Dua Delapan

407 20 1
                                    

"Aaahhh....." teriak Bintang setelah menghabiskan nasi padang dan meneguk es manadonya.

"Kenyang?"

"Hmm" jawabnya mengangguk.

"Lalu kita kemana?"

"Aku masih ingin jalan jalan denganmu"

"Bagaimana dengan pasar raya di tengah kota?"

"Memangnya ada?"

"Ah sudah. Mari kesana biar kau lihat sendiri"

"Baiklah"

Bintang bangkit dari duduknya dan tidak sengaja menabrak salah satu pelanggan depot. Sempat terkejut tapi tidak sampai jatuh.

"Maaf ma.." ucap Bintang menahan kalimatnya.

"Bintang?" sapa seseorang yang ditabraknya itu.

"Martin?"

"Kau tidak apa apa?" tanya Dimas melihat Bintang dari atas sampai bawah.

Martin melihat Dimas dengan seksama. Bintang meliriknya. Takut jika Martin marah dengannya karena bersama Dimas tanpa memberitahunya.

Setelah memastikan tidak terjadi apa apa, Dimas juga ikut terdiam ketika melihat Martin. Dimas mengenal wajah itu. Dimas mencoba mengingatnya. Begitu juga sebaliknya.

Martin mengenal Dimas. Martin sedikit dibakar rasa cemburu melihat keduanya.
"Martin...aku.."

"Hay Martin!" teriak gadis yang juga Bintang kenal. Dia langsung melingkarkan tangan di lengan Martin. Cassie.

"Cassie? What are you doing? Lepas!" teriak Martin ketika melihat tatapan Bintang berubah kepadanya.

Kali ini Bintang yang dihujam cemburu. Sekarang, dia sedang melihat kekasihnya sedang bersama mantan kekasihnya. Apa harus semesra ini?

"Jadi..."

"Bintang dengar.."

"Kita impas" kata Bintang singkat. Menarik Dimas lalu pergi.

Belum juga Dimas berkenalan dengan Martin, Bintang sudah jauh menarik Dimas. Perasaan cemburu Bintang sangat terlihat dari raut wajah sahabatnya ini.

"Bintang berhenti!" kata Dimas menahan Bintang menariknya lebih jauh lagi. Das menarik tangannya dari genggaman Bintang.

Bintang berdiri di depan Dimas. Wajahnya menyimpan amarahnya. Dimas tahu meski tidak bertanya.

"Dia orang yang kau cintai?"

"Dimas, aku tidak mau membahasnya kali ini" jawabnya tanpa melihat Dimas.

"Aku sahabatmu, Bintang"

"Maka dari itu mengertilah. Aku sedang marah Dimas. Semua orang bisa saja mengatakan hal buruk ketika dia marah. Dan aku tidak mau itu"

Tanpa menjawab pertanyaan Bintang, Dimas sigap merengkuhnya dalam pelukan.

Dimas akui. Kali ini Bintang sangat mahir mengatur dirinya sendiri. Dia bisa mengendalikan emosinya. Meskipun menahan, setidaknya dia tidak meluapkan secara berlebihan.

***

"Cassie dengar! Kita udah selesai. Aku sudah menemukan seseorang yang aku cintai" kata Martin mencoba berbicara baik baik kepada Cassie agar tidak menganggunya lagi.

"Its must be me right?"

"No, its not you!"

"And than? Cewek kampung itu?" tanya Cassie yang mulai memuncak.

"Iya. Dia Bintang. Bukan cewek kampung"

"Hey Martin, wake up! Kau sudah terpengaruh dengan dia. Seorang Martin tidak akan jatuh cinta kepada gadis seperti itu. Come on!"

"Setidaknya itu memang benar"

"Martin sadar"

"Enough! Sekarang pulanglah. Aku tidak mau berdebat denganmu lagi"

***

Martin sebenarnya sangat cemburu ketika melihat Bintang dengan Dimas. Mengingat foto mesra keduanya di Paris membuat Martin takut ada hubungan spesial diantara mereka.

Tapi Martin juga tahu, bahwa Bintang pasti sangat kesal ketika melihatnya bersama Cassie. Berjalan kesana kemari kebingungan dengan perasaannya sendiri. Dia juga merasa bersalah.

Baik!

cepat cepat Martin meraih ponsel yang tergeletak di kasurnya dan mencoba menghubungi Bintang.

Sekali dua kali tidak ada jawaban. "Kemana Bintang?"

Sudah terbayang pikiran aneh kenapa Bintang tidak menjawab panggilannya. Dia juga tidak membalas pesan singkatnya.

"Kemana dia?"

***

"Kau sangat mencintainya?" tanya Dimas menemani Bintang di balkon kamarnya. Udara sore hari sangat mendukung suasana hati Bintang yang sedang membutuhkan ketenangan.

"Aku pernah jatuh cinta dengan seseorang. Dia laki laki hebat. Dia membuat aku menjadi perempuan paling beruntung sedunia. Dia membuat aku istimewa. Dia membuat aku ada. Dia melengkapi semua kekuranganku dengan cinta. Sampai akhirnya dia pergi untuk selamanya" ujar Bintang panjang lebar mulai menceritakan dari awal kepada Dimas. Menyandarkan punggung dan kepalanya di tembok balkon. "Tanpa dia, aku merasa mati. Semuanya tidak berarti apa apa. Rasanya sudah tidak ada lagi. Semuanya hilang. Bahkan aku sempat memilih untuk menutup hatiku kepada siapapun"

"Sampai akhirnya kau bertemu Martin?" potong Dimas membaca pikiran Bintang dari caranya bercerita.

"Iya" jawabnya sangat yakin. "Entah bagaimana semua yang ada dalam Martin sangat menyerupai Nikko. Perkataannya.. Perilakunya... Tatapan matanya... Bahkan perasaannya untukku. Dia benar benar berhasil membuat aku merasa bahwa Nikko hidup kembali"

"Singkat cerita, kau jatuh cinta kepada Martin karena dia mirip dengan Nikko?"

"Mungkin dulu memang iya. Tapi tidak lagi. Aku mungkin masih mencintai Nikko. Selamanya akan seperti itu. Tapi Martin tetap Martin. Dia yang kucintai saat ini. Maaf jika menyakitimu dengan aku bercerita seperti ini"

"Entah kenapa perasaanku sudah biasa mendengarnya Bin. Sakit itu tetap ada. Tapi menjauhimu aku tidak bisa. Selamanya aku bakal tetap jadi sahabatmu"

"Semua orang sudah meninggalkan aku. Apa kau juga ingin meninggalkan aku?" tanya Bintang kini menatap Dimas.

Dimas berjalan menghampiri Bintang. Berdiri tepat di depannya. Memegang kedua pipi cantiknya dan menatap matanya sejenak.

"Tidak akan pernah. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu"

Satu tetes air mata yang sudah tertahan sejak tadi akhirnya menetes juga. Sangat merasa bersalah menceritakan orang lain di depan Dimas. Tapi Dimas adalah sahabatnya. Bintang tidak tahu, terbuat dari apa hati sahabatnya ini hingga mampu menahan.

Dimas memandang iba sahabatnya. Orang yang dia sayangi. Sedikit demi sedikit mendekatkan wajahnya kearah Bintang. Bintang tahu apa yang akan dilakukan Dimas. Semakin dekat dan akhirnya bibir bertemu dengan bibir. Menyentuh hangat dengan mata terpejam.

Jantung Bintang berdebar hebat. Entah kenapa dia tidak menolaknya mengingat Dimas sudah cukup tersakiti karenanya.

"Bintang!"

Sontak Bintang mendorong Dimas menjauh dan melihat seseorang yang baru saja dia ceritakan kepada Dimas di ambang pintu kamarnya.

Kali ini, Bintang benar benar melihat Martin dengan wajah murkanya.

Back To StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang