dia membutuhkan penyemangat.
"Bolehkah.." Raj menggantungkan ucapannya karna ragu, menatap Meera yang menatap menunggu apa yang dikatakan suaminya.
"Aku memelukmu?" Raj menghela nafas ketika dirinya merasakan pelukan itu. Pelukan penuh ketakutan, dan kerinduan. Ia tidak bisa menahan ini, menahan ikatan antara dirinya dan Meera. Mereka selalu saling menguatkan ketika ada disituasi seperti ini, maka, ketika melewatinya lagi Raj tak bisa menahan diri untuk diam saja. Ia butuh rengkuhan hangat Meera.
Sementara, Meera dalam pelukan itu mengeluarkan air matanya, menahan isakan yang beberapa kali lolos dari bibirnya. Ia lega sekali dalam posisi seperti ini. Meera yakin, setelah ini mereka akan kembali, mereka akan bersatu lagi.
"Maaf, maafkan aku."
"Diam saja," kata Raj. Dia tidak ingin membahas itu. Yang ia butuhkan adalah kehangatan, bukan luka yang sebelumnya ia rasakan. Raj belum memiliki tenaga untuk kembali membahas hari-hari buruk di mana dia kehilangan dunianya yang sempurna.
Meera diam, mengeratkan tangannya di punggung suaminya, menyembunyikan wajahnya di dada hangat Raj yang begitu membuatnya merasakan ketenangan kembali di antara jarak yang sebelumnya mereka bagi. Di lain sisi ia merasa nyaman, di sisi yang lain ia begitu merasa bersalah dengan semua ini. Rasa itu bercampur menjadi satu, hingga dia semakin mengeratkan tangannya takut akan terpisah lagi.
Hujan di malam itu berakhir dengan mereka yang terlelap melalui rengkuhan dalam baringan yang diciptakan. Sama-sama tidak membuka suara, hanya tubuh mereka bagaikan magnet yang tak terpisahkan meski dengan cara paksa. Raj dengan tangannya merengkuh punggung istrinya, dan Meera yang memasukkan badannya ke dalam hangat tubuh suaminya.
•••••
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
About Time
RomanceDia benar-benar obat yang menyembuhkan segala sakit yang aku alami pada kehidupan ini. Meera penyembuh penyakit yang ada padaku.. "Meera, jika ini yang terakhir, aku hanya ingin bilang tolong jangan lupakan aku.." "Aku tidak akan melupakanmu, karna...