WARNING CERITA sedikit MEMBOSANKAN BANYAK TYPO 🙏🏻 dan ALUR LAMBAT
HAPPY READING like jika suka 👍🏻 dan komen jika bisa💬 Sorry for typo Jangan jadi pembaca gelap terus 🤧
BAB GAk JELAS !!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sudah tiga hari berlalu sejak hilangnya putra mereka, Vano. Jevan belum juga menemukan jejak keberadaan putra sulungnya tersebut. Tidur dan makan sudah bukan prioritas bagi pria itu, hanya ada satu tujuan di pikirannya—membawa Vano kembali.
Di sisi lain, Gisel baru saja diizinkan pulang setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Jevan sudah memintanya untuk tinggal di rumah orang tuanya atau setidaknya bersama Nindy. Namun, Gisel bersikeras untuk kembali ke rumah mereka.
"Gi, aku nggak tega ninggalin kamu sendirian di sini," kata Jevan memandangi istrinya yang duduk di sofa dengan tubuh lemah. Ia ingin tetap di sini namun pihak kepolisian baru saja memberikan info bahwa menemukan jejak titik terang penculik Vano.
"Aku nggak apa-apa, mas" jawab Gisel, suaranya pelan namun tegas. Ia masih berusaha menunjukan senyumnya agar Jevan terlalu khawatir.
"Aku suruh Nindy nginep ya temenin kamu" ia benar-benar tak tega meninggal istrinya sendirian di rumah, meski rumah itu sudah di perbaiki tetap saja hatinya belum tidak tenang.
Gisel mengeleng, "jangan, dia ada ujian aku gak mau repotin dia"
Jevan menghela napas panjang. Ia tahu tidak ada gunanya berdebat. Kepala Gisel sekeras baja ketika sudah memutuskan sesuatu.
"Oke. Tapi jangan lupa kunci pintu. Jangan buka untuk siapa pun yang nggak kamu kenal."
Gisel mengangguk pelan. Dia tahu Jevan terlalu cemas. Tapi di balik semua itu, ada perasaan lain yang tak bisa dia ungkapkan—perasaan bersalah yang menggerogoti hatinya. Dia merasa, apa pun yang terjadi pada Vano, semua itu karena kelalaiannya.
"Hati-hati"
Setelah mengecup kening sang istri Jevan pun pergi meninggalkan Gisel.
Tak lama Jevan pergi hujan mulai turun deras di luar. Suasana di rumah sangat hening hanya suara rintik hujan di luar jendela yang terdengar, bersanding dengan deru napas Gisel yang berat. Segalanya terasa sunyi bahkan dinding-dinding seakan berbicara, mengingatkan Gisel akan tawa Vano yang dulu memenuhi ruangan.
Bayangan keberadaan Vano mulai berputar dalam ingatannya, membuat ia sangat merindukan putranya. Gisel memeluk boneka kecil milik Vano, boneka yang selalu di bawa-bawa putranya masih tertinggal di sini. Boneka itu masih membawa aroma samar anaknya, aroma yang membuat dadanya sesak.
Apakah putra itu bisa tertidur di saat boneka kesayanganya tidak ada di sisinya?
"Vano..." bisiknya, air mata jatuh perlahan di pipinya. "Bunda rindu kamu... Maafkan bunda..."