32 : Hingrilietz

103K 4.4K 687
                                    

TERESSA sudah tahu apa yang ia mau sekarang; mengikuti permainan Marta, yaitu Hingrilietz. Toh dia pasti akan mati di sana, seperti kelima orang itu. Setelah dia selesai mem-pack semua barangnya di koper, dia mengedarkan pandangannya pada kamar asramanya itu.Dindingnya berwarna hijau terang, namun di sisi lain berwarna kuning cerah. Persis seperti pertama kali dia menginjakkan kaki di sini. Karpet berbulu domba di tengah - tengah ruangan, sofa santai, meja kecil berbentuk bundar, mug kecil berwarna merah jambu milik Vanilla dan TV LCD yang tertempel lekat di dinding sebelah kanan. Saat ingin merekam semuanya di otak, Vanilla keluar dari kamar mandi mereka.

"Teressa kenapa kau mempack barangmu di koper?" tanyanya heran.

Teressa menatapnya lama, seakan dia tidak akan menatap wajah Vanilla lagi. Seakan hari ini adalah hari kematiannya, seakan semuanya akan terenggut hari ini.

"Aku akan mengikuti permainan Hingrilietz."

Ponsel yang dipegang Vanilla terjatuh begitu saja, dia terlalu terkejut dengan jawaban Teressa. Tidak mungkin kan dia cari mati dengan mengikuti permainan mengerikan itu?

"Aku serius," ucap Teressa meyakinkan Vanilla seraya memeluknya erat.

Bau Vanilla, bau khas Vanilla. Teressa kembali merekamnya dalam otak. Tak ingin memori tersebut hilang dalam benaknya. Vanilla sudah berganti baju, namun dia masih terkejut dengan jawaban Teressa tadi sehingga tidak bisa membantah apa - apa. Teressa mem-pack barangnya seakan dia akan meninggalkan Vanilla selamanya...

Keduanya keluar dari kamar 103 mereka, memakai baju santai sehari - harinya.Celana pendek dan kaos T-Shirt. Teressa mengetuk pintu kamar 102, tempat Daniella dan Vanessa menunggu.

"Kau sudah siap Ress? Cepat sekali!" pekik Daniella, dia berlari menuju kamarnya lagi dan mengeringkan rambutnya yang masih basah.

Teressa tertawa kecil, semenjak hari itu Daniella sudah kembali menjadi Daniellanya yang dulu. Yang bersahabat dan ceria.

"Kau sepertinya sangat menyayangi sepupumu ya?" tanya Vanilla dengan nada heran.

"Sangat, kau juga pasti sangat menyayangi Vanessa kan?" tanya Teressa menggoda.

Vanilla mengangguk tanpa menutupinya dan menatap mata malachite Teressa, "kau masih ingat waktu kau bertanya kenapa aku dan Vanessa tidak bersama saat masih kecil. Ketika kau menemukanku meringkuk di tengah jalan?"

Ingatan Teressa memutar, mengingat seorang anak kecil yang memeluk kedua lututnya dan menangis terisak. Perempuan yang mengajaknya berteman itu.

"Ya, kau tidak pernah memberitahuku."

Vanilla berpikir jika dia tidak memberitahu Teressa, kapan dia akan memberitahunya? Bisa saja hari ini... ah jangan berpikiran seperti itu Van! Teressa tidak mungkin meninggalkanmu.

"Ibu dan Ayahku bercerai, waktu itu juga aku tidak dekat dengan Dave. Tahu - tahu dia datang dan berkata bahwa dia anak pamanku. Yang otomatis menjadi sepupuku. Jadi selama di Royal Academy aku bersamanya."

"Oh begitu, kau selalu bisa membuatku penasaran. Ngomong - ngom-"

"Ayo berangkat!" potong Daniella semangat, dia memakai baju kaos T-Shirt lengan panjang dengan celana jeans selutut, sementara Vanilla mengekor di belakangnya.

Teressa tertegun, sepertinya dia sudah jarang berangkat bersama - sama berempat. Ia menampilkan senyum terbaiknya, mungkin saja tuhan memberinya kesempatan menikmati hidupnya yang tinggal sehari ini. Seiring keempat perempuan manis itu berjalan, seiring itu juga mereka mengobrol banyak hal. Tapi ada topik yang mereka hindari; ramalan 13.

Hari ini terlalu cerah untuk membicarakan hal itu. Mereka bertemu Jonathan, Raven, dan Daniel di perpotongan jalan antara koridor kamar anak perempuan dan laki - laki. Pipi Teressa bersemu merah melihar Raven begitu mempesona dalam balutan kemeja hitam dan celana abu - abu. Tak seperti biasanya, Raven tersenyum manis padanya dan menyodorkan tangannya yang lebih besar ketimbang tangan Teressa yang mungil.

Royal AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang