Chapter Eighteen

5.6K 540 8
                                        

                  

"We lived in two different world. Yours is the one i force myself to get into, but you didn't let me. And you left."

Alexis's POV

Setelah gue kembali bangun dari kesenangan gue, semua berubah.

Felix berhenti, keluar, dan ninggalin gue dari tim inti. Entah gimana gue bisa survive tanpa motivator gue yang selama ini menjadi penopang semangat gue ngebasket. Entah gimana kondisi tim tanpa seorang Felix yang bawel, serius sedikit santai tapi banyak mau.

"Lex, Felix belom mati."

Gue mengerjap dan mengangguk pelan. Teguran pedas dari Getto barusan cukup membangunkan gue dari sisi diri gue yang terlalu melankolis soal Felix. Meskipun begitu, ada sedikit yang masih mengganjal.

Evan mengambil alih. Dengan peraturan baru, dan jadwal latihan baru yang sudah diputuskan secara musyawarah, Evan resmi jadi kapten. For some reason, Evan cocok jadi pemimpin. Tapi tetep gak ada yang bisa ngegantiin posisi Felix yang udah banyak berkorban buat tim.

Gue kembali merenung pagi ini dikelas. Kebahagiaan gue soal kepulangan Adam kemarin seraya sirna setelah tau kepergian Felix dari tim. Bahkan sosok Adam yang sekarang duduk menyender ke tembok dihadapan gue dengan indahnya, sekarang udah tidak terlalu mempengaruhi gue.

Padahal selama ini gue nangis untuk kepergiannya.

"Lex, jadi latihan hari apa aja?" Tanya Adam yang tiba-tiba memutar balikkan badannya kebelakang menatap gue lurus.

Gue mengerjap, "kayaknya selasa." Jawab gue sekenanya.

"Kayaknya." Sebut Adam memperjelas kalimat gue dengan wajahnya yang meragukan jawaban gue.

Gue mengangkat bahu, lalu menangkap sosok Getto yang masuk ke dalam kelas. "Lo gak bosen-bosen ya kesini?" Tanya gue ketus.

Getto senyum tanpa sedikit tersinggung, lalu duduk disamping gue. "Dam, kemaren kemana gak latihan?" Getto memulai basa-basinya.

"Ada urusan. Latihan hari apa aja?"

"Selasa, kamis. Bisa kan?" Tanya Getto memastikan.

Adam mengangguk seraya keluar kelas membaur dengan beberapa teman-teman barunya. Gue seketika nengok ke kanan, dan menangkap sosok Getto yang senderan sambil menatap gue. Dia seketika mengerjapkan matanya. "Mau ngapain lagi lo disini?" Tanya gue.

Getto menelan ludah dan menggaruk kepalanya. "Nemenin lo."

"Gak butuh."

Gue menghentakkan kaki gue, dan berjalan keluar kelas. Entah menuju kemana langkah gue, sampai akhirnya berhenti didepan klub basket. Gue memutar kenop pintu, dan melihat sosok manusia yang tanpa gue sadari sangat gue rindukan.

Felix. Berdiri. Disana.

Dengan kardus dipelukannya, dia berdiri dihadapan lockernya dan senyum ke gue. "Welcome home, hoops," katanya.

Melihat apa yang dia lakukan saat ini, mulai memunculkan sifat melankolis gue soal kepergian Felix. Entah kenapa orang se-nyebelin dia bisa begitu berharga buat gue, tanpa gue sadari. Gue jalan cepat ngedeket Felix dan nampar dia.

Felix tercengang.

Kardus jatoh.

Gue nangis.

Felix's POV

Gue gak ngerti apa yang terjadi dihadapan gue saat ini, tapi ini kali pertama Alex nampar gue, tapi malah dia yang nangis. Setetes air mata jatuh dipipi penuhnya yang selalu gue cela. Tapi dia gak sedikitpun mencoba mengalihkan pandangannya dari mata gue, seakan pengen gue tau kalo dia kuat dan dia gak nangis. Setetes air mata tadi disusul sekian banyak tetesan, sampai akhirnya dia terisak.

Alex si pemuja ketegaran dalam diri wanita itu, nangis.

Gue gak pernah ngeliat teman kesayangan gue itu berekspresi segitu perihnya, dan gue juga gak tahan. Akhirnya, gue tarik dia pelan, dan gue peluk dia se-erat yang dia butuh. Gak tau kenapa Alex gak nolak gue peluk seperti biasa, meskipun dia gak membalas pelukan gue seperti yang gue mau. Tapi kali ini dia gak menghindar. Mungkin seperti ini arti seorang teman saat dibutuhkan.

Mood perempuan itu naik turun, gue paham. Tapi selama ini gue menilai Alex terlalu maskulin sampai akhirnya gue lupa kalau dia juga perempuan. Dia butuh dimengerti, dia butuh perhatian layaknya perempuan biasa.

Setelah meluk dia lumayan lama, dia masih gak menghindar dari gue, dan gue juga gak tega ngelepas pelukan gue gitu aja. Entah apa alasannya dia nangis. Padahal udah ada Adam yang dia pengen, dan kehidupan dia disekolah baik-baik aja. Gue berjuang keras buat selalu mastiin dia bakal terus baik-baik aja.

Alex mengangkat kepalanya, dan mendorong gue menjauh seperti biasa. Mata serta hidungnya memerah, namun alisnya berkerut kesal. "Jijik. Udah kayak telenopela jaman dulu." Tuturnya seraya mengusap air mata di pipinya pake baju yang sedang gue pakai.

Gue tertawa kecil, lalu mengangkat dua bangku diruangan buat gue dan Alex. Dia duduk dihadapan gue, dengan ekspresi datar yang sama seperti yang gue lihat setahun yang lalu. "Alasan lo nangis kali ini?"

Alex menendang betis gue lumayan keras, lalu merengut kesal. "Mikir kek lo. Apa maksudnya keluar dari tim gak bilang-bilang gue coba?"

"Emang gue harus izin segala sama lo?" Tanya gue sambil nyengir kuda memancing emosinya.

"Harus." Jawabnya. Gue menopang dagu sambil natap dia dengan senyum iseng gue. "Ngapain coba muka lo kayak gitu? Minta di tonjok hah?"

"Berani emang nonjok?" tantang gue.

Tangan Alex mengepal, namun tidak memutuskan kontak mata dengan gue. Gue mulai siap-siap dengan tinjunya yang melayang tepat ke pipi gue, tapi gak ada rasa. Alex meregangkan kembali jari-jarinya, lalu mendengus. "Kenapa harus keluar?"

"Gue udah kelas dua belas. Ini tahun terakhir gue pake seragam sekolah. Udah waktunya gue mikirin masa depan yang bahkan gue belum tau mau diarahin kemana." Jelas gue.

"Siapa yang bakal nge support gue tiap latihan kalo lo keluar?"

Nafas gue tercekat. Gue gak pernah ngira kalimat tersebut berhamburan keluar dari mulut Alex yang penuh dengan segala hujatannya buat gue. Bersikap tenang, gue menyunggingkan senyum.

"Masih ada 15 anggota tim, dan ratusan penunggu sekolah yang siap nge support lo. Dan bukan berarti gue keluar dari tim, gue bakal berhenti ngedukung lo."

Alex mengangkat kepalanya menatap gue.

"Swear to God, Lex. Sampe akhir hayat gue bakal jadi orang yang paling pertama ada di list supporter lo. Gue bakal sempetin datang ke setiap pertandingan, dan lo berhak ngehajar gue kalo gue gak dateng disalah satu pertandingan lo," tutur gue meyakinkan teman terbaik gue itu, sampe akhirnya dia meluk gue.

Gue peluk erat dia sambil kemudian berharap dalam hati untuk gak mengingkari janji gue.

Demi dia.

Demi Alex.

------------

Author's note :

Maaf sudah hampir sebulan lebih (sedikit) gak update, dikarenakan banyak 'gangguan' haha..

Tapi,

1.2K views?!

Rasanya kayak di serenade Ed Sheeran haha..

Terima kasih sudah membaca, dan diharapkan bisa terus menikmati. Semoga chapter ini cukup sebagai permintaan maaf karena menggantungkan terlalu lama. I'll see you on CHAPTER NINETEEN <3

ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang