Part 20

2.9K 208 7
                                    

Hal pertama yang aku lihat ketika membuka mata adalah langit biru yang begitu luas bak samudera, membentang di hadapanku. Cahaya matahari terlihat begitu cerah dari tempatku berada hingga aku harus melindungi mataku menggunakan punggung tangan.

Untuk beberapa menit aku hanya terbaring diatas hamparan rumput yang menggelitik kulitku, menikmati angin berhembus dengan malasnya. Kemudian ingatan itu kembali masuk ke pikiranku. Ingatan tentang Jack yang memanggil namaku dan kesadaranku yang semakin menurun membuatku langsung bangun dari posisi berbaringku.

Jika itu benar terjadi, maka aku... Seketika aku bergidik, tidak berani melanjutkan pikiranku.

Sewaktu aku kecil, aku selalu membayangkan dunia setelah kematian sebagai dunia yang berlantaikan awan, langit-langit seluas galaksi, matahari yang bersinar sepanjang waktu, serta semua orang yang telah tiada kembali berkumpul dengan orang terkasihinya. Tapi keadaan yang aku lihat sekarang sama sekali berbeda dari hal tersebut, kecuali mungkin mataharinya. Tempat dimana aku berada lebih mirip seperti taman tapi juga terlalu sepi untuk disebut demikian, karena hanya aku satu-satunya yang ada disana.

Aku masih terdiam disana. Pikiranku melayang, memikirkan adikku. Aku membayangan apa yang sedang ia lakukan sekarang dan bagaimana reaksinya jika tau kalau kakaknya sudah tiada. Aku tau aku bisa mempercayai Kristoff, tapi tetap saja akan berbeda rasanya. Anna hampir pernah menyerahkan nyawanya demi keselamatanku. Yang aku takutkan sekarang adalah ia yang akan berbuat nekat.

Pikiranku berputar cepat, tapi aku tidak merasakan pusing sedikitpun. Jika mati merupakan sebuah keuntungan, maka keuntungan dari mereka yang telah tiada adalah tidak lagi mengalami rasa sakit secara fisik.

Aku bangkit dari tempatku berada dan memutuskan untuk mengikuti kemana kakiku melangkah. Aku tidak tau ingin pergi kemana. Tapi jika aku hanya berdiam disana, pikiranku pasti kembali ke adikku dan membuatku semakin sedih.

Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara yang nyaris seperti bisikan. Entah mengapa aku merasa pernah mendengar suara itu sebelumnya. Tapi ketika aku berusaha memanggil ingatanku, hasilnya adalah nihil. Apa kematian juga berarti menghapus ingatan? Apa mungkin itu hanya khayalanku saja?

Ketika aku berusaha meyakinkan diri bahwa suara itu adalah khayalanku karena belum bisa menerima kenyataan, suara itu malah semakin terdengar. Aku menengok kearah kiri dan kanan, mencari dari mana suara itu berasal. Untung bagiku, angin berhembus dan menjadikan suara itu semakin jelas terdengar. Suara itu berasal dari arah jam sepuluh.

Samar - samar suara itu mulai terdengar lebih jelas.

"...saa..."

Aku memasang telingaku lebar - lebar, berusaha menangkap ucapan itu.

"..elsa.."

Tunggu. Namaku?

Aku semakin mempercepat langkahku dan suara itu semakin keras memanggil namaku. Ia membimbingku hingga aku berhenti didepan batu berbentuk persegi, yang mirip seperti panggung kecil.

Dari tempatku, aku dapat melihat sebuah cermin dengan ukuran yang cukup besar disana. Cermin tersebut berbentuk persegi panjang tanpa bingkai, memiliki tinggi kurang lebih dua meter dan lebar satu meter.

Ketika suara itu kembali terdengar, aku sangat yakin cermin itulah sumbernya.

Aku naik ke batu dan berjalan perlahan mendekati cermin tersebut, takut kalau tiba - tiba sesuatu akan keluar dari benda mengkilap itu. Ketika aku berada dihadapan cermin tersebut, kilauan benda itu mulai berputar dan berhenti beberapa detik kemudian. Gambaran seperti film mulai muncul disana.

Di dalam cermin itu aku dapat melihat sebuah cahaya yang berwarna putih kebiruan. Cahaya itu sedang berputar disekitar aurora yang menjadikannya seperti bagian dari aurora itu sendiri. Tapi tiba - tiba saja cahaya itu berhenti bersamaan dengan sudut pandang cermin yang berubah. Di bawah sana, terdapat seorang perempuan yang sedang membagikan pakaian hangat. Badai salju sedang mengamuk kala itu.

FroziansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang