17 : Betrayal?

39.2K 2.6K 44
                                    

"HA--HAI." sapaku canggung ketika aku berpapasan di koridor dengan Jo.

Aku tak masalah bila ia tidak membalas sapaanku, malah akan menjadi masalah bila ia mengobrol denganku seperti dua hari yang lalu setelah ia berkata bahwa ia mencintaiku saat pertama bertemu. Ini semua membuatku resah dan tidak bisa tidur semalaman. Vanilla selalu terus bertanya kemana aku pergi semenjak aku pulang malam itu dengan rona merah di pipi yang tidak bisa kusembunyikan. Aku bahkan lupa tujuan utama aku menyetujui ajakannya berkencan sehari.

Dan dia sekarang melihatku. Dengan tatapan yang menyejukkan dan senyuman yang menawan seperti biasa.

"Kukira kau takkan menyapaku." Katanya. Kali ini dia menyengir lebar.

Aku memutar otak untuk mencari alasan yang pas sementara tanpa sadar sudah banyak siswa - siswi yang menonton kami.

"Kau berhutang penjelasan padaku. Dan anggap aku sekarang sedang menagihnya." Kataku setelah berdiam diri dan baru mengingat ramalan itu di detik ke sepuluh.

"Penjelasan apa? Penjelasan bahwa aku mencint--"

"Stoppp!" Selaku sebelum ia melanjutkan kalimat laknatnya.

Aku memperhatikan sekitar, lalu melirik jam tangan guess di pergelangan tangan kiriku. Setelah merasa bahwa Dave dkk sudah kembali ke kelas masing - masing. Aku menarik tangan kanan Jo untuk mengikutiku menuju koridor yang sepi. Ya, sekarang adalah jam makan siang meskipun aku dan Dave dkk sudah selesai sedari tadi. Jadi sisa waktuku untuk mengobrol bersama Jo hanya 10 menit. Dia memandangku dengan pandangan bertanya.

"Ada apa Teressa?" Tanyanya bingung.

Aku menelan air ludahku sendiri. Sepertinya dia ada masalah dengan daya ingatnya. Orang tipe ini pasti mudah untuk dimanipulasi orang lain. Lagi - lagi aku menelan air ludahku.

"Kau tak ingat tujuanku menyetujui ajakan kencan?" Tanyaku.

Aku tidak menyangka dia yang bersikap jahat dan kejam bisa sepolos itu.

"Oh itu!" Serunya seperti baru mengingat sesuatu.

Aku bernafas lega.

"Pembuat ramalan itu..." Dia membisik di daun telingaku setelah memastikkan bahwa tak ada orang yang lewat atau mendengar pembicaraan ini.

"Sarah..." Bisiknya yang sukses membuatku terdiam membeku.

Semenjak hari dimana aku terkena pecahan kaca sikap Sarah membaik padaku. Ia bahkan sering menyapaku setiap pagi. Sekarang dia sudah mau duduk bersama aku, Dave dan lainnya saat makan pagi. Dia ramah, bersahabat, dan baik setelah aku mengenalnya lebih jauh. Tapi kenapa? Rasanya ini seperti pengkhianatan yang aku sendiri belum memastikan apakah ucapan Jo itu memang benar adanya atau tidak. Aku ingin bertanya tapi lidahku terasa kelu. Hanya air mata yang menggenang di pelupuk mataku, menandakan perasaanku saat ini.

Akhirnya setelah perdebatan batin di dalam kepalaku yang cukup lama, hingga membuatku sakit kepala. Aku bertanya padanya dengan suara yang bergetar. "Kamu bohong kan Jo?"

Dia mendesah, kepalanya menunduk. Aku tidak tahu persis apa yang ia pikirkan. Lalu dia mendongakkan kepalanya dan tersenyum menenangkan ke arahku.

"Maaf sebelumnya, tapi pasti kau tidak lupa kan telingaku seperti telinga kelelawar?" Tanyanya.

Aku terdiam sebentar, mengingat - ingat dan kilasan balik momen memalukan itu membuatku mengangguk tanpa aku bisa menutupi rona merah di kedua pipiku. Aku telah menyangka Jo lah yang membuat ramalan itu ketika aku mendengar bahwa Ariana, adiknya meninggal. Double malu.

"Aku menguping pembicaraan seseorang." Jelasnya dengan tersenyum simpul.

"Siapa?" Tanyaku dengan isak kecil.

Jo menghapus air mataku dengan ibu jarinya yang sehalus kulit bayi. Perhatian yang jarang kudapat dari orang - orang sekitarku. Membuat hatiku tersentuh.

"Karena aku dulu sekelas dengan Sarah, aku tahu suara gadis itu Sarah. Tapi untuk laki - lakinya.... Suara itu asing." Jawab Jo.

"Lalu... mereka membicarakan apa?" Tanyaku takut - takut.

"Mereka membicarakan siapa yang akan menulis ramalan 13 itu." Jawabnya yang sontak membuat tangisku semakin keras, Jo menenangkanku dengan mengusap pelan bahuku. "Sst jangan menangis. Di sini tidak ada balon jika kau tidaj berhenti menangis." Ucapnya menghiburku.

Walaupun sebenarnya tidak mempan karena sekarang perasanku sesak. Dadaku seperti dihimpit batu besar yang tidak terlihat. Pasukan oksigen di paru - paruku seperti menipis seiring perasaan itu menghantuiku, menderaku.  

Aku benci pengkhianatan.

Aku benci dibohongi.

Aku benci perasaan kecewa kepada orang yang baru saja aku ingin memulai untuk mempercayainya.

Intinya, aku benci segala jenis pengkhianatan.

to be continued

---

Read my another story :

1. How Can I Move On

2. A-B-C-D Love

3. Princess Series [1] : The Overweight Princess

Royal AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang