Chapter Twenty Six

4.9K 457 33
                                        

Terima kasih telah mengenalkan kata rindu yang ternyata begitu mendeskripsikan dirimu.

Salam rindu untuk kamu di Bandung.

Alexis's POV

Sakit hati itu nyata. Kecewa itu tulus tergambarkan ketika semua harapan yang memburu hati kini dihempas begitu saja seperti tidak ada maknanya. Setiap hal—bahagia maupun menyedihkan—pasti ada maknanya. Entah hal itu pantas dimaknai atau hanya datang demi menghancurkan harapan seseorang saja, tanpa alasan.

Kebahagiaan dan kesedihan itu balance. Bisa dikatakan gue terlalu bahagia sehingga sedih akan menampar gue. Membangunkan gue dari mimpi yang bahkan tidak pantas hadir didalam lelap. Gue merasa dunia ini adil, setidaknya dalam aspek membuat gue tau apa rasa bahagia dan sedih. Tapi, kesiapan gue untuk menerima kenyataan sedih itu melanda kapan saja sepertinya kurang.

Percayalah, gue tidak menangis meraung-raung seperti orang tolol yang merasa ini akhir dari hidupnya. Setetes air mata jatuh membasahi pipi gue dihadapan Alexa. Matanya ikut berkaca-kaca menatap gue dengan tatapan kasihan, dan memeluk gue seraya ikut menangis.

Menerima fakta bahwa gue dikasihani justru menambah rasa jijik yang muncul di diri gue—yang diperuntukan juga untuk gue. Mengusap air mata gue seraya menahan tangis yang juga terpicu keluar karena tangisan Alexa yang terisak dibahu gue. Sungguh, ikut menangis dengan orang yang sedang sedih itu memperburuk keadaan.

Pagi itu, Alexa tidak bisa berlama-lama menemani gue karena ada urusan yang harus dia selesaikan disekolahnya. Meninggalkan gue yang berusaha tersenyum, dengan air mata yang membanjiri kedua matanya membuat gue sedikit merasa bersyukur gue tidak menangis sendirian.

Kalimat Alexa sebelum dia pergi membuat gue sedikit merasa lebih baik.

"You're not alone."

Sepertinya, bukan hanya gue dan Alexa yang melihat peristiwa tersebut—melainkan satu sekolah. Perlu diingatkan juga, sudah banyak gosip yang menyebar soal gue dan Adam jauh sebelum kejadian hari ini. Oleh karena itu, bisa dipastikan, gue orang paling menderita dimata mereka semua saat ini.

Wajah yang bersimpati, wajah yang mengasihani.

Hanya itu ekspresi yang mereka tunjukan ketika gue berjalan melewati keramaian. Beberapa juga berbisik dari telinga A dan telinga B—hingga telinga Z, mengutarakan topik yang sama. "Kasian ya, dia ditikung sahabat sendiri."

Ekspresi yang mereka tunjukan lebih menjadi-jadi ketika terlihat jelas mata gue yang merah membengkak menahan tangis. Bodoh sekali, menangis itu tindakan teramat—sangat—bodoh untuk kali ini. Gue menunduk, sepanjang jalan mengindari tatapan menyedihkan itu.

Langkah gue terhenti ketika melihat sepasang kaki berdiri dihadapan gue. Gue mendongakkan kepala, dan berhadapan dengan Felix. Bukan, bukan wujud kasihan yang gue lihat dimatanya—melainkan khawatir.

Tanpa banyak bicara, Felix meraih tangan gue dan menuntun gue ke atap sekolah. Tempat sepi yang Felix temukan sejak ia menginjak kelas 11. Entah bagaimana caranya ia menemukan kunci yang seharusnya tidak boleh digunakan oleh siswa, tetapi ini bermanfaat. Hembusan angin yang menerpa wajah gue sedikit menyegarkan suasana hati meskipun tidak menghilangkan rasa yang muncul sedari tadi. Pahit.

Gue duduk, lesehan bersama Felix. Tidak, ia tidak berbicara semenjak menemani gue membolos pelajaran kali ini. Tapi ini yang gue butuhkan. Hening, langit kelabu, dan hembusan angin. Langit bahkan mengutarakan isi hatinya pula saat ini, seakan mengatakan kepada gue bahwa gue tidak sendirian.

"Lix, dia penduduk Arab. Lahir di Arab, tumbuh besar di Arab, bahkan mati pun juga di Arab."

Felix memutar otaknya sembari terus bergumam, lalu tertawa. "Onta."

"Cerdas, keren, banyak fans, tapi nangis," kini Felix yang memberi gue tebak-tebakkan yang sama sekali gak membantu cluenya.

Gue menggeleng, "nyerah."

"Alex," jawabnya lalu merangkul gue.

Tubuh Felix itu hangat. Dadanya yang bidang membuat siapapun yang ada dalam dekapannya merasa nyaman dan aman. Bersandar kepada Felix membuat diri semakin terasa kecil yang tenggelam di kehangatannya yang tulus. Belaian lembutnya dikepala membuat wanita manapun jatuh hati terhadapnya.

"Lex, jatuh cinta tanpa patah hati itu ibarat main basket tapi gak pernah cidera."

"Gak afdol!" seru gue dan Felix berbarengan.

Felix berdeham lalu meraih tangan kanan gue dan menggenggam jemarinya. "Apa yang lo rasain sekarang, itu pelajaran. Pelajaran yang belum tentu lo dapet dari bahagia yang berkelanjutan. Patah hati itu nyata, jelas adanya. Mau lo suka apa enggak, tapi justru patah hati yang akan mengenalkan lo pada hal-hal yang baik lagi nantinya."

Gue mengangguk paham, dan menoleh ke wajah sahabt gue itu. "Jadi, gue harus gimana sekarang?"

"Lo harus bodo amat soal orang-orang diluar sana yang bikin lo tambah murung. Gak usah dengerin gosip-gosip keparat, jangan peduli omongan orang. Lakuin apa yang menurut lo benar," jawab Felix.

Gue berdiri hendak menuju ke kelas, namun tangan Felix masih menggenggam tangan gue erat. "And if i fail?"

"I'll be right here."

Saat itu, senyum Felix nampak lebih manis dari biasanya.

------------

Author's Note :

Dipersembahkan untuk sebagian orang yang mengagumi karakter Felix.

4 more chapter left :)

Thank you.

Instagram : terselamatkan

Steller : poragastra

Pragata Oragastra

ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang