31 : Teressa Diary

42.4K 3K 75
                                    

Selama beberapa hari ini banyak sekali kejadian yang menimpaku, hingga aku sulit untuk menceritakan semuanya pada kalian. Aku sebal pada si suara Sopran, dia menggembar – gemborkan rumor tentang adanya hantu di perpustakaan. Yah meskipun sebenarnya memang nyata adanya. Semua orang jadi tahu kalau aku yang menemukan si hantu bernama Rosaline, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Sama saja aku menguak rumor tentang si hantu seperti di ramalan ke 8, uh aku jadi tidak enak dengan Rosaline menyebutnya hantu.

                Besoknya, semua anak kelas 8 tercengang mendapat nilai matematikanya 0, termasuk aku  yang jago dalam bidang itu. Aku diam saja, aku yakin itu kerjaan psikopat Marta. Sorenya aku mencari Daniella lagi, hingga kutemukan dia di gudang yang tidak terpakai. Pandangannya kosong dan keadaannya buruk, saat itu aku berkata “Daniella, sedang apa kau di sini? Ayo pulang!”

                Daniella menatapku sesaat, pandangannya tidak fokus. Karena takut aku memeluknya erat dan mengusap punggungnya, barulah ketika aku melepaskannya Daniella mengerjap. Lalu dia menangis kencang dan bergumam ‘takut’.

                Beberapa hari kami –aku,Dave,Daniel,Vanessa,Vanilla- berusaha membuat ingatan Daniella kembali. Dia shock pada apa yang tidak kami tahu, terus menggumamkan kata ‘takut’ dan jika dia melihatku dia akan berkata ‘ maaf’. Kurasa jiwanya terguncang, atau yang paling parah… dia trauma. Melihatnya begitu membuat rasa bersalah menyelinap di hatiku, aku orang paling jahat di dunia. Seharusnya aku menghentikannya saat dia berlalu dariku waktu itu. Aku bertekad saat ramalan ke 13 itu terwujud, akulah yang tewas. Bukan mereka.

                Saat aku sedang makan di Aula, seorang anak menghampiriku dengan wajah masam. “Dasar pembawa kesialan tak tahu diri! Aku memang tidak suka padamu dari awal, tapi kau tidak usah menerorku dengan surat ancamanmu itu! Kau pikir aku takut?!”

                Semua orang yang menjalankan aktivitasnya terdiam, suasana hening mengalahkan kuburan. Aku menanggapinya dengan tenang.

                “Surat ancaman apa?” tanyaku.

                “Kau mengancamku akan menyeretku di gudang dan menyekapku di sana, katakan padaku. Apa salahku hah?!” teriaknya kencang, namun lagi – lagi aku tidak menggunakan emosiku.

                “Maaf aku tidak tahu,” jawabku kalem, dan dia masih mengomel terus – terusan di telingaku.

                Saat itu yang bisa kulakukan hanyalah kembali makan, lalu tersenyum saat dia pergi dengan langkah menghentak.

                Menurutku orang yang seperti itu tidak usah ditanggapi, lagipula buat apa aku menerornya? Aku tidak tahu dia siapa dan aku juga tidak perduli. Toh pikiranku masih memikirkan teka – teki aneh yang diberikan Rosaline, adik dari psikopat gila yang menyelamatkanku waktu masih kecil.

                Hari itu hari paling mencengangkan dalam hidupku, saat jam pelajaran kosong karena ada rapat membicarakan apa yang harus ditampilkan di kelasku dalam festival tahunan kali ini. Aku tidak perduli pada rapat itu, dan aku yakin semua orang tidak perduli jika aku perduli. Mereka menganggapku tidak ada, ah tidak mereka menganggapku sampah. Jadi aku berjalan – jalan mengitari seluruh kelas yang sepi karena jam pelajaran berlangsung. Aku selalu menikmati momen keheningan seperti ini, hanya ada aku dan pikiranku.

                Dan aku ingin buang air kecil.

                Aku langsung melesat menuju toilet perempuan, ingat itu aku jadi ingat Dave yang dulu pernah menunjukkan arah toilet padaku. Huh! Betapa malunya aku. Tapi ketika aku berada di muka pintu toilet, kau tahu apa yang kulihat?

                Daniella, berusaha bernapas dan menarik tali yang melilit di lehernya.

                Dia, sepupuku. Ingin mencoba gantung diri.

                “Daniella!” teriakku panik, aku mencoba mengangkat kursi yang jatuh, perkiraanku itu ditendang oleh Daniella.

                Aku naik ke kursi itu dan mencoba membuka lilitan tali rapia yang melilit sempurna di leher putih Daniella yang sekarang sudah memerah.

                “The…reshha…” ucap Daniella susah payah, matanya mengeluarkan banyak air mata. Aku mengeluarkan gunting dari dalam saku rok dan menggunting lilitan tali rapia itu dengan hati – hati. Lilitan terlepas dan Daniella berusaha mencari banyak oksigen, menghirup dalam – dalam dan menghembuskannya perlahan. Entah apa yang terjadi jika aku tidak ada.

                Aku menampar pipinya, dan waktu itu dia tercengang. Kutampar lagi pipi yang satunya, dia kembali mengerjap bingung. Lalu kucubit kedua telinganya, akhirnya aku memeluknya. Kami berdua terduduk di lantai toilet perempuan.

                “Maafkan aku, kau jadi seperti ini,” ucapku pelan.

                Aku melepaskan pelukanku dan menatap wajahnya seksama, Daniella tersenyum kecil. “Teressa?”

                Aku tahu saat itu ingatan Daniella benar – benar pulih, dia Daniellaku yang dulu. Jadi dengan penuh suka cita aku memeluknya lagi sambil menangis terisak.

                Malam harinya aku berusaha memecahkan teka – teki dari Rosaline di Ruang Rekreasi, seorang diri. Aku tidak ingin merepotkan siapapun lagi, ini masalahku. Marta hanya mengincarku, dia ingin membuatku menderita. Aku menghembuskan nafas, aku sama sekali tidak mengerti tentang abjad ‘JB’ dan ‘N < V’ maksudnya apa? IQ Rosaline lumayan tinggi untuk anak seusianya.

                Lalu ketika aku sedang frustasinya, dia datang sambil membawa secangkir susu cokelat. Tampangnya dingin tanpa emosi yang berarti. Raven Black selalu tampak mempesona dibalutan apapun, apalagi sekarang yang memakai baju tidurnya.

                “Kau ganti JB itu dengan angka, kau pasti mengerti jika kau teliti. Ini minumnya, kurasa kau harus berpikir jernih. Semua teka – teki itu aku yakin bisa kau pecahkan. Selamat malam.” Ucapnya singkat, jelas dan padat.

                Raven berjalan keluar dan menuruni tangga pualam, apa kau tahu, aku sudah tahu siapa pelaku sebenarnya. Meskipun aku tidak terlalu yakin sekaligus tidak percaya. Besok aku akan berterima kasih sebanyak – banyaknya pada Raven, tapi sebelum itu... Aku akan ikut permainan Hingrilietz untuk menentukan takdirku.

Note :

1.       (Yang lupa Hingrilietz apa baca bab 5)

2.      Maaf  bagi yang kecewa pada bagian bab ini, tapi sepenuhnya ngebuat novel misteri itu susahnya gak ketulungan, gak kaya romance yang emang bener – bener ringan bacaannya. Kalo misteri mah bacaan berat, yang nulisnya juga berat lho! ^^

3.       Maka dari itu, di bab ini gue tulis ‘Teressa Diary’ karena diary pada bab ini bener – bener intinya

4.      Sekali lagi gue minta maaf sama siapapun yang udah baca cerita ini, kalo bisa comment juga boleh. Mau ngasih cabe? Gapapa kok diterima dengan maklum. Mau ngasih saran? Juga gapapa, itu ngebuat wawasan gue semakin luas. Mau ngasih komentar? Itu boleh banget, siapapun authornya pasti seneng kalo ada yang comment, para author itu termotivasi buat ngebuat cerita itu jadi makin menyenangkan

5.       Terima kasih yang udah baca notenya :)

to be continued

---

Read my another story :

1. How Can I Move On

2. A-B-C-D Love

3. Princess Series [1] : The Overweight Princess

Royal AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang